9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

Penyesalan

Penyesalan

Sedikit demi sedikit mentari mulai menampakkan dirinya dari ufuk timur untuk memancarkan sinar sinar jingganya. Kicau burung mulai bersaut-sautan satu sama lain. Titik titik embun yang berada pada daun daun nan hijau mulai meneteskan diri ke tanah. Ayam jantan pun telah dari pagi buta hingga saat itu menyerukan kokoknya. Sungguh sejuk pagi itu mendapatkan sambutan dari alam ini.

Sinar sinar jingga itu kemudian masuk melalui ventilasi jendela di sebuah kamar berwarna cat merah muda, yang dihuni oleh Friska. Cahaya jingga keemasan tersebut mulai merambat menyinari kelopak mata yang mungil itu. Kini, matanya mulai berkerdip-kerdip dan mulai terbangun. Friska memanjatkan doa, agar hari ini menjadi hari yang lebih baik dari hari hari sebelumnya. Kemudian seperti biasanya, ia mendekati jendela dan menbukanya untuk segera menghirup udara segar pagi itu.
Hari yang cerah itu adalah hari Minggu. Jadi, tak ada salahnya jika pagi itu Friska tak bergegas untuk cepat cepat bersiap untuk sekolah, dan ia masih santai sekali membereskan satu demi satu perabotan kamarnya yang masih terlihat berantakan. Diambilnya selimut tebal yang digunakannya untuk menutupi tubuhnya sejak malam dan mulailah dia melipat dan merapikannya. Perlahan tangannya mengambil buku-buku yang telah ia baca tadi malam, dan mulai membereskannya. Beberapa buku di kamarnya kini sudah tertata rapi. Setelah membereskan kamar merah jambunya adalah waktunya untuk mandi, dan kemudian sarapan pagi. Setelah selesai sarapan, ia akan pergi ke rumah teman dekatnya, yaitu Lita. 10 menit bersepeda, mungkin sudah sampai. Ternyata sesampai di sana, Reffi juga ada disana bersama Lita di depan rumah.
“Sini Fris, ikut main.” Ajak Lita.
Friska pun bergabung dengan mereka dan bercanda bersama. Beberapa lama kemudian, Fara datang dan menghampiri mereka. Mungkin dirinya sedang kesepian. Jadi ia memutuskan untuk ikut bergabung dengan kami. Setelah lama berbincang bincang, dan tertawa bersama, Reffi, Fara dan Friska pun pulang.
Cukup menggembirakan pagi itu, bermain dan bercanda dengan Lita, Reffi dan Fara. Mereka memang sudah saling kenal sejak kecil. Tapi, Friska lebih akrab dengan Lita disbanding yang lainnya. Mereka sudah sering bermain bersama sejak dulu. Mereka memang sangat cocok. Friska dengan tubuh yang kecil, sedangkan Lita dengan tubuh yang tidak kecil, mungkin agak gendut. Tapi, lebih pantas dianggap gendut. Saling melengkapi. Mereka sama-sama cantik juga. Lita ini, sering membuat lelucon yang sering membuat Friska tertawa terbahak-bahak. Mungkin bisa jadi seharian penuh mereka bisa tertawa bersama.
Tak sampai seharian Friska bermain, ia ingat akan kewajubannya sebagai seorang pelajar. Sore hari, Friska mempersiapkan pakaian seragam biru putihnya yang akan dipakainya hari Senin untuk upacara. Tak hanya itu, ia pun juga mempersiapkan buku buku pelajarannya ke dalam tas sekolahnya. Kini, mentari mulai condong ke arah barat. Pertanda hari mulai petang. Semakin lama kemudian, cahaya matahari pun tenggelam. Lampu-lampu di beberapa rumah juga sudah mulai menyala. Dan adzan Maghrib perlahan dikumandangkan dengan suara yang sangat merdu.
Malam, ketika bintang berkerlip-kerlip di angkasa, ketika bulan yang menghiasi pandangan di langit, ketika daun daun menari-nari tertiup angin, Friska tak segera membuka buku untuk dipelajari, namun ia ingat akan seseorang yang sedang memenuhi pikirannya, yaitu Rama. Sejak dulu, memang selalu dia yang memenuhi pikiran Friska.
Setelah agak lama ia melamun, ia baru sadar bahwa dirinya telah menyia-nyiakan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumahnya. Kemudian barulah ia mengerjakan tugas dari gurunya, yaitu matematika. Sekitar 30 menit, tugasnya telah selesai. Belum tentu benar, namun ia segera dilanda rasa kantuk dan tidak sempat menelitinya. Dan akhirnya ia memutuskan untuk tidur. Ia membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Dan menatap langit langit kamarnya. Mungkin berbaring saja sudah membuat sedikit demi sedikit kantuknya berkurang. Dan mulailah lagi ia melamun membayangkan Rama. Entah mengapa, tapi Friska sangat menyukainya. Matanya masih menatap langit langit kamarnya dan mulai lah perlahan senyumnya merekah mengingat tingkah lucunya Rama. Tawa kecil pun juga sering terdengar ketika ia sedang memikirkannya. Beberapa menit kemudian matanya yang tadi berbinar-binar, menjadi terpejam. Ia pun tertidur pulas.
Keesokan harinya, Friska bangun pukul 4.30 pagi. Setiap pagi, ia selalu mengambil air wudhu untuk sholat Shubuh. Dingin sekali, namun sholat Shubuh sudah menjadi kewajibannya. Dingin ataupun tidak, ia selalu mengerjakan kewajibannya tersebut. Setelah itu, ia tidak membaca buku, karena ia malas untuk membaca buku pagi-pagi. Ia hanya meneliti buku-buku yang akan dibawanya ke sekolah.  Buku-buku sudah beres. Kini ia segera untuk mandi. Beberapa menit berlalu, dan dilanjutkannya sarapan pagi bersama keluarganya. Sudah kenyang, maka ia bergegas untuk berangkat diantar oleh ibunya. Jarak rumahnya ke sekolah kira-kira 3km.
Beberapa menit berlalu, dan sampailah Friska di sekolahnya, SMP   N 2 Bantul. Sekolah yang terbaik di kotanya. Dulu ia berusaha keras untuk bisa diterima di sekolah ini. Dan sampai akhirnya ia sekarang duduk di bangku kelas 8E. Senyumnya selalu menyertai langkahnya menuju kelas 8E. Dia tak sabar  ingin bertemu teman-temannya yang selalu membuatnya ceria. 

“Eiih, Fris udah ngerjain matematika?” tanya Della.
“Udah dong, emang kamu? hahaha” jawab Friska sambil tertawa.
“Yaudah mana? Aku boleh liat kan?” minta Della.
“iya, tapi gak tau itu udah bener apa belum”sambung Friska.
Della pun akhirnya meminjam pekerjaan Friska yang semalam sudah ia kerjakan sambil membayangkan seseorang yang disukainya. Tiba-tiba, seseorang yang dibayangkan Friska semalam datang. Langkah demi langkah ia tapakkan di lantai depan kelas 8E dan akhirnya Rama pun masuk ke kelas.
“teeeetttt” bel pun terdengar.
Siswa siswi 8E pun segera duduk di bangkunya masing-masing. Pembelajaran berlangsung lama. Setelah pembelajaran usai, Friska pulang menunggu jemputannya. Ia menunggu sambil menghabiskan jajan yang dibelinya di kantin. Selang 10 menit, barulah Ibunya sampai di depan sekolah.
Di rumah, ia dihampiri oleh Lita dan Ferdi. Ferdi adalah teman dari Lita. Baru kali ini, Lita bertatap muka dengan Ferdi.
“Friska… Friska…” suara Lita pun terdengar nyaring memanggil Friska dari depan rumah Friska.
“Eiih, kamu Lit. Gimana? Mau main sekarang ya?” Jawab lita.
“Iya. Kamu nggak sibuk kan? Kenalin, ini ada temen aku, namanya Ferdi.” Lanjut Lita.
“Enggak kok.” Jawab Friska kepada Lita. “Oh kamu yang namanya Ferdi, aku Friska” Kata Friska sambil berjabat tangan dengan teman barunya, Ferdi.
“Iya” jawab Ferdi singkat sambil memberikan senyuman kepada Friska.
Semakin lama mereka berbincang-bincang dan saling bercerita tentang pengalamannya, mereka semakin akrab. Hari semakin sore, dan rupanya wajah wajah mereka juga sudah terlihat lelah. Akhirnya mereka pun memutuskan untuk pulang.
Wajah cantik bercampur lelah itu kini mengisyaratkan tubuhnya untuk segera membaringkan tubuhnnya di ranjang. Matanya berkedip perlahan dan kemudian gelap. Ia telah terlelap tidur. Hanya 30 menit saja ia tidur. Waktu menunjukkan pukul 04.15 dan ini sudah waktunya untuk mandi.
Lama setelah Friska dekat dengan Ferdi, dan semakin dekat, kini ia telah melupakan Rama dan mulai tumbuh benih benih cinta kepada Ferdi. Awalnya memang sulit dipercaya bahwa Friska menyukai Ferdi. Namun jika memang ini sudah menjadi takdir, hal ini bisa dianggap wajar.
Ferdi sepertinya juga sudah mengisyaratkan rasa cintanya kepada Friska. Dan dekat, semakin dekat, sampai akhirnya banyak yang mengetahui bahwa keduanya saling suka. Namun Rika telah menghancurkan perasaan Friska. Karena setelah dirinya tahu bahwa Friska menyukai Ferdi, ia mulai mendekati Ferdi. Dan lebih parahnya lagi, Ferdi juga pernah menaruh rasa kepada Rika. Dan Rika mencoba mencintai Ferdi agar dirinya tidak mendekati Friska lagi. Rika tidak mau tersaingi. Dia telah merasa bahwa dirinya lebih baik dari siapapun. Ternyata usaha Rika untuk mendekati Ferdi tidak sia-sia. Setelah lama usaha Rika dilakukannya, Ferdi pun berhasil dipancing Rika untuk kembali menyukainya. Friska pun merasa dirinya hanya dipermainkan oleh Ferdi. Dan ia juga menaruh perasaan benci kepada Rika.
Friska merenung di dalam kamarnya. Kelopak matanya sudah tak mampu menahan bendungan air yang pasti akan terjatuh. Matanya memerah dan perlahan butiran air mata mulai terjatuh membasahi pipi. Ia sungguh menyesali perasaannya yang pernah suka kepada Ferdi. Akhirnya dia sadar, Ferdi bukanlah orang yang setia. Ternyata dia lebih memilih Rika disbanding dengannya. Ia sedih sekali. Hatinya teriris-iris dan angan-angannya untuk bahagia telah sirna.
Hari pertama, cukup pedih untuk melupakan Ferdi. Berminggu-minggu kemudian, rasanya juga masih enggan untuk menghapus pikiran tentang Ferdi. Dan berbulan-bulan kemudian barulah ia bisa melupakannya dan tanpa masih menyimpan rasa sayangnya lagi kepada Ferdi.
Mengerti Friska telah melupakan Ferdi, Rika pun juga mulai menjauhi Ferdi. Ferdi pun juga telah merasakan betapa sakitnya dia ditinggalkan oleh Rika. Ferdi juga sadar bahwa dirinya telah menjahati Friska. Bahkan sangat jahat sekali. Mengenai hal itu, Ferdi pun cepat-cepat untuk meminta maaf kepada Friska atas kesalahannya. Awalnya, sangat sulit baginya untuk mudah memaafkan begitu saja. Namun karena mendapat nasehat dari Lita, sahabat terbaiknya, Friska mau memaafkan Ferdi dengan satu syarat. Yaitu tidak akan memainkan perasaan perempuan. Akhirnya mereka pun damai dan kembali akrab layaknya teman seperti dulu lagi.
Baru disadari oleh Friska, ternyata tidak hanya Ferdi saja yang jahat. Namun dirinya pun juga jahat. Karena dirinya telah melupakan Rama yang justru sejak dulu menyukainya. Kini mulai saat itu, Friska sering memandangi Rama. Ia penasaran, apakah Rama masih menyimpan rasa ataukah tidak.
Sesekali Ia memandang Rama, ia selalu merasa bersalah. Ia sangat menyesal karena telah menyakiti Rama dengan menyukai Ferdi. Setiap harinya ia selalu merenung, Ia menatap langit-langit kamarnya dan berharap ada bintang jatuh seperti di angkasa yang hadir untuk menghiburnya. Namun itu tidak akan mungkin terjadi. Karena langit-langit pada saat itu hanyalah langit-langit kamar saja. Bukan langit yang sama dengan diatas sana.


                                                                                        Nama : Pingkan Pangestu D
                                                                                        Kelas : IX F / 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar