9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

Pacar atau Sahabat

Pacar atau Sahabat

Pada siang yang tampak gersang itu, Polo mondar-mandir kesana-kemari dengan ekspresi wajah yang kebingungan. Punggungnya basah dan pipinya mengalir keringat yang sangat deras. Ruang kelas satu sampai kelas enam sudah ia jelajahi, begitu pula disetiap sudut sekolahnya. Namun ia tak juga menemukan sahabat karibnya yakni Antok. Sampai sepulang sekolah pun ia tak kunjung menemukan Antok. Lama kelamaan kakinya terasa pegal, punggungnya terasa nyeri karena membawa beban yang berat. 

Polo memutuskan untuk duduk beristirahat di sebelah gerbang depan sekolah.
Tak sampai lima belas menit ia duduk di sana, Antok muncul dari dalam sekolah dengan muka lesu dan tampak meriang. Alangkah bahagianya hati Polo saat melihat sahabatnya keluar dari dalam sekolah. Seakan-akan rasa capek dan kegelisahannya sekejab menghilang. Walaupun baru beberapa jam mereka tidak bertemu, namun rasa rindu sudah ada dibenak mereka. Bagi Polo, Antok sudah dianggap seperti saudara kembarnya yang selalu menemani hari-harinya dikala suka maupun duka. Tanpa rasa malu dan gengsi mereka berdua langsung berpelukan dengan erat bagai film-film sinetron.
“Darimana saja kamu, Tok? Dari tadi tak terlihat batang hidungmu. Padahal aku sudah mencarimu berkeliling sekolah dua kali, tapi tak juga menemukanmu,” tanya Polo kepada Antok. “Apa barusan kau bilang, kamu sudah mengelilingi sekolah dua kali? Padahal dari tadi aku hanya beristirahat di UKS, gara-gara kakiku terkilir di halaman,” sahut Antok dengan nada yang tinggi. “Oh, tadi aku lihat di UKS tampak sepi dan senyap, pintunya pun tertutup dengan rapat, jadi aku tidak menengok kesana,” ucap Polo meyakinkan Antok. “Sudah deh tak usah dibahas, ku antar kau pulang saja yuk!”
Polo pun merangkul tangan kanan Antok dan mengantarnya pulang. Setiba di rumah Antok, Polo yang kelihatan letih sekali, langsung pamit pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia langsung sholat ashar dan makan sore. Angin terasa sepoi-sepoi sore itu. Tiba-tiba Bu Surtinah menghampiri Polo yang sedang asik menonton televisi.
“Dari mana  saja kamu, Pol? Kok jam segini baru pulang?” Bu Surtinah bertanya kepada Polo. “Aku habis dari sekolah, tadi mencari Antok yang menghilang. Eh, ternyata dia ada di UKS. Kasihan kakinya terkilir di halaman sekolah,” ucap Polo kepada ibunya.
Malam itu, Polo yang seharian kelelahan langsung pergi tidur dan tak sabar untuk mengetahui keadaan Antok. Keesokan harinya ia berangkat sekolah dengan riang dan gembira. Pagi yang cerah membuatnya tambah gembira dan senang. Ia bergegas menemui Polo dan bertanya apa kabarnya. Belum juga ia bertanya, namun dari kejauhan Antok sudah memanggil Polo. Antok mengajaknya bermain sepakbola. Itu pertanda bahwa kaki Antok sudah sembuh. Akhirnya mereka berdua bias bermain bersama lagi.
“Heh, Antok! Apa kau sudah sembuh?” Polo bertanya kepada Antok. “Kau sendiri juga melihatnya bukan?” Antok menjawabnya. “Bagaimana kau bisa sembuh secepat itu?” Polo bertanya dengan penasaran. “Tadi malam aku pergi ketempat Mbah Roso, untuk pijat urut,” Antok menjawabnya dengan muka yang riang. “Oh, jadi nanti sore kita bisa bermain dong? Aku mau bersepeda mencari suasana.” “Bisa dong! Tenang saja, aku akan menepati janjiku.”
Hari itu Polo belajar dengan sangat bersemangat. Ia juga tak sabar untuk rencananya bersepeda nanti sore. Kelas pun usai, ia pulang sekolah bersama Antok. Pada sore harinya, ia bergegas mandi dan sholat ashar. Tak seperti biasanya, ia mandi jam tiga. Biasanya ia baru mandi jika sudah adzan maghrib. Polo pun menunggu Antok di teras rumahnya. Setelah itu ibunya menghampiri dan bertanya kepadanya.
“Mau kemana kamu, Pol? Jam segini sudah bersih dan rapi,” tanya Bu Surtinah kepada Polo. “Hari ini aku mau bersepeda dengan Antok, Bu. Dari kemarin aku tidak bermain dengan Antok,” jawab Polo kepada ibunya. “Apa kamu sudah sholat ashar? Cepat sana sholat!” ibunya memang memperhatikan sholatnya. “Tenang saja, Bu! Aku sudah sholat ashar kok. Jadi..... minta uang dong, Bu! Hehe,” dengan nada bercanda, ia merayu ibunya dan minta uang saku. “Hah, pintar sekali caramu meminta uang. Ya udah, lima ribu saja ya? Ibu baru tidak punya uang, Nak,” dengan uang seadanya Bu Surtinah memberinya uang.
Tak lama mereka berbincang, Antok datang ke rumah Polo. Ia menepati janjinya bersepeda sore itu. Mereka berdua pun langsung pergi bersepeda. Tak jauh dari rumahnya, Polo bertanya kepada Antok.
“Tok, memangnya kita mau bersepeda kemana?” itulah yang biasanya terjadi, ia bersepeda namun tak tau arah mereka. “Oh iya, aku juga tidak tahu kita mau kemana. Kenapa kita tidak memikirkannya sejak tadi, ya?” ternyata Antok juga kebingungan kemana arah mereka akan pergi.
Mereka berdua terdiam, memikirkan kemana arah mereka bersepeda. Lalu tiba-tiba Polo berbicara dengan nada yang keras dan mengagetkan.
“Aku tau kita harus kemana?” Polo berbicara kepada Antok. “Memangnya kita mau kemana, kau sudah punya ide?” tanya Antok dengan penasaran. “Bagaimana kalau kita ke Alun-alun saja? Mungkin di sana ramai,” Polo menjawab dengan meyakinkan. “Pintar juga kau, Pol! Kenapa kau tidak bilang dari tadi?” “Iya dong, aku kan memang pintar,” jawab Polo dengan nada sedikit sombong. “Baiklah, ayo kita kesana!” triak Polo dengan begitu semangat.
Mereka berdua pun bergegas pergi ke alun-alun. Ternyata alun-alun memang sangat ramai. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun ikut memadati alun-alun. Walaupun demikian, di sana Antok dan Polo hanya duduk di pinggir jalan dan hanya melihat orang-orang lewat di depannya. Bagi mereka hal itu sudah menyenangkan hati mereka. Namun, kini kisah mereka telah dipisahkan oleh waktu, yakni                       kisah putih biru. Mereka mulai                                 terpisahkan dengan kesibukan masing-masing.
Waktu pun berlalu, Polo yang tadinya                       cupu, dekil, dan lugu berubah menjadi anak gaul dan keren. Ia mulai                                               mengenal istilah pacaran. Hari-harinya dipenuhi dengan asmara dan berbunga-bunga. Ia mulai jatuh cinta dengan seorang wanita yang cantik dan jelita. Saat itu ia jatuh cinta pada pandangan pertamanya.
Polo mengawali hubungannya dengan sapaan ceria. Ternyata Diana pun meresponnya dengan baik. Tak lama mereka berkenalan, Polo mencoba memancing bagaimana perasaan Diana padanya. Dengan kata-kata yang menggoda, ternyata Diana pun terpancing kata-katanya. Ternyata Diana memang cinta pada Polo. Dengan kepastian itu, Polo langsung memberanikan diri menembak Diana. Walaupun awalnya Diana terlihat agak ragu, namun akhirnya Diana menerima cinta Polo. Walaupun Polo agak sedikit licik.
Sibuk dengan pacarannya, Polo lupa jika ia melupakan sahabatnya. Tak seperti dulu, kini ia tak lagi sering bermain dengan Antok. Paling-paling  satu bulan hanya dua kali mereka bertemu. Suatu hari, saat Polo bermain dengan Antok.
“Heh, Pol! Kemana saja kau akhir-akhir ini?” tanya Antok kepada Polo. “Kenapa kamu jarang menghubungiku? Apa kau sudah tak ingat lagi denga sahabat mu ini?” “Oh, maaf, Tok! Aku sekarang sudah mempunyai pacar, jadi aku juga harus bisa membagi waktuku,” Polo menjelaskan semua kepada Antok. “Tapi kau tidak melupakanku kan? Sahabatmu ini,” sahut Antok kepada Polo.
Jum’at siang Polo ketemuan dengan Diana. Siang itu mereka duduk berdua dan berbincang-bincang.
“Aduh, panas sekali siang ini! Kata Diana kepada Polo. “Baiklah, ayo kita mencari tempat yang sejuk!” saran Polo kepada Diana. “Terserah deh.”
Mereka akhirnya duduk di taman kota sambil meminum es kelapa muda. Siang itu mesra sekali petualangan cinta mereka berdua.
Pada suatu hari, tanpa sengaja Polo duduk dekat dengan teman Diana, yakni Sisca. Hal itu membuat Diana sangat cemburu dan marah. Seharian Diana terdiam dengan muka cemberut ditekuk. Bahkan saat Polo tersenyum padanya, Diana tak menggubrisnya. Polo sangat heran, apa yang terjadi pada Diana. Sore harinya ia bertemu Diana di jalan dan menanyakan hal itu.
“Eh, tunggu Diana! Aku mau ngomong sebentar,” triak Polo pada Diana. Lalu Diana datang menghampiri Polo. “Ada apa?” “Eh, kenapa hari ini kamu aneh sekali? Tadi siang kamu terdiam terus. Bahkan aku tersenyum padamu kamu cuek,” kata Polo. “Bagaimana aku tidak begitu, apa kamu tau bagaimana rasanya jika orang yang kamu cintai duduk berdua dengan orang lain,” Diana marah. “Oh, yang tadi siang aku duduk bersama Sisca? Maaf deh, maafkan. Kamu cemburu ya? Tolong jangan marah lagi dong! Aku mencintaimu kok. Tadi aku memang tidak sadar saat duduk berdua dengan Sisca. Sekali lagi aku minta maaf ya! Aku janji, aku tidak akan mengulanginya lagi,” penjelasan Polo kepada Diana. “Oh, kalau begitu aku maafin deh kamu, tapi jangan diulangi ya! Aku nggak mau kejadian ini terulang kembali,” permintaan maaf Diana kepada Polo. “Baiklah!”
Namun setelah beberapa bulan mereka pacaran, Diana merasa bosan dengan sikap Polo yang tidak perhatian dan tidak royal. Pada suatu malam Diana tiba-tiba mengakhiri hubungan mereka berdua.
“Pol, aku mau ngomong sesuatu!” ucap Diana malam itu. “Ngomong apa?” tanya Polo dengan rasa penasaran. “Pol, sekarang ini kita temenan saja ya! Bukan masalah apa-apa kok, tapi aku hanya ingin kita temenan saja,” kata-kata Diana kepada Polo. “Loh, kok tiba-tiba kamu ngomong gitu sih? Kamu sudah tidak cinta lagi padaku? Apa salahku? Apa aku kurang perhatian, romantis atau yang lainnya?” hati Polo hancur dengan kata-kata Diana. “Enggak ada masalah apa-apa kok, aku hanya ingin kita berteman saja,” Diana tetap bersikeras dengan keputusannya. “Ya udah, kalau itu keputusanmu. Aku juga tak bisa memaksa.”
Malam itu juga Polo sedih sekali. Ia berusaha melawan kesedihannya, namun tak bisa. Hidupnya seakan tak berdaya lagi. Semuanya hilang dan tak berarti. Asa pun telah pergi jauh darinya. Malam itu juga ia menyadari bahwa ia sudah meinggalkan sahabatnya. Ia mengingkari janjinya untuk tidak melupakan sahabatnya, namun waktu telah berlalu. Keesokan harinya, ia langsung pergi ke rumah Antok. Ia mencurahkan semua isi hatinya.
“Tok, maafkan aku. Aku telah melanggar janjiku. Aku telah melupakanmu, dan sekarang aku kehilangan pacarku. Andai saja waktu bisa diulang, aku pasti selalu ada untuknya. Andai saja aku punya banyak uang, aku pasti selalu membelikannya apa yang dia mau. Dan andai aku bisa segalanya, pasti ini tidak akan terjadi,” curahan hati Polo kepada Antok. “Sudah, Selama ini kamu pasti sudah melakukan yang terbaik, aku yakin itu. Mungkin ini cobaan bagimu, bersabarlah!” nasihat Antok pada Polo. “Kau memang sahabat yang paling baik.”
Sehari setelah itu, mereka berdua pergi kepantai. Dimalam yang dingin itu, mereka rebah di atas pasir. Ditemani api unggun Polo yang sedang sedih tiba-tiba meluapkan isi hatinya dengan puisinya yang merdu.
Malam ini
Kembali sadari aku sendiri
Gelap ini
Kembali sadari engkau telah pergi
Malam ini
Kata hati harus terpenuhi
Gelap ini
Kata hati ingin kau kembali
             
Malam ini
Kubernyanyi lepas isi hati

Gelap ini
Kuucap berjuta kata maki
Malam ini
Bersama bulan aku menari
Gelap ini
Ditepi pantai aku menangis
Tanpa dirimu dekat dimataku
Aku bagai ikan tanpa air
Tanpa dirimu ada disisiku
Aku bagai hiu tanpa taring
Tanpa dirimu dekap dipelukku
Aku bagai pantai tanpa lautan
Kembalilah...kasih ooo Kembalilah kasih
            Polo tau walaupun Diana tak lagi mencintainya, namun ia tetap akan mencintai Diana. Dan ia percaya ada sebuah mantan pacar, namun tak ada kata mantan sahabat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar