Yang Akan
Berakhir
Di antara
keheningan, semua masih tetap sama. Seperti jam pelajaran pertama hingga
terakhir di hari sebelumnya dan jauh sebelumnya. Masih tetap terasa jenuh dan
sangat membosankan. Hanya bisa menatap sekelilingku. Sama, semua diam di posisi
monoton. Duduk di bangku penuh sekat. Sekat peraturan-peraturan yang haram
untuk dilanggar. Suara dentuman bola yang dimainkan anak-anak di luar sana
terasa mengganggu. Dengan bebasnya tanpa mempedulikan kami yang terukurung di
sini. Semakin membuyarkan konsentrasiku. Konsentrasi yang awalnya retak,
kemudian bercabang, dan akhirnya pecah ketika sebuah tanya hinggap tepat
diantara keping-keping konsentrasi yang masih tersisa. Kemana suara kicauan bahagia
burung-burung yang keluar dari sarangnya? Mereka yang selalu melengkapi ceria
sang mentari ditemani tetesan embun mungil pembawa ketenangan pagi. Kemana
mereka? Apakah mereka sudah punah? Karena ulah manusiakah? Karena ketidakpuasan
manusia? Atau mungkin pagi ini mereka sedang bermalas-malasan? Dan satu, dua,
tiga, ah masih terlalu lama. Mungkin semua makhluk di sekelilingku akan
menganggapku gila jika aku benar-benar menghitung menit demi menit atau bahkan
detik demi detik hal monoton ini akan berakhir.
“Via!” suara
dengan nada tinggi menyadarkanku dari lamunan penantianku. Suara seseorang yang
memang tak kuperhatikan semenjak kedatangannya. Menegurku, menatapku dengan
kejamnya. Tatapan penuh peringatan agar aku memperhatikan. Seolah aku adalah
musuh yang berada tepat 5cm di depannya. Tanpa menebak-nebak apa yang akan
terjadi selanjutnya dan benar-benar terjadi detik itu juga. Tepat.
“Sampai kapan
kamu melamun, Via? Lihat teman-temanmu! mereka sudah mengerjakan tugas yang
saya beri. Sedangkan kamu?” aku hanya terdiam gugup tanpa satu katapun dapat
terlontar. Ya, aku Via Dena Damayanti, salah satu siswi kelas 8 SMP Harapan,
memang sudah cukup bosan dengan pelajaran ini. Membahas permasalahan negara,
nasionalisme, patriotisme, dan tentang semua yang tak pernah kuperhatikan.
Dengan wajah
yang mungkin sudah pucat disertai keringat dingin, aku melirik meja teman
sebelahku. Kulihat di sana ada selembar kertas penuh goresan tinta yang
nampaknya baru saja ia letakkan. Ku alihkan pandanganku ke papan tulis yang ada
di depan sana. Tepat di sampingnya masih tetap menatapku, sesorang yang
beberapa menit yang lalu menegurku. Di papan tulis itu pula tertera 15 soal
yang harus dikerjakan. Kelimabelas soal itu selalu diakhiri dengan kata yang
sama, jumlah huruf yang sama, bentuk tulisan yang sama, dan tentunya memiliki
maksud yang sama. Kata itu adalah “Jelaskan!”. Ya, kata yang mungkin hampir
semua murid membencinya. Sudah jelas jawaban dari soal-soal itu akan lebih
panjang dari segala hal yang panjang. 40 menit waktu untuk mengerjakannya. Ku
tengok jam dinding dan 30 menit sudah berlalu! Segera ku ambil alat tulisku.
Benar, aku sama sekali tidak mengeluarkan satupun alat tulisku sedari tadi. Di
detik yang sama, jantungku berdegup semakin kencang ketika melihat tidak ada
barang yang aku cari, tempat pensil beserta isinya di dalam tasku.
Kini yang
terdengar hanya suara keras yang hampir setiap hari aku dengar. Semakin keras
dan keras. Aku hafal suara ini. Kucoba memahaminya. Tetapi semakin sulit. Dalam
sekejap saja, semua menghilang. Guru, teman-temanku, kelas, papan tulis, dan
semuanya menghilang. Hanya ada gelap dan suara ini. Semakin menggangguku.
Memaksaku untuk terus mengikutinya. Pikiranku terpusat pada suara itu. Terus
berpikir dan akhirnya perlahan terang mulai menyapaku. Sedikit demi sedikit
mataku terbuka. Tetapi belum sepenuhnya ketika aku menyadari bahwa semua hal
tadi hanyalah mimpi. Masih sempat kutatap kamar mungilku. Entahlah seperti apa.
Tetapi yang jelas ini lebih dari sekedar berantakan. Semua barang berada tidak
pada tempatnya. Sama sekali tidak ada niatan untuk membereskannya. Atau sekedar
meluangkan sedikit waktu untuk mengembalikan barang-barang sesuai pada
tempatnya.
Fajar
menyemburat tipis, merah berseri berpadu dengan awan-awan putih berombak.
Cerah, ceria, dan sempurna. Samar terdengar kicauan burung-burung kecil seakan
menyampaikan berita kegembiraan. Mencengkeram sehelai jerami kering kecoklatan
untuk membuat sarang dan beberapa sebagian sibuk mencari makan. Kembali
teringat mimpiku semalam, tentang aku
yang mengira mereka sudah punah ditelan jaman. Ternyata tidak, masih terlihat
jelas tawa mereka. Dengan ocehan khas menggunakan bahasa mereka, tentu sulit
untuk mengartikannya. Udara sejuk menyelinap melewati celah-celah kecil jendela
kamarku. Memaksaku menghirupnya dan mengisyaratkan bahwa pagi telah tiba.
Kegiatan-kegiatan berat dan monoton harus kembali kujalani. Tetapi syukurlah
ini hari Minggu. Hari ini tidak terlalu berat. Setidaknya ada waktu beberapa
jam untuk terbebas dari sekat peraturan sekolah. Namun tetap saja
pekerjaan-pekerjaan rumah baik PR maupun rutinitasku sebagai seorang anak
tunggal dari sebuah keluarga kecil sederhana di salah satu desa di dekat pusat
kota bantul tetap harus ku tuntaskan. Hidup sebagai anak tunggal bukan berarti
semua dituruti, bukan berarti terbebas dari tugas-tugas selayaknya remaja pada
umumnya. Kupikir tidak ada salahnya melewatkan satu hari Minggu kali ini saja
untuk bersantai. Toh seminggu ini aku sudah cukup dipusingkan dengan puluhan
tugas yang harus selesai dalam beberapa hari saja.
Malas rasanya
untuk sekedar bangun dan menghirup udara segar di luar sana. Aku lebih memilih
membuka jendela yang berada di dekat kasur tipisku dan kembali merebahkan
tubuh. Hanya beberapa menit saja aku menikmati waktu santaiku, semua rencana
untuk bersantai hari ini gagal total. Selain karena alasan kewajibanku sebagai
seorang muslim dan tugasku sebagai seorang anak, beberapa detik yang lalu
ponselku berdering. Teman sekolahku, tepatnya teman sebangkuku mengirim pesan
singkat atau short message service atau juga bahasa terkininya yaitu SMS. Ia
mengingatkanku bahwa pagi ini jam tujuh sesuai perjanjian dan rencana, aku dan
dia akan melakukan wawancara kepada pengusaha rumahan untuk melunasi tugas
pelajaran Bahasa Jawa yang besok pagi harus dikumpulkan. Terbesit rasa malas
untuk membalasnya dan akhirnya ponselku kembali kuletakkan. Kantuk masih setia
menemaniku dan seolah berlagak ingin menjadi teman yang baik pula, aku
mengikutinya hingga telingaku dipaksa mendengar suara-suara keras di luar sana.
Suara Ibuku dan satu orang lain, aku kenal, biasa ku dengar. Suara teman
sebangkuku.
Awalnya aku
hanya menganggap biasa, hingga datang suatu ingatan tentang sesuatu yang
benar-benar harus aku perhatikan. Hinggap tepat di tengah otakku. Tanpa
berpikir panjang segera kuambil handuk dan lari ke kamar mandi. Sudah pukul
tujuh lebih lima belas menit. Entah apa saja yang akan Ibu dan temanku
bicarakan. Kemungkinan besar tentangku. Tentu saja karena aku masih tertidur
lelap ketika temanku datang. Beribu alasan sudah aku siapkan. Sebagai tameng
untuk melindungi diriku dari makian temanku atau mungkin nasihat-nasihat
panjang Ibu yang jarang aku dengarkan.
Selangkah masuk
ke kamar mandi, terasa jelas suatu keganjilan. Ada yang aneh. Seperti baru
pertama kali melihat kamar mandi ini, ku tunjuk-tunjuk seisi kamar mandi.
Semakin terasa ganjil. Ya, hanya tersisa sedikit air di bak mandi dan sabun,
shampoo, pasta gigi, habis! Tak ingin dipusingkan, segera saja ku pakai semua
yang tersisa. Menghindari semua resiko yang lebih parah dengan melakukan
semuanya secepat kilat. Tetapi tenang, “kambing aja nggak mandi masih enak
dimakan kok”. Prinsip itu yang selalu menenangkanku ketika aku dihadapkan
dengan persoalan mandi. Dan untuk menghindari komentar pedas temanku, ku
semprotkan parfum sebanyak-banyaknya. Pagi yang cukup mendebarkan.
Sejauh ini,
hingga pertengahan wawancara, semua lancar mulus tanpa kendala. Kecuali ketika
awal kedatangan kami, kami sudah berbahasa resmi, sesuai prosedur wawancara,
ternyata orang yang kami ajak berbicara itu bukan orang yang akan kami
wawancarai. Orang itu adalah tetangganya yang juga bekerja di sana dan sedang
beristirahat duduk di depan rumah narasumber kami. Sungguh memalukan. Hingga
kini saatnya aku yang mendapat giliran bertanya. Selesai melontarkan
pertanyaan, ekspresi Ibu Saniah yang kami wawancarai berubah. Dan tangispun
pecah. Penuh kebingungan dan hanya saling menatap dengan Nita, teman sebangkuku
sekaligus teman yang sedang mewawancarai Ibu Saniah sebagai narasumber untuk
bahan wawancara “Usaha Rumahan Kue Bolu” kali ini. Apakah ada yang salah dengan
pertanyaan “Sudah sampai kemana saja produk ini dipasarkan, Bu?” ? Bukankah
sedari tadi ketika temanku menanyakan awal mula usaha ini berdiri, bagaimana
cara mendapat modal awalnya, apa saja kendala usaha ini, dan banyak lagi pertanyaan
yang seharusnya lebih mengharukan dibanding pertanyaanku dijawab dengan ceria?
Membingungkan dan terus berlanjut hingga kami berpamitan. Dapat disimpulkan
tugas hari ini sudah selesai. Berakhir.
Malam harinya,
masih saja salah tingkah mengingat apa yang terjadi hari ini. Sempat terselip
rasa bersalah karena membuat Ibu membingungkan itu menangis tetapi bagaimana
lagi, aku juga tidak tahu apa yang salah. Segera saja kubuang rasa bersalahku
dan berniat memanjakan tubuhku yang sudah terlalu lelah karena kegiatan
seharian ini dengan beristirahat. Namun, tanganku tiba-tiba saja mengambil
ponselku. Tidak ada apa-apa. Tetapi ku urungkan niatku untuk mengembalikan
ponselku ke tempat semula. Kubuka akun facebook yang sudah beberapa minggu sama
sekali tak pernah ku buka, atau hanya untuk melihat beberapa detik saja tidak
sempat. Baru saja membuka facebook, tertera sebuah status di urutan paling
atas. Status Nala, siswa kelas tetangga, ia anak 8G dan aku 8F.
Ia siswa yang pandai. Sering meraih ranking 1 di sekolah. Ia juga ramah. Dan
statusnya kali ini cukup menarik. Tanganku refleks dengan lincah mengetik
kata-kata untuk mengomentarinya. Percakapan di dunia maya malam itu terasa
menyenangkan.
Percakapan itu
terus berlanjut hingga pagi harinya ia mengatakan bahwa ia ingin meminjam buku
catatan PKn. Sedangkan aku sadar buku catatan PKnku kosong. Hanya ada beberapa
catatan dengan tulisan yang entahlah akupun sulit untuk membacanya. Namun tetap
ku “iya” kan permintaannya. Dengan jawabanku itu pula aku sudah dapat
membayangkan bagaimana ekspresinya ketika melihat buku PKnku nantinya. Benar
saja, ketika jam istirahat pertama hari itu, di tengah celotehan-celotehan dan
teriakan jahil teman-teman sekelasku, Nala menerima buku catatanku dan seketika
jelas ekspresinya berubah. Jelas terlihat kecewa diselimuti senyum manisnya
berusaha menenangkanku. Dengan ucapan terimakasih ia keluar dari kelasku
bersama teman akrabnya. Entah apa alasannya, buku itu masih ia bawa. Padahal
jelas isi dari buku catatanku yang ia bawa tersebut tidak ada gunanya. Sontak
pertanyaan-pertanyaan penasaran teman-temanku terlontar. Semua pertanyaan itu
aku jawab dengan tegas dan sesuai keadaan apa adanya, aku dan Nala hanya teman
biasa. Memang kami remaja, tetapi bukan berarti berteman bisa dianggap lebih
sesuka hati.
Hari demi hari
berlalu dan pertanyaan yang sama terus saja ku dengar. Tentang hal yang sama.
Aku dan Nala. Awalnya aku selalu dengan tegas mengatakan tidak. Namun aku juga
bosan menjawab dengan kata-kata yang sama tetapi mereka selalu mengatakan hal
yang bertolak belakang dengan yang aku katakan dan aku alami. Akhir-akhir ini
juga banyak ocehan di dunia maya yang menyudutkanku, menyindirku, bahkan ada
juga mereka yang terang-terangan menyebut namaku.
Melelahkan
mengingat apa yang terjadi setiap harinya. Seperti dikepung musuh kemanapun aku
pergi. Mereka yang awalnya selalu ramah dan bahkan sering bercanda denganku,
kini berbeda hanya karena gosip-gosip itu. Seketika carut marut perasaanku
sirna ketika di ujung jalan yang ku lalui setiap harinya, kali ini berbeda. Ada
sesuatu disana. Berdiri dengan kokoh dan gagahnya. Memberiku senyum ceria
berpadu dengan awan-awan kecil putih bersih yang menari-nari di atasnya. Mereka
yang selalu bersama, disatukan oleh perbedaan. Tiga serangkai yang menakjubkan.
Ya, Merapi, Merbabu, dan Sumbing. Terkadang membawa duka, namun mengagumkan
ketika mereka menunjukkan keindahannya. Terimakasih, Tuhan. Kau ijinkan hari
ini sejenak aku melupakan perkara yang selalu menggelayuti pikiranku dengan
menunjukkan kuasa-Mu.
Di jalan itu
pula, aku berpapasan dengan Nala. Ia menghentikanku dan mengeluarkan dua buku
dari tasnya, satu buku aku kenal, itu buku catatan PKnku. Hampir saja aku lupa
besok pagi ada jadwal pelajaran PKn. Dan satu buku lain aku tidak mengenalnya.
“Via, ini buku
kamu. Makasih ya. Meskipun aku bingung membacanya, tetapi lebih baik lah dari
pada tidak mencatat sama sekali. Sudah beberapa minggu ini setiap ada jadwal
pelajaran itu bertepatan dengan aku ada acara.” Nala memberikan dua buku itu
kepadaku.
“Buku ini?” aku
menunjukkan buku merah bergambar kartun kesukaanku yang diberikan Nala.
“Anggap saja itu
sebagai ucapan terimakasihku dan mungkin kenang-kenangan untukmu.”
“Terimakasih,
Nala.” Dengan wajah polos penuh kebingungan aku mencoba mencerna kata-kata
Nala. Dan di saat itu juga melintas tiga orang yang selalu membicarakanku di
dunia maya setelah kabar kedekatanku dengan Nala heboh dibicarakan hanya karena
percakapan di dunia maya. Mereka tiga siswi yang selalu bersama hingga jarang
bersosialisasi dengan teman lainnya. Aku juga sudah bisa mengira apa yang akan
terjadi setelah ini. Tepat, mereka lagi dan lagi membicarakanku. Biarlah, sampai mereka puas. Api yang sudah menyala jangan
ditambah dengan bahan bakar yang membuat api itu semakin menyala dan mungkin
berkobar hingga membakar segalanya. Cukup didiamkan atau disiram dengan air
agar padam. Jika tak sanggup untuk menyiramnya, diamkan saja, waktu yang akan
memadamkannya.
Kini aku baru
mengerti maksud Nala mengatakan “Anggap saja itu sebagai ucapan terimakasihku
dan mungkin kenang-kenangan untukmu.” kemarin. Samar-samar terdengar berita
bahwa Nala akan pindah ke Kalimantan karena orangtuanya ditugaskan di sana.
Nala pun membenarkannya. Sore itu juga ia berangkat. Cukup menyesakkan. Ia
adalah sahabat yang selalu siap sedia saling membantu denganku selama ini. Hari
itu ia benar-benar menghilang tanpa kabar.
Cerita itu yang
selalu muncul di benakku ketika aku membaca halaman pertama buku diary
pemberian Nala. Ku tulis semua yang terjadi selama aku bersamanya. Kini,
setelah sekian lama kepergiannya, pertanyaan-pertanyaan dan berita yang dulu
selalu aku dengar perlahan mereda. Setiap pertanyaan yang sama hanya aku jawab
dengan senyuman. Terserah nantinya mereka mengartikan apa. Karena untuk membela
kejujuran tidak perlu menjelaskan jika pada akhirnya juga tidak dipedulikan.
Lebih baik diam dan kebenaran akan membela kitayang jujur pada waktunya.
Kemudian semua orang akan tahu apa yang sesungguhnya terjadi dari diam dan
kebenaran yang sudah pada waktunya membela kita. Karena percayalah Tuhan sudah
menuliskan, menggambarkan, dan menggariskan suratan takdir yang indah bagi
setiap umant-Nya,
Api yang dulu menyala, kini mulai padam. Padam
karena waktu dan keadaan. Harus kami sadari, sekarang kami sudah anak-anak kelas
Sembilan yang sebentar lagi akan menempuh Ujian Nasional. Tanpa adanya saling
mendukung dan saling medoakan tentu saja sulit untuk mencapai hasil terbaik.
Apalagi jika hanya mengutamakan permusuhan, tentu nihil hasilnya. Kini kami
sudah saling memaafkan, bersahabat, dan melupakan permusuhan yang pernah
terjadi. Hanya karena hal sepele jangan sampai merusak masa depan. Masa lalu
cukup dijadikan pelajaran. Masa sekolah adalah masa-masa paling indah
bumbu-bumbu permusuhan memang terkadang ada. Namun, jika berlarut-larut hanya
akan menyesal pada akhirnya. Masa sekolah cukup dijalani dan dinikmati.
Bagaimanapun itu yang akan kita kenang nantinya, saat kita tua. Dan kita akan
tertawa geli mengingatnya. Bukan hanya kenangan indah yang akan berakhir.
Kenangan pahit semacam permusuhan pun suatu saat nanti akan berakhir. Berusaha
bersama, melangkah bersama, demi hasil yang membahagiakan nantinya. Begitu juga
untukmu, Nala. Semoga kelak kita bertemu dengan kesuksesan di tangan. Semoga.
Apapun yang
terjadi, kemarin, hari ini, esok, dan kapanpun, pasti akan berakhir. Entah
dengan manis, pahit, asam, asin, atau apa sajalah. Karena hidup hanyalah drama
dengan episode-episode yang tentunya memiliki akhir dengan disengaja atau
tidak, baik dinanti maupun tidak. Begitupun
dengan drama itu sendiri, nantinya juga akan berakhir. Dan babak demi babak,
alur cerita, tokoh, dan apa saja yang ada di dalamnya sudah diatur oleh Sang
Maha Kuasa. Ikuti saja alurnya, tanpa harus mengkhiri, semua juga akan
berakhir. Hanya bagaimana kita menyikapinyanya. Setiap makhluk punya cara yang
berbeda. Akhir manis atau pahit tergantung pribadi masing-masing detik ini juga
dalam menghadapi ujian yang menerpa.
Nama : Firda Rokhana A.
Kelas : IXF / 05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar