Inikah
Sejatiku?
Bau tanah basah
masih jelas tercium. Aroma khas yang menusuk sela-sela lubang hidung. Hujan
baru saja reda mengguyur Kampung Toli. Kampung Toli? Terdengar lucu memang. Kampung
Toli adalah sebuah kampung kecil di sudut Kota Yogyakarta. Sebuah kampung
mungil yang masih mempunyai berjuta partikel udara segar untuk kita hirup. Toli
mempunyai sejuta alasan untuk membuat siapapun betah tinggal.
Di
kampung itu tinggal dua sahabat yang masih sangatlah ingusan. Semua orang
memanggilnya Dina dan yang satunya lagi Bryan. Dina adalah gadis kecil berumur
tujuh tahun sedangkan Bryan tiga tahun lebih tua darinya. Dua sahabat itu
bersahabat sejak kecil. Mereka tak pernah membiarkan sedetikpun waktu bermain
mereka terbuang sia-sia. Hari demi hari selalu mereka habiskan untuk bermain
dan bermain. Tak pernah terbesit rasa jenuh di benak mereka. ‘Kak Ian’ begitu
Dina memanggil sahabatnya yang juga sudah
ia anggap seperti kakak itu. Memang Dina adalah anak tunggal yang selalu
merasa kesepian karena kedua orang tuanya hamper menghabiskan waktu untuk
bekerja. Setiap harinya Dina hanya ditemani oleh kakek dan neneknya yang selalu
membuatnya merasa bosan.
Sore
itu Dina dan Bryan memutuskan untuk bermain petak umpet. Tanah becek dan licin
tak sedikitpun menyurutkan niat mereka.
“Sekarang
Kak Ian yang jaga!” Seru Dina.
“Loh
kok aku?” Jawab Ian.
“Yaudah
deh kalau nggak mau jaga nggak jadi main aja!”
Ucap Dina.
“Yaudah
deh aku jaga.” Ian mengalah.
Memang
sikap Dina ke Ian bias dikatakan menja. Dina menganggap Ian seperti kakak, dan
sebaliknya. Berjam-jam mereka menghabiskan waktu untuk bermain. Tak terasa
matahari hamper enggan lagi menyisakan guratnya untuk mereka. Hari yang
menyenengkan ini pun harus berakhir. Dua bocah ingusan itu memutuskan untuk
mengakhiri petak umpet hari itu dan kemudian pulang ke rumah masing-masing.
“Hati-hati
dijalan peseeeeeek!” Ledek Ian.
Dina
tak menghiraukan ledekan Ian dan terus berjalan pulang. Sesampainya di rumah Ia
langsung disambut oleh neneknya yang ternyata sedari tadi mencarinya.
“Dari
mana saja Kak?” Tanya Nenek.
“Dina
habis main petak umpet sama Kak Ian di lapangan, Nek.” Jawab Dina
“Besok
lagi kalau main jangan sampai sesore ini ya. Yaudah sana mandi lalu
makan.” Perintah Nenek.
“Siap
bos!” Jawab Dina seraya bersemangat karena tidak jadi dimarahi.
Suara
gesekan piring dan sendok sudah tak terdengar lagi. Pertanda tuan putri sudah
selesai melahap makan malamnya. Dina bergegas menuju kamarnya. Lalu Ia
menyiapkan peralatan sekolah kemudian beranjak tidur. Malam itu Dina tidur
dengan sangat nyenyak dibawah pelukan selimut bergambar kartun kesayangannya.
Suara rintik hujan pun sama sekali tak mengusik lelapnya. Benar-benar nyenyak,
bagai beruang kutub yang baru saja menyantap begitu banyak makanan dan kemudian
berhibernasi. Rupanya anak manja ini sedang menjelajah alam mimpi. Alam yang
sangatlah indah bagi siapapun yang mendapatinya.
Keesokan
harinya, Toli masih sangat sunyi. Hanya terlihat beberapa orang sudah memulai
mencangkuli ladangnya. Ada juga yang sudah terlihat mencuci ompol bayinya yang
tertumpuk sejak tadi malam. Bulir embun yang mengalir diantara daun talas juga
menambah sejuknya pagi itu. Suara nyaring ayam jago milik Pak Yanto berhasil
membangunkan Dina kali ini. Dina tak langsung beranjak. Ia mengucek matanya.
Seakan tak percaya Ia bangun sepagi ini. Beberapa saat kemudian Ia beranjak
karena sadar hari semakin siang. Ia harus ke sekolah hari ini. Dina mendi,
kemudian sarapan. Begitu rutinitasnya setiap pagi.
Hari
itu begitu menyenagkan di sekolah. Dina berharap hari-hari indah seperti itu
selalu dialaminya di sekolah, setiap hari. Bukan hari-hari membosankan yang
dulu selalu dialaminya, yang memuatnya begitu malas ke sekolah. Namun kini hari-harinya di sekolah begitu
indah, semenjak teman Dina yang idiot
dan selalu menganggunya sudah pindah ke taman kanak-kanak lain. Memang taman
kanak-kanak adalah masa paling indah dimana para siswa tak pernah disibukkan
dengan tugas yang menggunung. Bebas berceloteh bagaimanapun sesuka hati kita.
Indah. Begitu indah.
Tak
terasa 2 tahun berlalu. Kini Dina lulus dari taman kanak-kanak. Besok Ia sudah
akan memakai seragam merah putih. Bukan lagi merah kotak-kotak dengan dasi pita
yang sangat mengganggu dan sering membuat lehernya merasa tercekik. Liburan
tiba. Masa yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua kalangan orang. Pelajar
sampai orang dewasa sekalipun. Termasuk juga dua bocah ingusan itu, Dina dan
juga Ian.
Mentari
masih malu menmpakkan guratannya. Kenari pun masih bermalas-malasan berselimut
jerami. Namun pagi ini sangatlah berbeda. Sang putrid tidur nampaknya sudah
enggan menjelajah alam mimpinya. Mungkin
dia lelah. Bukan itu. Bukan Itu alas an sesungguhnya mengapa Dina terbangun
sepagi itu. Dina terperanjat dengan nefas terengah-engah bak baru dikejar-kejar
pocong keliling kampong tujuh kali. Berteriak pun Ia yak sanggup. Rupanya Dina
baru saja mendapat mimpi buruk. MImpi tentang sahabatnya. ‘Ian’. Hanya Ian yang
ada di benaknya saat itu. Rupanya gadis mungil itu mendapat mimpi buruk tentang
sahabatnya. Di dalam mimpinya Ia melihat Ian sedang dikejar-kejar oleh anjing
yang berukuran sangat besar melebihi besarnya tubuh Cempluk pedagang ikan di pasar. Anjing raksasa itu mengejar Ian
lalu melahapnya sampai habis. Begitu mengerikan. Semenjak saat itu Dina
sangatlah benci kepada anjing. Sangat benci. Dalam benaknya Ia seakan ingin
membunuh semua anjing yang ada di muka bumi ini.
Liburan
Dina dihabiskan dengan bermain bersma bonekanya. Entah mengapa akhir-akhir ini
Ia jarang sekali bertemu sahabatnya apalagi bermain dengannya. Rumahnya selalu
kelihatan kosong seakan tak berpenghuni. Dina kesepian. Sangatlah merasa sepi.
Ia merindukan sosok sahabatnya yang selalu menghinurnya dan menemaninya
bermain. Kapanpun, dan dimanapun Dina mau. Sore itu Dina melihat Ian baru sja keluar
dari mobilnya. Entah Dina tak tahu dari mana saja Ian pergi bersama keluarganya
hari itu. Ian menatap Dina sejenak, lalu bergegas berlari masuk ke rumah. Dina
tak mengerti. Sama sekali tak mengerti mengapa Ian tak sedikitpun tersenyum
padanya dan sebaliknya malah terlihat begitu datar. Dina bingung. ‘Ada apa
dengan Kak Ian?’ Hanya itu yang dipirkannya sekarang. Dina tak paham.
~Keesokan
harinya~
Suara
sahut-sahutan ayam jantan milik Pak Yanto kali ini benar-benar tak bisa
mengalahkan nyenyaknya tidur Dina. Entah mengapa begitu nyenyaknya. Mungkin
suara bom sekalipun tak akan membangunkannya. Mungkin Dina lelah.
Tak
lama kemudian Dina langsung terperanjat. Ia mendengar ada suara yang
memanggilnya di balik pintu. Tentu Ia sangat mengenali betul siapa pemilik pita
suara itu.
“Hoi
cepetan bangun!” Ucap seseorang di balik
pintu.
Tanpa
pikir panjang Dina langsung melompat dari tempat tidurnya dan membuka pintu
kamar tidurnya. Tampaknya Ia sudah tahu siapa yang ada di seberang sana. Dengan
sepatu coklat serta kemeja kotak-kotak hadiah ulang tahun dari neneknya tahun
lalu. Tampak rapi sekali. Dina bingung. Tak biasanya Ian sepagi itu ke rumah
Dina dengan mengenakan pakaian serapi itu. Apalagi akhir-akhir ini mereka
jarang bermain bersama.
“Kak
Ian mau ke mana?” Tanya Dina.
“Jangan
banyak Tanya, ayo ikut aku!” Jawab Ian.
“Kemana?”
Tanya Dina lagi.
“Sudahlah
jangan banyak Tanya!” Jawab Ian ketus.
Ternyata
Ian mengajak Dina ke taman di dekat rumah mereka. Sesampainya di taman Dina
duduk di ayunan. Begitu juga Ian.
“Jadi
kita mau main apa? Dina masih ngantuk banget nih.” Ucap Dina seraya menguap
menandakan Ia masih sangat mengantuk.
“Bauk
ih!” Jawab Ian singkat.
Raut
wjah Ian sangatlah datar. Tak seperti biasanya. Ian yang selalu ceria. Dina
tahu ada sesuatu yang aneh dengan Ian kali ini. Namun Dina bingung
mengutarakannya. Ia canggung menanyakan hal itu. Entah mengapa dua sahabat itu
bagai orang yang baru saja kenal dan canggung untuk saling bertanya. Mereka
saling terdiam. Dan Dina terbisu dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi
berputar-putar di dalam otaknya. Sesak penuh tanda Tanya. Hampir lima belas
menit sudah mereka terdiam. Ian menatap Dina seakan ingin mengatakan sesuatu. Ia
mengambil sesuatu di dalam tas nya. Sebuah boneka teddy bear ungu kecil yang sangat lucu. Ian memberikannya pada
Dina.
“Ini
buat kamu ya. Aku pergi dulu. Kamu jangan nakal.” Ucap Ian.
“Kemana?
Kapan pulang?” Tanya Dina.
“Aku pindah rumah. Mungkin aku takkan
kembali. Sudah dulu ya. Jangan lupakan aku. Kamu juga jangan nakal.” Begitulah kata-kata terakhir yang diucapkan
Ian yang sampai saat ini tak bisa dilupakan oleh Dina.
Ian
beranjak dari duduknya kemudian pergi pulang ke rumahnya. Dina masih terpaku
dalam duduknya. Ia bingung. Ia masih tak percaya Ian akan pindah rumah. Sama
sekali tak percaya. Ia masih enggan beranjak. Masih diam dengan beribu tanda
tanya yang ada di benaknya. Benarkah yang
dikatakan Ian? Atau hanya lelucon? Dina tak tahu pasti. Dina tak bisa
membayangkan hari-harinya tanpa sahabatnya itu.
Namun
fakta berkata lain. Sangat kontras dengan harapan Dina. Ian benar-benar pindah.
Jauh dari Dina. Entah di mana Dina tak tahu pasti. Kini Dina sangatlah
kesepian. Sangat sepi. Tak ada lagi sosok yang selalu menemaninya dan bermain
dengannya.
Hari
demi hari, tahun demi tahun berlalu. Kini 6 tahun sudah Dina menjalani
hari-harinya tanpa Ian. Dina sama sekali tak melupakan Ian. Walaupun tak pernah
ada kabar dari sahabatnya itu. Ia tetap menunggu, berharap sahabatnya akan pulang dan takkan pergi lagi.Terkadang
harapannya itu sampai terbawa mimpi. Ya. Dina sering sekali bermimpi bisa
bertemu dengan Ian. Semua itu hanya sebatas
mimpi.
Kini Dina sudah duduk di kelas 7
Sekolah Menengah Pertama. Dina yang dulu cengeng dan manja kini tumbuh enjadi
gadis yang selalu ceria. Ia juga sudah mempunyai seorang adik yang dilahirkan
ibunya saat Ia duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Dibalik semua itu masih
tersimpan kesedihan yang teramat dalam. Ia masih menunggu sahabatnya. Betapa
kerinduan membelenggu di hatinya beberapa tahun ini.
Malam
itu Dina bermimpi dalam tidurnya. Ia bermimpi bertemu sahabatnya. Betapa
bahagia yang dia rasa. Serasa semua itu nyata. Sangatlah nyata. Seperti
kejadian 6 tahun lalu, Ian berkata,
“Jangan lupakan aku. Kamu juga jangan nakal.
Aku mau pergi jauh dan tak mungkin
kembali. Jangan tunggu aku dan carilah kebahagiaanmu.”
Ucap
Ian seraya berjalan menuju cahaya yang sangat terang. Dina tak tahu cahaya apa
itu. Dina mengikuti Ian, namun Dina malah terbangun dari tidurnya. Ia
terbangun. Ternyata hanya mimpi. Ucap
batin Dina. Namun Ia bingung apa arti mimpi itu. Dia tak begitu
menghiraukannya. Dari kejauhan tampak mama Dina berjalan menuju kamar Dina.
“Ada
apa, Ma?” Tanya Dina.
“Kak,
kemasi sebagian bajumu. Kita harus pergi pagi ini juga.” Jawab Mama Dina.
“Kemana
Ma? Sepagi ini?” Tanya Dina meminta penjelasan.
“Kita
harus ke rumah Ian. Berangkat pagi ini juga.” Ucap Mama Dina.
“Tapi……….”
Dina
tak meneruskan kata-katanya. Mamanya beranjak pergi. ‘Ada yang aneh.’ Pikir Dina.
Pagi
itu juga seluruh keluarga Dina dan keluarga Ian yang ada di Jogja berangkat ke
rumah Ian. Dina tak habis piker. Ada acara apa ini? Kenapa mendadak sekali?
Raut wajah semua orang juga tak begitu mengenakkan. Namun Dina hanya terdiam
sepanjang jalan tak sedikitpun berani menanyakan semua pertanyaan yang ada di
dalam benaknya.
6
Jam sudah berlalu. Perjalanan dari Yogyakarta ke Surabaya memang menghabiskan
banyak energi. Namun semua itu tak dirasakan oleh Dina. Yang terpenting baginya
saat ini adalah bahwa Ia akan bertemu sahabatnya yang sekian lama menghilang
tanpa kabar. Ia sangat berharap waktu cepat berlalu dan Ia segera sampai di
rumah Ian.
Tak
lama kemudian mobil mereka sudah sampai di sebuah komplek perumahan. Tak ada
yang janggal sedikitpun. Bahkan Dina selalu menyeru kepada pamannya untuk
ngebut membawa mobil agar cepat sampai. Mobil berhenti di depan sebuah rumah
cukup besar. Dina heran, mengapa banyak orang berada di situ. Mereka turun.
Dina masih belum mengerti. Ia memerhatikan mamanya, sesekali mamanya mengusap
air mata yang jatuh. Dina dilanda rasa bingung yang sangat hebat. Ia terpaku.
Mencoba menebak ada apa semua ini. Ia diam. Sementara yang lain tampak masuk ke
dalam rumah. Dina masih terpaku. Di depan pintu mobil yang baru saja dibukanya.
Ia berpikir. Mencari-cari dan menebak ada apa ini semua.
Dina
meneteskan air matanya. Seakan Ia mulai mengerti mengapa Mamanya mengajaknya
kemari. Di sini, ke rumah ini. Dina benar-benar mengerti. Ia berlari ke dalam.
Menahan tangis yang hampir saja tumpah, menunggu kejelasan semua ini. Tak
peduli Ia daritadi diperhatikan oleh setiap orang yang menjumpainya. Mereka
berbaju hitam. Ya, Dina hampir tahu apa arti baju hitam yang mereka pakai.
“Ma,
jawab Dina. Ada apa sebenarnya ?” Tanya Dina.
“Kamu
harus mengikhlaskan semua ini. Ian sudah pergi. Jauh meninggalkan kita.” Ucap
Mama Dina seraya memeluknya.
Hati
Dina hancur. Bagai ditabrak truk container yang sangat besar. Sakit. Ia tak
percaya. Sama sekali tak percaya sahabat yang dinantinya sudah pergi
meninggalkannya. Menangis. Satu-satunya hal yang bias dilakukannya saat itu.
Tak ada lagi harapan selain sahabatnya akan kembali. Takdir berkata lain. Namun
Dina masih saja belum bias menerimanya.
Pemakaman
Ian berjalan dengan lancar. Dina yang sedari tadi tak berhenti menangis
memaksakan untuk ikut ke komplek pemakaman perumahan Ian untuk menyaksikan
pemakaman sahabatnya secara langsung. Tak ada yang bisa mencegahnya kala itu.
Berselimut kesedihan Ia mengantar sahabatnya ke tempat tidur terakhir. Nyaman.
Sangat nyaman.
Sesampainya
kembali di rumah Ian, Dina masih belum juga berhenti menangis. Tante Ning, Mama
Ian bercerita bahwa selama ini anak bungsunya itu menderita kanker otak.
Stadium akhir. Mengerikan memang. Bagi seorang Ian, tidaklah mudah
mempertahankan hidup dengan sakit yang begitu sakit. Namun Tante Ning lebih
terlihat tegar. Hal itu karena Ia sudah berjanji dengan Ian bahwa jika
sewaktu-waktu Ian pergi Ia takkan lagi sedih. Sudah terlalu deras air mata yang
selama ini Ia teteskan saat Ian jatuh sakit.
Sore
itu juga keluarga Dina memuuskan untuk pulang kembali ke Jogja. Dikarenakan
mereka sudah harus menjalani aktifitas sehari-hari mereka seperti sedia kala.
Sepanjang jalan Dina hanya terdiam, sesekali terdengar sesenggukan Ia menangis.
Sesampainya
di Jogja Keluarga Dina melakukan aktifitas seperti biasa. Begitu juga Dina.
Namun hari-hari Dina tampak sangat begitu datar, tak ada lagi tawa yang
terdengar darinya. Ia berubah, menjadi sosok Dina yang pemurung.
Hari-hari
Ia lewati. Bersama kesedihan yang berlarut-larut. Berhari-hari, berbulan-bulan.
Dina sadar, tak seharusnya Ia terlalu terlarut dalam tangis. Ia harus bangkit.
Bangkit dan menyadari semua sudah digariskan oleh Tuhan pastinya.
I open my eyes
I try to see but I’m blinded by the white light
I can’t remember how
I can’t remember why
I’m lying here tonight
I try to see but I’m blinded by the white light
I can’t remember how
I can’t remember why
I’m lying here tonight
Sesuai dengan lirik Untitled-Simple Plan yang baru
diputarnya malam itu. Ia tak tahu, mengapa semuanya bisa terjadi. Ia berpikir
Tuhan tak adil dengannya. Tak adil. Namun Ia juga sadar ini semua yang terbaik
untuk sahabatnya. Dina berjanji tak akan pernah melupakan Bryan. Tak akan pernah.
Dina
mengubah hidupnya. Menghapus kesedihan yang selama ini menghalau senyumnya. Ia
bangkit. Mencoba memahami Suratan Takdir yang
sudah digariskan Tuhan dan yang pasti terbaik untuknya. Ia menjalani harinya
dengan ikhlas. Tak ada lagi kesedihan.
Hari-hari
Dina disekolah sangat terasa bahagia. Kini dia juga sudah mempunyai seorang
pacar. Dino. Seorang lelaki yang
selalu bisa memahaminya. Tersenyum, tertawa, penuh canda bahagia. Seakan
kesedihan yang dulu Ia rasa begitu mendalam larut bersamanya.
Namun
bahagia itu ternyata tak lama bersanding dengan mereka. Hanya lima bulan. Ya,
seratus lima puluh hari. Dan mereka memutuskan untuk tak lagi bersama. Hilang
sudah semuanya. Larut dan tenggelam bersama ego yang tak terkalahkan. Namun
rasa kehilangan yang dirasa Dina tak sebesar yang dirasanya saat kehilangan
sahabatnya. Ia yakin kelak akan menemukan sesuatu yang lebih bisa membuatnya tertawa,
kekal. Bukan sesaat.
But don't
you remember? Don't you remember?
The reason you loved me before
Baby, please remember me once more
The reason you loved me before
Baby, please remember me once more
Itulah sepenggal lirik lagu yang akhir ini sering dinyanyikannya. Berbulan-bulan
Dina lewati tanpa Dino. Hampa. Namun dia harus kuat. Seperti kala kehilangan
sahabatnya, Ia harus bangkit. Ia percaya, yakin semua pasti bisa dilewatinya.
Hingga sampai saat itu. Ketika Dina menemukan seseorang. Baik sebagai sahabat.
Sangatlah baik. Perhatian, dan selalu bisa memahami Dina. Dina mulai
menyukainya, sebagai sosok sahabat. Namun mungkin tidak bagi Dika, Dika menyukai Dina lebih dari
sesosok –sahabat-. Ia menganggap perhatian Dina selama ini lebih dari itu. Ia
mencoba menarik hati Dina, namun tak pernahlah bisa. Dina mencoba menjelaskan,
memohon agar Dika memahami perasaannya. Dika masih saja belum bias menerima
Dina sebagai sebatas sahabat. Hal itu membuat Dina agak menjaga jarak dengan
Dika. Ia berharap Dika melupakan semua rasa yang dianggapnya berlebihan.
Sesungguhnya
Dina juga mempunyai perasaan yang sama dengan Dika. Namun Ia takut, masa
lalunya bersama Dino akan terulang. Ia tak mau. Ia masih terlalu takut untuk
kehilangan sosok membahagiakan, lagi. Untuk kesekian kali. Dina dan Dika
memilih bersahabat, hingga kini, Dina menganggap Dika seperti sosok Bryan yang
telah lama hilang. Kini Ia kembali, sebagai Dika. Ia berharap takkan lagi
kehilangan sosok sepertinya. Yang selalu ada. Semoga bahagia ini abadi. Entah sampai
kapan, mencoba kekal dan tak lagi membenci. Dika, yang mempunyai sejuta alasan
untuk membuat Dina tersenyum bahagia. Dalam batin Dina bertanya, ‘Tuhan, inikah sejatiku?’
Nama : Pipit Wulansari
Kelas : IXF / 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar