Kasih Tiada
Ujung
Kasih
untuk selamanya. Buatku kasih untuk Ayah, Ibu, sahabat, dan tentunya kelak untuknya. Jutaan kata terima kasih untuk seseorang
yang selalu ada. Semburat sinar jingga
di ufuk barat, ceruit emprit mungil nan merdu bersautan. Saatnya aku melihat
mentari itu. Segera kumelaju mendekatinya. Sampailah aku pada lapangan hijau
membentang. Kupejamkan mata sejenak melepaskan kepenatan jenuh. Perlahan kubuka
mata ini berharap langit tak menelan mentari yang segera berganti malam hitam.
Kurasakan detik demi detik kepulangannya. Masih teringat masa itu. Saat, dimana
dia pergi dan takkan kembali. Mungkin dia rindu dengan Tuhan. Jadi dia putuskan
untuk kembali ke pangkuan Tuhan dan meninggalkan senyum terakhir untukku. Aku
duduk diantara dua ayunan seberang jalan saat teriakan peluit kereta menjerit.
Bernostalgia.
‘’
Dian ayo pulang nak, sudah maghrib !’’ seru Ibu dari seberang.
‘’
Iya ibu.’’ Sahutku singkat. Tak terasa adzan maghrib yang saling bersautan
telah mengingatkanku untuk segera bersujud dihadapNya.
‘’
Aku pulang Ibu !’’ (semua orang mematung membisu, hanya suara jangkrik lirih di
heningnya petang )
Aku
bingung dengan beribu pertanyaan menhampiri. Tiba-tiba lampu mati. Semua gelap.
Sebenarnya apa yang terjadi saat ini? Tanyaku dalam hati.
‘’
Selamat Ulang Tahun kami ucapkan…’’ sorak-sorai seluruh anggota keluargaku
dengan riang.
Ayah membawa tart
yang bertuliskan ‘’ selamat ulang tahun Diana
‘’ dengan lilin angka 12 yang berdiri. Kado teridah. Tradisi yang sudah biasa
dalam keluarga ini memberi roti dan saling bertukar kado. Aku meneteska air di
pipi ini sebagai tanda bahagia sekaligus haru. Mengapa di hari yang spesial
buatku juga hari yang menyedihkan. Tepat hari ini 2 tahunnya kepergiannya.
Kakek.
‘’
Memang sulit Dian, tetapi ikhlaskanlah kakekmu yang berada di surga. Mungkin
kini dia sedang melihatmu dari surga sambil melambaikan tangan mengucapkan
selamat ulang tahun untukmu.’’ Pesan Ayah agar aku tidak sedih menghadapi semua
ini.
Mungkin kini saatnya aku lupakan
kenangan tentangnya. Saat ini kucoba memikirkan diriku untuk menyiapkan hari
esok. Sudah cukup rasanya Tuhan menguji ketegaran hati ku yang masih saja
lemah. Sebenarnya ayah sudah menyiapkan rumah baru untuk kamidan dalam waktu
dekat ini akan segera meninggalkan rumah ini.
‘’
Ibu, Dian, Ana, dan Ifah, kalian harus segera berkemas. Dua hari lagi kita akan
pindah ke rumah baru dekat rumah buyut.’’Ayah bicara seolah yakin akan segera
pindah.
***
Truk pengangkut barang
sudah siap. Kami semua naik ke mobil. Sebelum aku meninggalkan rumah kenangan
ini kukecup tangan dangan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
Kutinggalkan sepasang ayunan seberang pohon kenari.
Sampailah kami di rumah
bata nan eksotis, berpayung pohon kelapa yang teduh, sumilir angin menghembus
dengan tenangnya, kulihat rumah yang terlihat sangat maskulin. Kucermati ada
sebuah ukiran unik di teras rumah bertulis ‘’Omah Koe’’. Ayah memang sengaja mendesain
rumah ini total. Untuk menumbuhkan rasa gokil
dan humoris keluarga kami yang
sempat hilang. Kehidupan baru mulai berjalan sejak itu…
Semua berubah. Teman,
sahabat, orang sekitar kini aku mengenal wajah baru. Terutama hal menarik saat
SMP yang konyol. Kesedihan yang berlarut saai itu kini mulai berganti
kegembiraan. Masa Orientasi. Waktu dimana kebingungan mencari kelas dan teman.
Tak ada satupun yang kukenal. Lambat laun kucoba mencari sahabat terbaik dalam
perjalanan SMP ini. Kelas 7 yang konyol saat keluguan yang ada dan tingkah aneh
masa perkenalan yang membuat diriku canggung dan salah tingkah. Kala itu aku
mengenal sosok yang misterius. Sulit ditebak. Namanya Dzidni. Teman pertama
yang ada buatku. Meski dirinya terlihat aneh , tetapi memang seperti itulah
dia. Aku pernah menanyaka sesuatu yang aneh.
‘’
Ni, kamu kalau jalan memang kaya gitu
ya?’’ tanyaku saat pelajaran.
‘’
Memang aku yang jalan aneh ya? Mesti kamu lihat aku jalannya jinjit-jinjit. Jawabnya dengan tersipu
malu.
‘’
Iya. ‘’Jawabku dengan frontalnya.
‘’
Aduh kamu ini, sudahlah kamu itu harusnya biasa aja kalau tingkah ku memang
seperti itu Din !’’ Seru Dzidni agar aku tidak perlu seperti itu.
Memang aneh. Pertemanan ku dengan Dzidni
selalu dihiasi dengan perasaan yang nano-nano. Ada saja marah (kalau dirinya
sedang risau). Ada keceriaan (kalau aku dan dirinya sedang bercanda dan tertawa
bersama). Hari terus bergulir kelas 7 dimana saat aku merasaka canda tawa
antara aku dan Dzidni. Aku merasa nyaman berada dekat Dzidni. Aku sayang
padanya dan entah untuk berapa waktu. Menurutku kasih untuknya seperti aku
mencintai kedua orang tuaku. Kasih yang tiada ujungnya.
Berganti kelas 8. Saat
aku merasakan itu. Kata orang itu CINTA MONYET. Tapi entahlah hanya saja aku
menanggapinya dengan santai. Tempat dimana saat aku kelabilan sebagai anak SMP
yang masih lugu. Kesederhanaan senyum untuk sebuah persahabatan. Dalam suasana
kelas yang menyebalkan saat aku mengenalnya, orang yang bodoh. Aku harus
merasakan itu (cinta) tetapi perasaan itu yang membuatku kacau. Aku mencoba
menghilangkan cinta yang aneh, walau kurasa pedih. Cinta yang konyol. Aku masih
anak kecil, belum mengerti sejauh mana aku dapat bertahan dengan semua
perasaanku yang sempat galau. Ketika
itu aku merasakan hal yang belum pernah kurasakan. Canggung. Sebisa mungkin aku
menutupinya dengan kegembiraan. Hingga sampai aku tak tahan lagi, aku
menulisnya untuk menumpahkan uneg-uneg ku yang tertimbun dalam jurang amarah.
Hanya Sempat…
Hanya senyum sederhanaku
Yang selalu memendam perih
Hanya untuk mengikuti jejakmu
Aku rela menahan amarah ini
Hanya perasaan liliput mungil
Semua kini menjadi giant
Hanya kesabaran hidupku
Menghadapi dirimu yang menyebalkan
Hanya segala kepedulianku
Yang takkan pernah kau hiraukan
Hanya sempat sementara mengenalmu
Aku menaruh rasa itu
Hanya sempat aku sejenak mengenalmu
Seaakan rapuh dan lemah hati ini
Hanya sempat merasakan cinta sesaat
Aku mengerti makna cinta itu darimu
‘’ Bahwa sesungguhnya cinta itu tak harus memiliki, tetapi
sempat merasakannya untuk membaiki kesalahan pandangan yang terhalang oleh
cinta buta. Untuk lebih baik mencintai ataupun dicintai itu merupakan prinsip
dari individu yang berbeda. Buatku kujadikan cinta yang pernah kualami menjadi
cinta untuk orang tua, cinta untuk sahabat, tentunya Dzidni. Termasuk perasaan
cinta kasih yang tiada ujungnya untuk seorang sahabat. ‘’
Aku memang selalu berharap yang
tidak-tidak. Dzidni pernah bicara padaku jika sesuatu hal yang dipaksakan akan
berujung sakit. Mungkin kali ini memang benar yang dikatakan Dzidni, kini
saatnya aku fokus untuk masa depan dan mengikuti jejak nasib yang akan terus
bergulir. Banyak tantangan yang akan segera aku hadapi yakni kertas bertuliskan
‘’ UJIAN NASIONAL’’.
***
Hari demi hari terus berlalu. Ada saja hal yang biasa terjadi di sekolah
pada umumnya. Menariknya kebiasaan kelas kami yang selalu terjadi. Bernyanyi.
Itulah kegembiraan yang ada yang membuat semua menjadi ceria. Waktu dimana aku
melangkah sendiri kelas 9F. aku terpisahkan oleh tembok. Dzidni pindah kelas.
Akupun sendiri. Rasa bahagia yang sementara. Satu-satunya tempat dimana aku dan
Dzidni dapat kembali hanya di kelas siang yaitu saat tambahan jam pelajaran.
Kesendirian saat pagi hari tiap hari kulaui sebelum aku duduk bersama Edo.
Orang yang lucu berada di sampingku. Meski dirinya kini ada didekatku tetapi
Dzidni tetap selalu ada buatku saat istirahat tiba. Edo orang aneh tetapi
dibalik kegilaannya tersimpan sisi jenius darinya. Aku tak menyangka dalam
pelajaran matematika, dia orang yang selalu dapat menemuka rumus yang menurutku
sulit dipecahkan. Begitu dekatnya dan kuputuskan untuk memanggilnya Dodon.
‘’
Don ini rumus kok aku gak ketemu yah? Gimana caranya? ‘’ tanyaku padanya yang
sibuk dengan tangannya yang terus menghitung. Sepertinya pertanyaanku tak di
gubris olehnya.
‘’
Ye aku ketemu! Bu saya maju menuliskan rumus ya bu!’’ serunya dengan semangat.
Aku sempat kesal dengan tingkahnya
yang selalu dapat mengerjakan soal matematika dengan baik. Iri. Apa perasaan
itu muncul. Dulu yang selalu membantuku Dzidni. Namun sekarang sepertinya aku
harus bersabar karena yang kuhadapkan saat ini adalah laki-laki yang memang
masih kekanak-kanakan. Tetapi ada hal yang menarik saat aku bersamanya. Tidak
terasa aku sering menyanyi bersama dengannya. Memang aneh Si Dodon kalau
menyanyi suaranya sering membuat suara orang lain yang bernyanyi menjadi
brubah.
***
Sebuah siang yang teduh. Istirahat tiba. Langit bergerumuh. Awan menangis. Semua jatuh.
Tak terkecuali diriku.
‘’
Din, kamu kenapa? Kok nangis? ‘’
tanya Dzidni yang duduk disampingku.
‘’
Aku takut.’’ Jawabku singkat yang sedih diantara gerimis pilu.
‘’Takut
dengan siapa? Aku akan tetap disini menemanimu. Jangan sedih dong.’’
‘’
Aku takut jika aku pergi darimu, dan takkan bertemu kembali.’’ Hening kelas terpecahkan tetesan hujan dan rintihan
kesedihanku. Entah kenapa aku dapat berfikir seperti itu.
‘’
Husf, jangan begitu Din. Daripada kamu terus-terusan kaya gini lebih baik kamu tulis aja. Supaya hatimu lebih tenang.’’
Suruhnya dengan memberiku secarik kertas putih .
Untuk semua…
Aku ingat masa paling bodoh itulah putih biru. Saat
dimana semua itu ada. Semua yahh semua…24 Juli 2013
·
Kekonyolan akal saat pertama bertemu dengan lugunya
di 7E.
·
Kehangatan senyum, kebersamaan, dan masa dimana aku
mengenal cinta di 8E.
·
Kesunyian ditemani khayalan dan kesiapan menghadapi
kertas bertuliskan UN dalam 9F.
·
Dan yang terakhir kesedihan akhir yang akan sangat
merindukan dalam sebuah perpisahan.
Aku minta maaf dan terima kasih untuk kalian semua yang
telah menemaniku dalam jejak perjalanan SMP ini. Suka, duka, tawa, bahagia
semua menyangkup kebersamaan kita. Kelak kita akan dipisahkan dalam
sebuahcerita sendu. Panggung meriah perpisahan tersimpan sejuta tangis
kesedihan. Berharap sebuah nama dipanggil untuk menjadi pemenang yang terbaik.
‘’ selamat tinggal kawan ‘’ FR. Diana
|
Setelah aku selesai menulis.
Kelihatannya Dzidni penasaran untuk ingin membacanya. Dengan bermohon-mohon
padaku ia membujukku supaya aku menzinkannya untuk dibacanya. Walau
kelihatannya ceritaku penuh dengan sejuta tangisan.
‘’
Aku lihat boleh gak tulisanmu?’’ Pinta Dzidni melihat aku selesai menulis.
‘’
Kamu mau lihat ini,emm boleh gak
yah?’’ Jawabku dengan senyum canda agar tidak terlihat semua kesedihanku
saat mengingat hal manis kala itu.
‘’
Ya udah kalau gak boleh.’’ Dengan
wajah cemberutnya mulut yang dilipat keatas.
‘’Ini
aku kasih, kamu pasti penasaran kan?’’ Sulit rasanya menahan tawa saat melihat
wajahnya yang ngambek itu.
Wajah yang selalu aku lihat saat
canda itu ada. Meski itu hanya sementara apa aku bisa melihat, mengulang
kembali kenangan itu. Kenangan yang sangat manis. Persahabatan yang indah yang
terasa enggan terlewati bergitu saja oleh jam yang berdetik, jantung yang terus
berdetak, waktu yang terus bergulir tetapi apapun itu engkau tetap sahabatku.
Dzidni membaca tiap kata serambi diriku memainkan papan keyboard toshiba
dihadapanku. Ia lalu manangis, dan secara tak terduga ia memelukku dari
samping. Wajahnya merah menahan tetes demi tetes air mata yang ingin mengalir
deras.
‘’ Din, kamu sahabat terbaik yang pernah aku
temui. Kamu seperti malaikat yang diberi Tuhan untukku, yang selalu mengerti
aku walau dalam keadaan yang seperti apa diriku. Tapi jangan pernah kamu lupain aku yah? Memang apa secepat itu kita akan
berpisah?’’ Celotehnya yang merasa ia belum siap jika nanti kita akan berjumpa
dalam sebuah perpisahan.
‘’
Enggak, kita akan selalu bersama kok.
Udah jangan nangis lagi dong! Jelek
itu mukamu jadi kaya tomat.’’ Hiburku untuknya.
‘’
Makasih yah kamu udah jadi teman disisiku saat ini dan untuk hari esok.’’
‘’
Iya. Sama-sama walau aku sempat kesal dengan selera berfikirmu yang
membingungkan, tetapi itulah dirimu.’’ Senyumku mengembang dengan menahan tawa.
‘’
Ah kamu itu kamu juga nyebelin. Kamu orang yang jail, misterius, aneh dan
tentunya gila.’’ Kami berdua pun tertawa saling mengejek satu sama lain. Memang
hal yang biasa dalam pertemanan kami.
Mungkin ini kali pertama dan terakhir aku melihat tawamu.
Teman yang lebay dan selalu membuat
seluruh orang di kelas tertawa.Nanti. Tak sadarku
kini kau tak disini. Meski ragamu jauh, aku akan tetap mengenangmu kawan. Kasih
ini takkan berujung sampai disini. Jika kita dipisahkan pastilah kita akan
bertemu walau entah kapan itu. Andai saja aku dapat bersanding disisi rembulan
dan mentari, aku akan selamanya abadi menghiasi bumi di langit yang megah.
Begitupula saat aku nanti tidak bersamanya, aku harap semua yang telah berlalu
akan selalu ada untukmu termasuk kasih ini yang akan selalu tiada ujungnya.
###
Nama : Fauziyah
Ramadhanti
Kelas : IXF / 04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar