9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

Kasih Tiada Ujung

Kasih Tiada Ujung

                        Kasih untuk selamanya. Buatku kasih untuk Ayah, Ibu, sahabat, dan tentunya kelak untuknya. Jutaan kata terima kasih untuk seseorang yang  selalu ada. Semburat sinar jingga di ufuk barat, ceruit emprit mungil nan merdu bersautan. Saatnya aku melihat mentari itu. Segera kumelaju mendekatinya. Sampailah aku pada lapangan hijau membentang. Kupejamkan mata sejenak melepaskan kepenatan jenuh. Perlahan kubuka mata ini berharap langit tak menelan mentari yang segera berganti malam hitam. Kurasakan detik demi detik kepulangannya. Masih teringat masa itu. Saat, dimana dia pergi dan takkan kembali. Mungkin dia rindu dengan Tuhan. Jadi dia putuskan untuk kembali ke pangkuan Tuhan dan meninggalkan senyum terakhir untukku. Aku duduk diantara dua ayunan seberang jalan saat teriakan peluit kereta menjerit. Bernostalgia.
‘’ Dian ayo pulang nak, sudah maghrib !’’ seru Ibu dari seberang.
‘’ Iya ibu.’’ Sahutku singkat. Tak terasa adzan maghrib yang saling bersautan telah mengingatkanku untuk segera bersujud dihadapNya.
‘’ Aku pulang Ibu !’’ (semua orang mematung membisu, hanya suara jangkrik lirih di heningnya petang )
           
Aku bingung dengan beribu pertanyaan menhampiri. Tiba-tiba lampu mati. Semua gelap. Sebenarnya apa yang terjadi saat ini? Tanyaku dalam hati.

‘’ Selamat Ulang Tahun kami ucapkan…’’ sorak-sorai seluruh anggota keluargaku dengan riang.
                        Ayah membawa tart yang  bertuliskan ‘’ selamat ulang tahun Diana ‘’ dengan lilin angka 12 yang berdiri. Kado teridah. Tradisi yang sudah biasa dalam keluarga ini memberi roti dan saling bertukar kado. Aku meneteska air di pipi ini sebagai tanda bahagia sekaligus haru. Mengapa di hari yang spesial buatku juga hari yang menyedihkan. Tepat hari ini 2 tahunnya kepergiannya. Kakek.

‘’ Memang sulit Dian, tetapi ikhlaskanlah kakekmu yang berada di surga. Mungkin kini dia sedang melihatmu dari surga sambil melambaikan tangan mengucapkan selamat ulang tahun untukmu.’’ Pesan Ayah agar aku tidak sedih menghadapi semua ini.                       
                       
           Mungkin kini saatnya aku lupakan kenangan tentangnya. Saat ini kucoba memikirkan diriku untuk menyiapkan hari esok. Sudah cukup rasanya Tuhan menguji ketegaran hati ku yang masih saja lemah. Sebenarnya ayah sudah menyiapkan rumah baru untuk kamidan dalam waktu dekat ini akan segera meninggalkan rumah ini.

‘’ Ibu, Dian, Ana, dan Ifah, kalian harus segera berkemas. Dua hari lagi kita akan pindah ke rumah baru dekat rumah buyut.’’Ayah bicara seolah yakin akan segera pindah.
***                                                                                   
                        Truk pengangkut barang sudah siap. Kami semua naik ke mobil. Sebelum aku meninggalkan rumah kenangan ini kukecup tangan dangan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Kutinggalkan sepasang ayunan seberang pohon kenari.

                        Sampailah kami di rumah bata nan eksotis, berpayung pohon kelapa yang teduh, sumilir angin menghembus dengan tenangnya, kulihat rumah yang terlihat sangat maskulin. Kucermati ada sebuah ukiran unik di teras rumah bertulis ‘’Omah Koe’’. Ayah memang sengaja mendesain rumah ini total. Untuk menumbuhkan rasa gokil dan humoris keluarga kami yang sempat hilang. Kehidupan baru mulai berjalan sejak itu…

                        Semua berubah. Teman, sahabat, orang sekitar kini aku mengenal wajah baru. Terutama hal menarik saat SMP yang konyol. Kesedihan yang berlarut saai itu kini mulai berganti kegembiraan. Masa Orientasi. Waktu dimana kebingungan mencari kelas dan teman. Tak ada satupun yang kukenal. Lambat laun kucoba mencari sahabat terbaik dalam perjalanan SMP ini. Kelas 7 yang konyol saat keluguan yang ada dan tingkah aneh masa perkenalan yang membuat diriku canggung dan salah tingkah. Kala itu aku mengenal sosok yang misterius. Sulit ditebak. Namanya Dzidni. Teman pertama yang ada buatku. Meski dirinya terlihat aneh , tetapi memang seperti itulah dia. Aku pernah menanyaka sesuatu yang aneh.

‘’ Ni, kamu kalau jalan memang kaya gitu ya?’’ tanyaku saat pelajaran.
‘’ Memang aku yang jalan aneh ya? Mesti kamu lihat aku jalannya jinjit-jinjit. Jawabnya dengan tersipu malu.
‘’ Iya. ‘’Jawabku dengan frontalnya.
‘’ Aduh kamu ini, sudahlah kamu itu harusnya biasa aja kalau tingkah ku memang seperti itu Din !’’ Seru Dzidni agar aku tidak perlu seperti itu.
                       
            Memang aneh. Pertemanan ku dengan Dzidni selalu dihiasi dengan perasaan yang nano-nano. Ada saja marah (kalau dirinya sedang risau). Ada keceriaan (kalau aku dan dirinya sedang bercanda dan tertawa bersama). Hari terus bergulir kelas 7 dimana saat aku merasaka canda tawa antara aku dan Dzidni. Aku merasa nyaman berada dekat Dzidni. Aku sayang padanya dan entah untuk berapa waktu. Menurutku kasih untuknya seperti aku mencintai kedua orang tuaku. Kasih yang tiada ujungnya.

                        Berganti kelas 8. Saat aku merasakan itu. Kata orang itu CINTA MONYET. Tapi entahlah hanya saja aku menanggapinya dengan santai. Tempat dimana saat aku kelabilan sebagai anak SMP yang masih lugu. Kesederhanaan senyum untuk sebuah persahabatan. Dalam suasana kelas yang menyebalkan saat aku mengenalnya, orang yang bodoh. Aku harus merasakan itu (cinta) tetapi perasaan itu yang membuatku kacau. Aku mencoba menghilangkan cinta yang aneh, walau kurasa pedih. Cinta yang konyol. Aku masih anak kecil, belum mengerti sejauh mana aku dapat bertahan dengan semua perasaanku yang sempat galau. Ketika itu aku merasakan hal yang belum pernah kurasakan. Canggung. Sebisa mungkin aku menutupinya dengan kegembiraan. Hingga sampai aku tak tahan lagi, aku menulisnya untuk menumpahkan uneg-uneg ku yang tertimbun dalam jurang amarah.




 Hanya Sempat…

Hanya senyum sederhanaku
Yang selalu memendam perih

Hanya untuk mengikuti jejakmu
Aku rela menahan amarah ini

Hanya perasaan liliput mungil
Semua kini menjadi giant

Hanya kesabaran hidupku
Menghadapi dirimu yang menyebalkan

Hanya segala kepedulianku
Yang takkan pernah kau hiraukan

Hanya sempat sementara mengenalmu
Aku menaruh rasa itu

Hanya sempat aku sejenak mengenalmu
Seaakan rapuh dan lemah hati ini

Hanya sempat merasakan cinta sesaat
Aku mengerti makna cinta itu darimu

‘’ Bahwa sesungguhnya cinta itu tak harus memiliki, tetapi sempat merasakannya untuk membaiki kesalahan pandangan yang terhalang oleh cinta buta. Untuk lebih baik mencintai ataupun dicintai itu merupakan prinsip dari individu yang berbeda. Buatku kujadikan cinta yang pernah kualami menjadi cinta untuk orang tua, cinta untuk sahabat, tentunya Dzidni. Termasuk perasaan cinta kasih yang tiada ujungnya untuk seorang sahabat. ‘’



           

         Aku memang selalu berharap yang tidak-tidak. Dzidni pernah bicara padaku jika sesuatu hal yang dipaksakan akan berujung sakit. Mungkin kali ini memang benar yang dikatakan Dzidni, kini saatnya aku fokus untuk masa depan dan mengikuti jejak nasib yang akan terus bergulir. Banyak tantangan yang akan segera aku hadapi yakni kertas bertuliskan ‘’ UJIAN NASIONAL’’.
***
          Hari demi hari terus berlalu. Ada saja hal yang biasa terjadi di sekolah pada umumnya. Menariknya kebiasaan kelas kami yang selalu terjadi. Bernyanyi. Itulah kegembiraan yang ada yang membuat semua menjadi ceria. Waktu dimana aku melangkah sendiri kelas 9F. aku terpisahkan oleh tembok. Dzidni pindah kelas. Akupun sendiri. Rasa bahagia yang sementara. Satu-satunya tempat dimana aku dan Dzidni dapat kembali hanya di kelas siang yaitu saat tambahan jam pelajaran. Kesendirian saat pagi hari tiap hari kulaui sebelum aku duduk bersama Edo. Orang yang lucu berada di sampingku. Meski dirinya kini ada didekatku tetapi Dzidni tetap selalu ada buatku saat istirahat tiba. Edo orang aneh tetapi dibalik kegilaannya tersimpan sisi jenius darinya. Aku tak menyangka dalam pelajaran matematika, dia orang yang selalu dapat menemuka rumus yang menurutku sulit dipecahkan. Begitu dekatnya dan kuputuskan untuk memanggilnya Dodon.

‘’ Don ini rumus kok aku gak ketemu yah? Gimana caranya? ‘’ tanyaku padanya yang sibuk dengan tangannya yang terus menghitung. Sepertinya pertanyaanku tak di gubris olehnya.
‘’ Ye aku ketemu! Bu saya maju menuliskan rumus ya bu!’’ serunya dengan semangat.
           
            Aku sempat kesal dengan tingkahnya yang selalu dapat mengerjakan soal matematika dengan baik. Iri. Apa perasaan itu muncul. Dulu yang selalu membantuku Dzidni. Namun sekarang sepertinya aku harus bersabar karena yang kuhadapkan saat ini adalah laki-laki yang memang masih kekanak-kanakan. Tetapi ada hal yang menarik saat aku bersamanya. Tidak terasa aku sering menyanyi bersama dengannya. Memang aneh Si Dodon kalau menyanyi suaranya sering membuat suara orang lain yang bernyanyi menjadi brubah.
***
 Sebuah siang yang teduh. Istirahat tiba.  Langit bergerumuh. Awan menangis. Semua jatuh. Tak terkecuali diriku.

‘’ Din, kamu kenapa? Kok nangis? ‘’ tanya Dzidni yang duduk disampingku.
‘’ Aku takut.’’ Jawabku singkat yang sedih diantara gerimis pilu.
‘’Takut dengan siapa? Aku akan tetap disini menemanimu. Jangan sedih dong.’’
‘’ Aku takut jika aku pergi darimu, dan takkan bertemu kembali.’’  Hening kelas terpecahkan tetesan hujan dan rintihan kesedihanku. Entah kenapa aku dapat berfikir seperti itu.
‘’ Husf, jangan begitu Din. Daripada kamu terus-terusan kaya gini lebih baik kamu tulis aja. Supaya hatimu lebih tenang.’’ Suruhnya dengan memberiku secarik kertas putih .

Untuk semua…
Aku ingat masa paling bodoh itulah putih biru. Saat dimana semua itu ada. Semua yahh semua…24 Juli 2013
·         Kekonyolan akal saat pertama bertemu dengan lugunya di 7E.
·         Kehangatan senyum, kebersamaan, dan masa dimana aku mengenal cinta di 8E.
·         Kesunyian ditemani khayalan dan kesiapan menghadapi kertas bertuliskan UN dalam 9F.
·         Dan yang terakhir kesedihan akhir yang akan sangat merindukan dalam sebuah perpisahan.
Aku minta maaf dan terima kasih untuk kalian semua yang telah menemaniku dalam jejak perjalanan SMP ini. Suka, duka, tawa, bahagia semua menyangkup kebersamaan kita. Kelak kita akan dipisahkan dalam sebuahcerita sendu. Panggung meriah perpisahan tersimpan sejuta tangis kesedihan. Berharap sebuah nama dipanggil untuk menjadi pemenang yang terbaik. 
‘’ selamat tinggal kawan ‘’        FR. Diana  
 
















            Setelah aku selesai menulis. Kelihatannya Dzidni penasaran untuk ingin membacanya. Dengan bermohon-mohon padaku ia membujukku supaya aku menzinkannya untuk dibacanya. Walau kelihatannya ceritaku penuh dengan sejuta tangisan.

‘’ Aku lihat boleh gak tulisanmu?’’ Pinta Dzidni melihat aku selesai menulis.
‘’ Kamu mau lihat ini,emm  boleh gak yah?’’ Jawabku dengan senyum canda agar tidak terlihat semua kesedihanku saat mengingat hal manis kala itu.     
‘’ Ya udah kalau gak boleh.’’ Dengan wajah cemberutnya mulut yang dilipat keatas.
‘’Ini aku kasih, kamu pasti penasaran kan?’’ Sulit rasanya menahan tawa saat melihat wajahnya yang ngambek itu.
           
                        Wajah yang selalu aku lihat saat canda itu ada. Meski itu hanya sementara apa aku bisa melihat, mengulang kembali kenangan itu. Kenangan yang sangat manis. Persahabatan yang indah yang terasa enggan terlewati bergitu saja oleh jam yang berdetik, jantung yang terus berdetak, waktu yang terus bergulir tetapi apapun itu engkau tetap sahabatku. Dzidni membaca tiap kata serambi diriku memainkan papan keyboard toshiba dihadapanku. Ia lalu manangis, dan secara tak terduga ia memelukku dari samping. Wajahnya merah menahan tetes demi tetes air mata yang ingin mengalir deras.

‘’  Din, kamu sahabat terbaik yang pernah aku temui. Kamu seperti malaikat yang diberi Tuhan untukku, yang selalu mengerti aku walau dalam keadaan yang seperti apa diriku.  Tapi jangan pernah kamu lupain aku yah? Memang apa secepat itu kita akan berpisah?’’ Celotehnya yang merasa ia belum siap jika nanti kita akan berjumpa dalam sebuah perpisahan.
‘’ Enggak, kita akan selalu bersama kok. Udah jangan nangis lagi dong! Jelek itu mukamu jadi kaya tomat.’’ Hiburku untuknya.
‘’ Makasih yah kamu udah jadi teman disisiku saat ini dan untuk hari esok.’’
‘’ Iya. Sama-sama walau aku sempat kesal dengan selera berfikirmu yang membingungkan, tetapi itulah dirimu.’’ Senyumku mengembang dengan menahan tawa.
‘’ Ah kamu itu kamu juga nyebelin. Kamu orang yang jail, misterius, aneh dan tentunya gila.’’ Kami berdua pun tertawa saling mengejek satu sama lain. Memang hal yang biasa dalam pertemanan kami.

          Mungkin ini kali pertama dan terakhir aku melihat tawamu. Teman yang lebay dan selalu membuat seluruh orang di kelas tertawa.Nanti. Tak sadarku kini kau tak disini. Meski ragamu jauh, aku akan tetap mengenangmu kawan. Kasih ini takkan berujung sampai disini. Jika kita dipisahkan pastilah kita akan bertemu walau entah kapan itu. Andai saja aku dapat bersanding disisi rembulan dan mentari, aku akan selamanya abadi menghiasi bumi di langit yang megah. Begitupula saat aku nanti tidak bersamanya, aku harap semua yang telah berlalu akan selalu ada untukmu termasuk kasih ini yang akan selalu tiada ujungnya.

###

Nama   : Fauziyah Ramadhanti

Kelas   : IXF / 04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar