Pacar atau
Sahabat
Pada siang yang tampak gersang itu, Polo mondar-mandir
kesana-kemari dengan ekspresi wajah yang kebingungan. Punggungnya basah dan
pipinya mengalir keringat yang sangat deras. Ruang kelas satu sampai kelas enam
sudah ia jelajahi, begitu pula disetiap sudut sekolahnya. Namun ia tak juga
menemukan sahabat karibnya yakni Antok. Sampai sepulang sekolah pun ia tak
kunjung menemukan Antok. Lama kelamaan kakinya terasa pegal, punggungnya terasa
nyeri karena membawa beban yang berat.
Polo memutuskan untuk duduk beristirahat
di sebelah gerbang depan sekolah.
Tak sampai lima belas menit ia duduk di sana, Antok
muncul dari dalam sekolah dengan muka lesu dan tampak meriang. Alangkah
bahagianya hati Polo saat melihat sahabatnya keluar dari dalam sekolah.
Seakan-akan rasa capek dan kegelisahannya sekejab menghilang. Walaupun baru
beberapa jam mereka tidak bertemu, namun rasa rindu sudah ada dibenak mereka.
Bagi Polo, Antok sudah dianggap seperti saudara kembarnya yang selalu menemani
hari-harinya dikala suka maupun duka. Tanpa rasa malu dan gengsi mereka berdua
langsung berpelukan dengan erat bagai film-film sinetron.
“Darimana saja kamu, Tok? Dari tadi tak terlihat
batang hidungmu. Padahal aku sudah mencarimu berkeliling sekolah dua kali, tapi
tak juga menemukanmu,” tanya Polo kepada Antok. “Apa barusan kau bilang, kamu
sudah mengelilingi sekolah dua kali? Padahal dari tadi aku hanya beristirahat
di UKS, gara-gara kakiku terkilir di halaman,” sahut Antok dengan nada yang
tinggi. “Oh, tadi aku lihat di UKS tampak sepi dan senyap, pintunya pun
tertutup dengan rapat, jadi aku tidak menengok kesana,” ucap Polo meyakinkan
Antok. “Sudah deh tak usah dibahas, ku antar kau pulang saja yuk!”
Polo pun merangkul tangan kanan Antok dan mengantarnya
pulang. Setiba di rumah Antok, Polo yang kelihatan letih sekali, langsung pamit
pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia langsung sholat ashar dan makan
sore. Angin terasa sepoi-sepoi sore itu. Tiba-tiba Bu Surtinah menghampiri Polo
yang sedang asik menonton televisi.
“Dari mana saja
kamu, Pol? Kok jam segini baru pulang?” Bu Surtinah bertanya kepada Polo. “Aku
habis dari sekolah, tadi mencari Antok yang menghilang. Eh, ternyata dia ada di
UKS. Kasihan kakinya terkilir di halaman sekolah,” ucap Polo kepada ibunya.
Malam itu, Polo yang seharian kelelahan langsung pergi
tidur dan tak sabar untuk mengetahui keadaan Antok. Keesokan harinya ia
berangkat sekolah dengan riang dan gembira. Pagi yang cerah membuatnya tambah
gembira dan senang. Ia bergegas menemui Polo dan bertanya apa kabarnya. Belum
juga ia bertanya, namun dari kejauhan Antok sudah memanggil Polo. Antok
mengajaknya bermain sepakbola. Itu pertanda bahwa kaki Antok sudah sembuh.
Akhirnya mereka berdua bias bermain bersama lagi.
“Heh, Antok! Apa kau sudah sembuh?” Polo bertanya
kepada Antok. “Kau sendiri juga melihatnya bukan?” Antok menjawabnya.
“Bagaimana kau bisa sembuh secepat itu?” Polo bertanya dengan penasaran. “Tadi
malam aku pergi ketempat Mbah Roso, untuk pijat urut,” Antok menjawabnya dengan
muka yang riang. “Oh, jadi nanti sore kita bisa bermain dong? Aku mau bersepeda
mencari suasana.” “Bisa dong! Tenang saja, aku akan menepati janjiku.”
Hari itu Polo belajar dengan sangat bersemangat. Ia
juga tak sabar untuk rencananya bersepeda nanti sore. Kelas pun usai, ia pulang
sekolah bersama Antok. Pada sore harinya, ia bergegas mandi dan sholat ashar.
Tak seperti biasanya, ia mandi jam tiga. Biasanya ia baru mandi jika sudah
adzan maghrib. Polo pun menunggu Antok di teras rumahnya. Setelah itu ibunya
menghampiri dan bertanya kepadanya.
“Mau kemana kamu, Pol? Jam segini sudah bersih dan
rapi,” tanya Bu Surtinah kepada Polo. “Hari ini aku mau bersepeda dengan Antok,
Bu. Dari kemarin aku tidak bermain dengan Antok,” jawab Polo kepada ibunya.
“Apa kamu sudah sholat ashar? Cepat sana sholat!” ibunya memang memperhatikan
sholatnya. “Tenang saja, Bu! Aku sudah sholat ashar kok. Jadi..... minta uang
dong, Bu! Hehe,” dengan nada bercanda, ia merayu ibunya dan minta uang saku.
“Hah, pintar sekali caramu meminta uang. Ya udah, lima ribu saja ya? Ibu baru
tidak punya uang, Nak,” dengan uang seadanya Bu Surtinah memberinya uang.
Tak lama mereka berbincang, Antok datang ke rumah
Polo. Ia menepati janjinya bersepeda sore itu. Mereka berdua pun langsung pergi
bersepeda. Tak jauh dari rumahnya, Polo bertanya kepada Antok.
“Tok, memangnya kita mau bersepeda kemana?” itulah
yang biasanya terjadi, ia bersepeda namun tak tau arah mereka. “Oh iya, aku
juga tidak tahu kita mau kemana. Kenapa kita tidak memikirkannya sejak tadi,
ya?” ternyata Antok juga kebingungan kemana arah mereka akan pergi.
Mereka berdua terdiam, memikirkan kemana arah mereka
bersepeda. Lalu tiba-tiba Polo berbicara dengan nada yang keras dan
mengagetkan.
“Aku tau kita harus kemana?” Polo berbicara kepada
Antok. “Memangnya kita mau kemana, kau sudah punya ide?” tanya Antok dengan
penasaran. “Bagaimana kalau kita ke Alun-alun saja? Mungkin di sana ramai,”
Polo menjawab dengan meyakinkan. “Pintar juga kau, Pol! Kenapa kau tidak bilang
dari tadi?” “Iya dong, aku kan memang pintar,” jawab Polo dengan nada sedikit
sombong. “Baiklah, ayo kita kesana!” triak Polo dengan begitu semangat.
Mereka berdua pun bergegas pergi ke alun-alun.
Ternyata alun-alun memang sangat ramai. Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun
ikut memadati alun-alun. Walaupun demikian, di sana Antok dan Polo hanya duduk
di pinggir jalan dan hanya melihat orang-orang lewat di depannya. Bagi mereka
hal itu sudah menyenangkan hati mereka. Namun, kini kisah mereka telah
dipisahkan oleh waktu, yakni kisah putih biru. Mereka
mulai
terpisahkan dengan kesibukan masing-masing.
Waktu pun berlalu, Polo yang tadinya cupu, dekil, dan lugu
berubah menjadi anak gaul dan keren. Ia mulai
mengenal istilah pacaran. Hari-harinya dipenuhi dengan asmara dan
berbunga-bunga. Ia mulai jatuh cinta dengan seorang wanita yang cantik dan
jelita. Saat itu ia jatuh cinta pada pandangan pertamanya.
Polo mengawali hubungannya dengan sapaan ceria.
Ternyata Diana pun meresponnya dengan baik. Tak lama mereka berkenalan, Polo
mencoba memancing bagaimana perasaan Diana padanya. Dengan kata-kata yang
menggoda, ternyata Diana pun terpancing kata-katanya. Ternyata Diana memang
cinta pada Polo. Dengan kepastian itu, Polo langsung memberanikan diri menembak
Diana. Walaupun awalnya Diana terlihat agak ragu, namun akhirnya Diana menerima
cinta Polo. Walaupun Polo agak sedikit licik.
Sibuk dengan pacarannya, Polo lupa jika ia melupakan
sahabatnya. Tak seperti dulu, kini ia tak lagi sering bermain dengan Antok.
Paling-paling satu bulan hanya dua kali
mereka bertemu. Suatu hari, saat Polo bermain dengan Antok.
“Heh, Pol! Kemana saja kau akhir-akhir ini?” tanya
Antok kepada Polo. “Kenapa kamu jarang menghubungiku? Apa kau sudah tak ingat
lagi denga sahabat mu ini?” “Oh, maaf, Tok! Aku sekarang sudah mempunyai pacar,
jadi aku juga harus bisa membagi waktuku,” Polo menjelaskan semua kepada Antok.
“Tapi kau tidak melupakanku kan? Sahabatmu ini,” sahut Antok kepada Polo.
Jum’at siang Polo ketemuan dengan Diana. Siang itu
mereka duduk berdua dan berbincang-bincang.
“Aduh, panas sekali siang ini! Kata Diana kepada Polo.
“Baiklah, ayo kita mencari tempat yang sejuk!” saran Polo kepada Diana.
“Terserah deh.”
Mereka akhirnya duduk di taman kota sambil meminum es
kelapa muda. Siang itu mesra sekali petualangan cinta mereka berdua.
Pada suatu hari, tanpa sengaja Polo duduk dekat dengan
teman Diana, yakni Sisca. Hal itu membuat Diana sangat cemburu dan marah.
Seharian Diana terdiam dengan muka cemberut ditekuk. Bahkan saat Polo tersenyum
padanya, Diana tak menggubrisnya. Polo sangat heran, apa yang terjadi pada
Diana. Sore harinya ia bertemu Diana di jalan dan menanyakan hal itu.
“Eh, tunggu Diana! Aku mau ngomong sebentar,” triak
Polo pada Diana. Lalu Diana datang menghampiri Polo. “Ada apa?” “Eh, kenapa
hari ini kamu aneh sekali? Tadi siang kamu terdiam terus. Bahkan aku tersenyum
padamu kamu cuek,” kata Polo. “Bagaimana aku tidak begitu, apa kamu tau
bagaimana rasanya jika orang yang kamu cintai duduk berdua dengan orang lain,”
Diana marah. “Oh, yang tadi siang aku duduk bersama Sisca? Maaf deh, maafkan.
Kamu cemburu ya? Tolong jangan marah lagi dong! Aku mencintaimu kok. Tadi aku
memang tidak sadar saat duduk berdua dengan Sisca. Sekali lagi aku minta maaf
ya! Aku janji, aku tidak akan mengulanginya lagi,” penjelasan Polo kepada
Diana. “Oh, kalau begitu aku maafin deh kamu, tapi jangan diulangi ya! Aku
nggak mau kejadian ini terulang kembali,” permintaan maaf Diana kepada Polo.
“Baiklah!”
Namun setelah beberapa bulan mereka pacaran, Diana
merasa bosan dengan sikap Polo yang tidak perhatian dan tidak royal. Pada suatu
malam Diana tiba-tiba mengakhiri hubungan mereka berdua.
“Pol, aku mau ngomong sesuatu!” ucap Diana malam itu.
“Ngomong apa?” tanya Polo dengan rasa penasaran. “Pol, sekarang ini kita
temenan saja ya! Bukan masalah apa-apa kok, tapi aku hanya ingin kita temenan
saja,” kata-kata Diana kepada Polo. “Loh, kok tiba-tiba kamu ngomong gitu sih?
Kamu sudah tidak cinta lagi padaku? Apa salahku? Apa aku kurang perhatian,
romantis atau yang lainnya?” hati Polo hancur dengan kata-kata Diana. “Enggak
ada masalah apa-apa kok, aku hanya ingin kita berteman saja,” Diana tetap
bersikeras dengan keputusannya. “Ya udah, kalau itu keputusanmu. Aku juga tak
bisa memaksa.”
Malam itu juga Polo sedih sekali. Ia berusaha melawan
kesedihannya, namun tak bisa. Hidupnya seakan tak berdaya lagi. Semuanya hilang
dan tak berarti. Asa pun telah pergi jauh darinya. Malam itu juga ia menyadari
bahwa ia sudah meinggalkan sahabatnya. Ia mengingkari janjinya untuk tidak
melupakan sahabatnya, namun waktu telah berlalu. Keesokan harinya, ia langsung
pergi ke rumah Antok. Ia mencurahkan semua isi hatinya.
“Tok, maafkan aku. Aku telah melanggar janjiku. Aku
telah melupakanmu, dan sekarang aku kehilangan pacarku. Andai saja waktu bisa
diulang, aku pasti selalu ada untuknya. Andai saja aku punya banyak uang, aku
pasti selalu membelikannya apa yang dia mau. Dan andai aku bisa segalanya,
pasti ini tidak akan terjadi,” curahan hati Polo kepada Antok. “Sudah, Selama
ini kamu pasti sudah melakukan yang terbaik, aku yakin itu. Mungkin ini cobaan
bagimu, bersabarlah!” nasihat Antok pada Polo. “Kau memang sahabat yang paling
baik.”
Sehari setelah itu, mereka berdua pergi kepantai.
Dimalam yang dingin itu, mereka rebah di atas pasir. Ditemani api unggun Polo
yang sedang sedih tiba-tiba meluapkan isi hatinya dengan puisinya yang merdu.
Malam ini
Kembali sadari aku sendiri
Gelap ini
Kembali sadari engkau telah pergi
Malam ini
Kata hati harus terpenuhi
Gelap ini
Kata hati ingin kau kembali
Kembali sadari aku sendiri
Gelap ini
Kembali sadari engkau telah pergi
Malam ini
Kata hati harus terpenuhi
Gelap ini
Kata hati ingin kau kembali
Malam ini
Kubernyanyi lepas isi hati
Gelap ini
Kuucap berjuta kata maki
Malam ini
Bersama bulan aku menari
Gelap ini
Ditepi pantai aku menangis
Tanpa dirimu dekat dimataku
Aku bagai ikan tanpa air
Tanpa dirimu ada disisiku
Aku bagai hiu tanpa taring
Tanpa dirimu dekap dipelukku
Aku bagai pantai tanpa lautan
Kembalilah...kasih ooo Kembalilah kasih
Kubernyanyi lepas isi hati
Gelap ini
Kuucap berjuta kata maki
Malam ini
Bersama bulan aku menari
Gelap ini
Ditepi pantai aku menangis
Tanpa dirimu dekat dimataku
Aku bagai ikan tanpa air
Tanpa dirimu ada disisiku
Aku bagai hiu tanpa taring
Tanpa dirimu dekap dipelukku
Aku bagai pantai tanpa lautan
Kembalilah...kasih ooo Kembalilah kasih
Polo tau walaupun Diana tak lagi
mencintainya, namun ia tetap akan mencintai Diana. Dan ia percaya ada sebuah
mantan pacar, namun tak ada kata mantan sahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar