9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

Inikah Sejatiku?

Inikah Sejatiku?

Bau tanah basah masih jelas tercium. Aroma khas yang menusuk sela-sela lubang hidung. Hujan baru saja reda mengguyur Kampung Toli. Kampung Toli? Terdengar lucu memang. Kampung Toli adalah sebuah kampung kecil di sudut Kota Yogyakarta. Sebuah kampung mungil yang masih mempunyai berjuta partikel udara segar untuk kita hirup. Toli mempunyai sejuta alasan untuk membuat siapapun betah tinggal.

            Di kampung itu tinggal dua sahabat yang masih sangatlah ingusan. Semua orang memanggilnya Dina dan yang satunya lagi Bryan. Dina adalah gadis kecil berumur tujuh tahun sedangkan Bryan tiga tahun lebih tua darinya. Dua sahabat itu bersahabat sejak kecil. Mereka tak pernah membiarkan sedetikpun waktu bermain mereka terbuang sia-sia. Hari demi hari selalu mereka habiskan untuk bermain dan bermain. Tak pernah terbesit rasa jenuh di benak mereka. ‘Kak Ian’ begitu Dina memanggil sahabatnya yang juga sudah  ia anggap seperti kakak itu. Memang Dina adalah anak tunggal yang selalu merasa kesepian karena kedua orang tuanya hamper menghabiskan waktu untuk bekerja. Setiap harinya Dina hanya ditemani oleh kakek dan neneknya yang selalu membuatnya merasa bosan.
            Sore itu Dina dan Bryan memutuskan untuk bermain petak umpet. Tanah becek dan licin tak sedikitpun menyurutkan niat mereka.
            “Sekarang Kak Ian yang jaga!”  Seru Dina.
            “Loh kok aku?” Jawab Ian.
            “Yaudah deh kalau nggak mau jaga nggak jadi main aja!”  Ucap Dina.
            “Yaudah deh aku jaga.” Ian mengalah.
            Memang sikap Dina ke Ian bias dikatakan menja. Dina menganggap Ian seperti kakak, dan sebaliknya. Berjam-jam mereka menghabiskan waktu untuk bermain. Tak terasa matahari hamper enggan lagi menyisakan guratnya untuk mereka. Hari yang menyenengkan ini pun harus berakhir. Dua bocah ingusan itu memutuskan untuk mengakhiri petak umpet hari itu dan kemudian pulang ke rumah  masing-masing.
            “Hati-hati dijalan peseeeeeek!” Ledek Ian.
            Dina tak menghiraukan ledekan Ian dan terus berjalan pulang. Sesampainya di rumah Ia langsung disambut oleh neneknya yang ternyata sedari tadi mencarinya.
            “Dari mana saja Kak?” Tanya Nenek.
            “Dina habis main petak umpet sama Kak Ian di lapangan, Nek.” Jawab Dina
            “Besok lagi kalau main jangan sampai sesore ini ya. Yaudah sana mandi lalu makan.”  Perintah Nenek.
            “Siap bos!” Jawab Dina seraya bersemangat karena tidak jadi dimarahi.
            Suara gesekan piring dan sendok sudah tak terdengar lagi. Pertanda tuan putri sudah selesai melahap makan malamnya. Dina bergegas menuju kamarnya. Lalu Ia menyiapkan peralatan sekolah kemudian beranjak tidur. Malam itu Dina tidur dengan sangat nyenyak dibawah pelukan selimut bergambar kartun kesayangannya. Suara rintik hujan pun sama sekali tak mengusik lelapnya. Benar-benar nyenyak, bagai beruang kutub yang baru saja menyantap begitu banyak makanan dan kemudian berhibernasi. Rupanya anak manja ini sedang menjelajah alam mimpi. Alam yang sangatlah indah bagi siapapun yang mendapatinya.
            Keesokan harinya, Toli masih sangat sunyi. Hanya terlihat beberapa orang sudah memulai mencangkuli ladangnya. Ada juga yang sudah terlihat mencuci ompol bayinya yang tertumpuk sejak tadi malam. Bulir embun yang mengalir diantara daun talas juga menambah sejuknya pagi itu. Suara nyaring ayam jago milik Pak Yanto berhasil membangunkan Dina kali ini. Dina tak langsung beranjak. Ia mengucek matanya. Seakan tak percaya Ia bangun sepagi ini. Beberapa saat kemudian Ia beranjak karena sadar hari semakin siang. Ia harus ke sekolah hari ini. Dina mendi, kemudian sarapan. Begitu rutinitasnya setiap pagi.
            Hari itu begitu menyenagkan di sekolah. Dina berharap hari-hari indah seperti itu selalu dialaminya di sekolah, setiap hari. Bukan hari-hari membosankan yang dulu selalu dialaminya, yang memuatnya begitu malas ke sekolah.  Namun kini hari-harinya di sekolah begitu indah, semenjak teman Dina yang idiot dan selalu menganggunya sudah pindah ke taman kanak-kanak lain. Memang taman kanak-kanak adalah masa paling indah dimana para siswa tak pernah disibukkan dengan tugas yang menggunung. Bebas berceloteh bagaimanapun sesuka hati kita. Indah. Begitu indah.
            Tak terasa 2 tahun berlalu. Kini Dina lulus dari taman kanak-kanak. Besok Ia sudah akan memakai seragam merah putih. Bukan lagi merah kotak-kotak dengan dasi pita yang sangat mengganggu dan sering membuat lehernya merasa tercekik. Liburan tiba. Masa yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan orang. Pelajar sampai orang dewasa sekalipun. Termasuk juga dua bocah ingusan itu, Dina dan juga Ian.
            Mentari masih malu menmpakkan guratannya. Kenari pun masih bermalas-malasan berselimut jerami. Namun pagi ini sangatlah berbeda. Sang putrid tidur nampaknya sudah enggan menjelajah alam mimpinya. Mungkin dia lelah. Bukan itu. Bukan Itu alas an sesungguhnya mengapa Dina terbangun sepagi itu. Dina terperanjat dengan nefas terengah-engah bak baru dikejar-kejar pocong keliling kampong tujuh kali. Berteriak pun Ia yak sanggup. Rupanya Dina baru saja mendapat mimpi buruk. MImpi tentang sahabatnya. ‘Ian’. Hanya Ian yang ada di benaknya saat itu. Rupanya gadis mungil itu mendapat mimpi buruk tentang sahabatnya. Di dalam mimpinya Ia melihat Ian sedang dikejar-kejar oleh anjing yang berukuran sangat besar melebihi besarnya tubuh Cempluk pedagang ikan di pasar. Anjing raksasa itu mengejar Ian lalu melahapnya sampai habis. Begitu mengerikan. Semenjak saat itu Dina sangatlah benci kepada anjing. Sangat benci. Dalam benaknya Ia seakan ingin membunuh semua anjing yang ada di muka bumi ini.
            Liburan Dina dihabiskan dengan bermain bersma bonekanya. Entah mengapa akhir-akhir ini Ia jarang sekali bertemu sahabatnya apalagi bermain dengannya. Rumahnya selalu kelihatan kosong seakan tak berpenghuni. Dina kesepian. Sangatlah merasa sepi. Ia merindukan sosok sahabatnya yang selalu menghinurnya dan menemaninya bermain. Kapanpun, dan dimanapun Dina mau. Sore itu Dina melihat Ian baru sja keluar dari mobilnya. Entah Dina tak tahu dari mana saja Ian pergi bersama keluarganya hari itu. Ian menatap Dina sejenak, lalu bergegas berlari masuk ke rumah. Dina tak mengerti. Sama sekali tak mengerti mengapa Ian tak sedikitpun tersenyum padanya dan sebaliknya malah terlihat begitu datar. Dina bingung. ‘Ada apa dengan Kak Ian?’ Hanya itu yang dipirkannya sekarang. Dina tak paham.
            ~Keesokan harinya~
            Suara sahut-sahutan ayam jantan milik Pak Yanto kali ini benar-benar tak bisa mengalahkan nyenyaknya tidur Dina. Entah mengapa begitu nyenyaknya. Mungkin suara bom sekalipun tak akan membangunkannya. Mungkin Dina lelah.
            Tak lama kemudian Dina langsung terperanjat. Ia mendengar ada suara yang memanggilnya di balik pintu. Tentu Ia sangat mengenali betul siapa pemilik pita suara itu.
            “Hoi cepetan bangun!” Ucap seseorang  di balik pintu.
            Tanpa pikir panjang Dina langsung melompat dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamar tidurnya. Tampaknya Ia sudah tahu siapa yang ada di seberang sana. Dengan sepatu coklat serta kemeja kotak-kotak hadiah ulang tahun dari neneknya tahun lalu. Tampak rapi sekali. Dina bingung. Tak biasanya Ian sepagi itu ke rumah Dina dengan mengenakan pakaian serapi itu. Apalagi akhir-akhir ini mereka jarang bermain bersama.
            “Kak Ian mau ke mana?” Tanya Dina.
            “Jangan banyak Tanya, ayo ikut aku!” Jawab Ian.
            “Kemana?” Tanya Dina lagi.
            “Sudahlah jangan banyak Tanya!” Jawab Ian ketus.
            Ternyata Ian mengajak Dina ke taman di dekat rumah mereka. Sesampainya di taman Dina duduk di ayunan. Begitu juga Ian.
            “Jadi kita mau main apa? Dina masih ngantuk banget nih.” Ucap Dina seraya menguap menandakan Ia masih sangat mengantuk.
            “Bauk ih!” Jawab Ian singkat.
            Raut wjah Ian sangatlah datar. Tak seperti biasanya. Ian yang selalu ceria. Dina tahu ada sesuatu yang aneh dengan Ian kali ini. Namun Dina bingung mengutarakannya. Ia canggung menanyakan hal itu. Entah mengapa dua sahabat itu bagai orang yang baru saja kenal dan canggung untuk saling bertanya. Mereka saling terdiam. Dan Dina terbisu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi berputar-putar di dalam otaknya. Sesak penuh tanda Tanya. Hampir lima belas menit sudah mereka terdiam. Ian menatap Dina seakan ingin mengatakan sesuatu. Ia mengambil sesuatu di dalam tas nya. Sebuah boneka teddy bear ungu kecil yang sangat lucu. Ian memberikannya pada Dina.
            “Ini buat kamu ya. Aku pergi dulu. Kamu jangan nakal.” Ucap Ian.
            “Kemana? Kapan pulang?” Tanya Dina.
            “Aku pindah rumah. Mungkin aku takkan kembali. Sudah dulu ya. Jangan lupakan aku. Kamu juga jangan nakal.”  Begitulah kata-kata terakhir yang diucapkan Ian yang sampai saat ini tak bisa dilupakan oleh Dina.
            Ian beranjak dari duduknya kemudian pergi pulang ke rumahnya. Dina masih terpaku dalam duduknya. Ia bingung. Ia masih tak percaya Ian akan pindah rumah. Sama sekali tak percaya. Ia masih enggan beranjak. Masih diam dengan beribu tanda tanya yang ada di benaknya. Benarkah yang dikatakan Ian? Atau hanya lelucon? Dina tak tahu pasti. Dina tak bisa membayangkan hari-harinya tanpa sahabatnya itu.
            Namun fakta berkata lain. Sangat kontras dengan harapan Dina. Ian benar-benar pindah. Jauh dari Dina. Entah di mana Dina tak tahu pasti. Kini Dina sangatlah kesepian. Sangat sepi. Tak ada lagi sosok yang selalu menemaninya dan bermain dengannya.
            Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu. Kini 6 tahun sudah Dina menjalani hari-harinya tanpa Ian. Dina sama sekali tak melupakan Ian. Walaupun tak pernah ada kabar dari sahabatnya itu. Ia tetap menunggu, berharap sahabatnya akan pulang dan takkan pergi lagi.Terkadang harapannya itu sampai terbawa mimpi. Ya. Dina sering sekali bermimpi bisa bertemu dengan Ian. Semua itu hanya sebatas mimpi.
            Kini Dina sudah duduk di kelas 7 Sekolah Menengah Pertama. Dina yang dulu cengeng dan manja kini tumbuh enjadi gadis yang selalu ceria. Ia juga sudah mempunyai seorang adik yang dilahirkan ibunya saat Ia duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Dibalik semua itu masih tersimpan kesedihan yang teramat dalam. Ia masih menunggu sahabatnya. Betapa kerinduan membelenggu di hatinya beberapa tahun ini.
            Malam itu Dina bermimpi dalam tidurnya. Ia bermimpi bertemu sahabatnya. Betapa bahagia yang dia rasa. Serasa semua itu nyata. Sangatlah nyata. Seperti kejadian 6 tahun lalu, Ian berkata,
            “Jangan lupakan aku. Kamu juga jangan nakal. Aku mau pergi jauh dan tak mungkin kembali. Jangan tunggu aku dan carilah kebahagiaanmu.” 
            Ucap Ian seraya berjalan menuju cahaya yang sangat terang. Dina tak tahu cahaya apa itu. Dina mengikuti Ian, namun Dina malah terbangun dari tidurnya. Ia terbangun. Ternyata hanya mimpi. Ucap batin Dina. Namun Ia bingung apa arti mimpi itu. Dia tak begitu menghiraukannya. Dari kejauhan tampak mama Dina berjalan menuju kamar Dina.
            “Ada apa, Ma?” Tanya Dina.
            “Kak, kemasi sebagian bajumu. Kita harus pergi pagi ini juga.” Jawab Mama Dina.
            “Kemana Ma? Sepagi ini?” Tanya Dina meminta penjelasan.
            “Kita harus ke rumah Ian. Berangkat pagi ini juga.” Ucap Mama Dina.
            “Tapi……….”
            Dina tak meneruskan kata-katanya. Mamanya beranjak pergi. ‘Ada yang aneh.’ Pikir Dina.
            Pagi itu juga seluruh keluarga Dina dan keluarga Ian yang ada di Jogja berangkat ke rumah Ian. Dina tak habis piker. Ada acara apa ini? Kenapa mendadak sekali? Raut wajah semua orang juga tak begitu mengenakkan. Namun Dina hanya terdiam sepanjang jalan tak sedikitpun berani menanyakan semua pertanyaan yang ada di dalam benaknya.
            6 Jam sudah berlalu. Perjalanan dari Yogyakarta ke Surabaya memang menghabiskan banyak energi. Namun semua itu tak dirasakan oleh Dina. Yang terpenting baginya saat ini adalah bahwa Ia akan bertemu sahabatnya yang sekian lama menghilang tanpa kabar. Ia sangat berharap waktu cepat berlalu dan Ia segera sampai di rumah Ian.
            Tak lama kemudian mobil mereka sudah sampai di sebuah komplek perumahan. Tak ada yang janggal sedikitpun. Bahkan Dina selalu menyeru kepada pamannya untuk ngebut membawa mobil agar cepat sampai. Mobil berhenti di depan sebuah rumah cukup besar. Dina heran, mengapa banyak orang berada di situ. Mereka turun. Dina masih belum mengerti. Ia memerhatikan mamanya, sesekali mamanya mengusap air mata yang jatuh. Dina dilanda rasa bingung yang sangat hebat. Ia terpaku. Mencoba menebak ada apa semua ini. Ia diam. Sementara yang lain tampak masuk ke dalam rumah. Dina masih terpaku. Di depan pintu mobil yang baru saja dibukanya. Ia berpikir. Mencari-cari dan menebak ada apa ini semua.
            Dina meneteskan air matanya. Seakan Ia mulai mengerti mengapa Mamanya mengajaknya kemari. Di sini, ke rumah ini. Dina benar-benar mengerti. Ia berlari ke dalam. Menahan tangis yang hampir saja tumpah, menunggu kejelasan semua ini. Tak peduli Ia daritadi diperhatikan oleh setiap orang yang menjumpainya. Mereka berbaju hitam. Ya, Dina hampir tahu apa arti baju hitam yang mereka pakai.
            “Ma, jawab Dina. Ada apa sebenarnya ?” Tanya Dina.
            “Kamu harus mengikhlaskan semua ini. Ian sudah pergi. Jauh meninggalkan kita.” Ucap Mama Dina seraya memeluknya.
            Hati Dina hancur. Bagai ditabrak truk container yang sangat besar. Sakit. Ia tak percaya. Sama sekali tak percaya sahabat yang dinantinya sudah pergi meninggalkannya. Menangis. Satu-satunya hal yang bias dilakukannya saat itu. Tak ada lagi harapan selain sahabatnya akan kembali. Takdir berkata lain. Namun Dina masih saja belum bias menerimanya.
            Pemakaman Ian berjalan dengan lancar. Dina yang sedari tadi tak berhenti menangis memaksakan untuk ikut ke komplek pemakaman perumahan Ian untuk menyaksikan pemakaman sahabatnya secara langsung. Tak ada yang bisa mencegahnya kala itu. Berselimut kesedihan Ia mengantar sahabatnya ke tempat tidur terakhir. Nyaman. Sangat nyaman.
            Sesampainya kembali di rumah Ian, Dina masih belum juga berhenti menangis. Tante Ning, Mama Ian bercerita bahwa selama ini anak bungsunya itu menderita kanker otak. Stadium akhir. Mengerikan memang. Bagi seorang Ian, tidaklah mudah mempertahankan hidup dengan sakit yang begitu sakit. Namun Tante Ning lebih terlihat tegar. Hal itu karena Ia sudah berjanji dengan Ian bahwa jika sewaktu-waktu Ian pergi Ia takkan lagi sedih. Sudah terlalu deras air mata yang selama ini Ia teteskan saat Ian jatuh sakit.
            Sore itu juga keluarga Dina memuuskan untuk pulang kembali ke Jogja. Dikarenakan mereka sudah harus menjalani aktifitas sehari-hari mereka seperti sedia kala. Sepanjang jalan Dina hanya terdiam, sesekali terdengar sesenggukan Ia menangis.
            Sesampainya di Jogja Keluarga Dina melakukan aktifitas seperti biasa. Begitu juga Dina. Namun hari-hari Dina tampak sangat begitu datar, tak ada lagi tawa yang terdengar darinya. Ia berubah, menjadi sosok Dina yang pemurung.
            Hari-hari Ia lewati. Bersama kesedihan yang berlarut-larut. Berhari-hari, berbulan-bulan. Dina sadar, tak seharusnya Ia terlalu terlarut dalam tangis. Ia harus bangkit. Bangkit dan menyadari semua sudah digariskan oleh Tuhan pastinya.
I open my eyes
I try to see but I’m blinded by the white light
I can’t remember how
I can’t remember why
I’m lying here tonight
            Sesuai dengan lirik Untitled-Simple Plan yang baru diputarnya malam itu. Ia tak tahu, mengapa semuanya bisa terjadi. Ia berpikir Tuhan tak adil dengannya. Tak adil. Namun Ia juga sadar ini semua yang terbaik untuk sahabatnya. Dina berjanji tak akan pernah melupakan Bryan. Tak akan pernah.
            Dina mengubah hidupnya. Menghapus kesedihan yang selama ini menghalau senyumnya. Ia bangkit. Mencoba memahami Suratan Takdir yang sudah digariskan Tuhan dan yang pasti terbaik untuknya. Ia menjalani harinya dengan ikhlas. Tak ada lagi kesedihan.
            Hari-hari Dina disekolah sangat terasa bahagia. Kini dia juga sudah mempunyai seorang pacar. Dino. Seorang lelaki yang selalu bisa memahaminya. Tersenyum, tertawa, penuh canda bahagia. Seakan kesedihan yang dulu Ia rasa begitu mendalam larut bersamanya.
            Namun bahagia itu ternyata tak lama bersanding dengan mereka. Hanya lima bulan. Ya, seratus lima puluh hari. Dan mereka memutuskan untuk tak lagi bersama. Hilang sudah semuanya. Larut dan tenggelam bersama ego yang tak terkalahkan. Namun rasa kehilangan yang dirasa Dina tak sebesar yang dirasanya saat kehilangan sahabatnya. Ia yakin kelak akan menemukan sesuatu yang lebih bisa membuatnya tertawa, kekal. Bukan sesaat.
But don't you remember? Don't you remember?
The reason you loved me before
Baby, please remember me once more
Itulah sepenggal lirik lagu yang akhir ini sering dinyanyikannya. Berbulan-bulan Dina lewati tanpa Dino. Hampa. Namun dia harus kuat. Seperti kala kehilangan sahabatnya, Ia harus bangkit. Ia percaya, yakin semua pasti bisa dilewatinya. Hingga sampai saat itu. Ketika Dina menemukan seseorang. Baik sebagai sahabat. Sangatlah baik. Perhatian, dan selalu bisa memahami Dina. Dina mulai menyukainya, sebagai sosok sahabat. Namun mungkin tidak bagi Dika, Dika menyukai Dina lebih dari sesosok –sahabat-. Ia menganggap perhatian Dina selama ini lebih dari itu. Ia mencoba menarik hati Dina, namun tak pernahlah bisa. Dina mencoba menjelaskan, memohon agar Dika memahami perasaannya. Dika masih saja belum bias menerima Dina sebagai sebatas sahabat. Hal itu membuat Dina agak menjaga jarak dengan Dika. Ia berharap Dika melupakan semua rasa yang dianggapnya berlebihan.
            Sesungguhnya Dina juga mempunyai perasaan yang sama dengan Dika. Namun Ia takut, masa lalunya bersama Dino akan terulang. Ia tak mau. Ia masih terlalu takut untuk kehilangan sosok membahagiakan, lagi. Untuk kesekian kali. Dina dan Dika memilih bersahabat, hingga kini, Dina menganggap Dika seperti sosok Bryan yang telah lama hilang. Kini Ia kembali, sebagai Dika. Ia berharap takkan lagi kehilangan sosok sepertinya. Yang selalu ada. Semoga bahagia ini abadi. Entah sampai kapan, mencoba kekal dan tak lagi membenci. Dika, yang mempunyai sejuta alasan untuk membuat Dina tersenyum bahagia. Dalam batin Dina bertanya, ‘Tuhan, inikah sejatiku?’

Nama   : Pipit Wulansari

Kelas   : IXF / 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar