9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

Pelangi Seusai Hujan

Pelangi Seusai Hujan

Sinar-sinar kuning keemasan mulai tampak di ufuk, mentari  pun masih malu-malu untuk menampakan senyumnya. Burung-burung berterbangan kian kemari untuk mencari makan. Bersial-siul mengelilingi tumbuh-tumbuhan padi dengan riang. Tampak pula ayam- ayam jago yang berkokok dengan gagahnya, lalu mulai berjalan ke sawah untuk mencari makan. Hawa dingin masih menyelimuti bumi, bersama sisa-sisa tetesan air seusai hujan tadi malam. Sinar mentari menyinari pohon-pohon pisang di dekat sawah nan masih basah tertutup embun. Menambah kepermaian desaku yang ku cinta.
Ku awali pagiku dengan membuka jendela kamarku, terlihat hamparan padi yang mulai menguning. Ku rasakan kesejukan pagi. Ranting-ranting pohon perdu tampak berayun-ayun karena hembusan angin di pagi hari. Lalu ku bergegas untuk mandi dan bersiap-siap untuk menuju ke sekolah. Ibuku pun telah menyiapkan sarapanku. Setelah bersiap-siap, perlahan ku menuju ruang makan, di sana telah ada ayah, ibu, dan adikku. Kami pun makan bersama, sungguh pagi yang sangat indah.

Setelah menghabiskan sarapanku, ku cium tangan ayah dan ibuku lalu beranjak pergi ke sekolah dengan menaiki sepedaku. Ku kayuh perlahan sepedaku agar aku dapat menikmati keindahan pagi yang cerah ini. Ku selusuri jalan-jalan yang tampak masih sepi. Dari kejauhan tampak Gunung Merapi yang menjulang tinggi, ah... tak setiap hari aku bisa melihat pemandangan indah seperti ini, karena cuaca yang tidak menentu. Karena ku pikir hari masih pagi aku memutuskan untuk berhenti sebentar untuk menikmati kindahan gunung yang menjulang tinggi itu. Setelah agak puas ku lihat arlojiku, ternyata aku hampir telat, aku pun cepat-cepat menaiki spedakuu dan mempercepat kayuhannya. “Untung saja aku tidak telat” ucapku setelah memarkirkan sepedaku. Ku berjalan setengah ngos-ngosan, karena habis ngebut. “Allinaaa.... Aliiinaaa” terdengar suara yang memanggil namaku, aku pun menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Tampak seorang teman laki-lakiku mengejarku dan berhenti seketika “Iya... ada apa?” tanyaku kebingungan. “Ini tempat minummu jatuh, tadi aku menemukanya di jalan dan aku rasa ini milikmu karena ada namamu yang tertera di sini” ucapnya menjelaskan. “Oh iya... terima kasih yaa...”ucapku sambil tersenyum lalu beranjak pergi, karena aku yang sudah hampir terlambat. Ah.. tadi itu Bagas, anak kelas sebelah. Sebenarnya aku menaruh hati padanya karena kebaikan hatinya. Akan tetapi aku tidak berani mengungkapkanya karena aku takut ia akan membenciku.
Akhirnya aku telah sampai di depan kelasku. Di sana telah tampak kedua sahabatku yang sedang belajar biologi. Seperti biasa, aku selalu menyapa mereka “Hai Riri... Hai Dina...” ucapku dengan senyuman termanisku. “Hai juga Lina...” ucap mereka kompak. “Hehe... kok kalian belum masuk sih, kan sudah jam 7 kurang 5 ? “Hahahaha sekarang kan baru jam 6.15, Lina... sini coba lihat arlojiku!” Lalu akupun melihat arloji milik Riri ternyata di arlojinya tertera angka 6 dan 16. “Ha!!! ini tidak mungkin, coba lihat arlojiku!” kataku sambil menunjuk ke arlojiku. “Yaaahh... arlojimu mati Lina, coba lihat, jarumnya sudah tidak bergerak!” kata Dina. “Hahahaha” kamipun tertawa bersama. “Ya ampun, tadi aku sudah buru-buru banget gara-gara melihat jam ini! Tadi tempat minumku juga hampir hilang, gara-gara terjatuh di jalan! Untung tadi ada.......” belum selesai aku bercerita, Dina telah memotong ceritaku. “Pasti tempat minummu ditemukan sama Bagas kan Lin?” kata Dina. “Eh.. iya! Kok kamu bisa tahu Din?” tanyaku heran. “Hahaha ya iya lah, terlihat banget kalau dari tadi kamu senyam-senyum sendiri kaya orang gila. Hehehe” ucapnya sambil mencubit pipiku. “Eh.. emang kelihatan ya kalau aku salah tingkah?” tanyaku polos. “Jelas lah Alina!!!!” ucap Riri tak mau kalah. Kamipun masuk ke kelas karena bel tlah berbunyi. Aku memang memiliki dua sahabat yang sangat baik, kami memang telah bersahabat sejak kelas 7. Setiap hari selalu ku habiskan waktuku bersama mereka. Riri adalah sahabatku yang baik, dewasa dan bijaksana, sedangkan Dina ia meemiliki sifat ramah dan asyik, mereka sudah aku anggap seperti kakak dan adiku, walaupun akulah yang tertua diantara mereka.
Setiap istirahat, aku selalu sibuk untuk memperhatikan Bagas di dekat jendela kelasnya. Tak kusadari Dina mengagetkanku dari belakang. “Lin, besok hari Minggu jalan-jalan yuk?” tanya Dina. Tanpa pikir panjang ku iya kan saja ajakanya. Lalu kami pun beristirahat dan mengikuti pelajaran seperti biasa. Setelah pulang sekolah, aku melangkahkan kakiku menuju parkiran. Ku ambil sepeda biruku. Dan ku kayuh kencang menuju ke rumahku. Sesampainya di rumah ku ambil air wudhu untuk sholat asar. Ku selipkan namanya dalam doaku. Air mata ku mulai menetes, karena keadaan kami yang berbeda agama. Aku teramat bingung untuk memilih meneruskan cinta ini atau menghentikanya karena alasan tersebut. Berulang kali ku coba melupakanya tapi nihil, cinta ini telah menancap terlalu dalam, dan sulit untuk dihilangkan. Ku memohon kepada Tuhan untuk memberi jalan yang terbaik bagiku. Tak lupa ku juga mendoakan kedua orang tuaku. Setelah berdoa, aku lalu memasuki kamar dan mengerjakan pr. Karena memang kebiasaanku mengerjakan pr disore hari setelah pulang sekolah. Setelah itu aku lalu keluar rumah dan bermain-main di dekat sawah yang ada di belakang rumahku.
Sinar kemerah-merahan telah menghiasi langit di ufuk barat. Mentari senja telah beranjak ke peraduanya, ditemani burung- burung yang mulai pulang menuju sarangnya. Langit yang jingga berubah menjadi gelap. Angin malam mulai berhembus menerpa ranting-ranting pohon cemara kecil yang ditanam ayahku di dekat sawah. Aku pun duduk di tumpukan batu-batu bata di dekat sawah. Indahnya pemandangan sore ini. Perlahan ku ingat kembali kejadian tadi pagi. Aku terus berandai-andai. “ Ah... andai saja Bagas tahu tentang perasaanku, andai ia juga mempunyai perasaan yang sama, andai ia juga seiman denganku...” begitu seterusnya. Tanpa ku sadari ternyata ibu telah berteriak-teriak mencariku. Aku pun bergegas pulang dan mandi. Aku juga meminta maaf kepada ibu karena membuatnya kebingungan untuk mencariku.
Setelah membersihkan seluruh badanku, akupun menunaikan sholat magrib. Seusai sholat magrib aku lalu tadarus sampai waktu sholat isya’ tiba. Setelah shoat isya’ ibuku menyuruhku untuk belajar. Aku bingung setiap satu kalimat yang aku baca, aku selalu terngiang-ngiang wajah Bagas. Aku memutuskan untuk mengirimkan sms untuknya, ternyata balasanya ramah sekali. Dan lama-lama kamipun menjadi lebih dekat. Bahkan ia tlah menganggapku sebagai teman curhatnya. Dan itu membuatku sangat senang.
Mentari di Minggu pagi membuatku bangun kesiangan. Ini membuatku tidak dapat menikmati keindahan pagi seperti biasanya. Dengan sedikit menyesal aku lalu cepat-cepat merapikan tempat tidurku dan sholat subuh. Setelah itu aku pun mengumpulkan baju-baju serta mencucinya. Setelah selesai mencuci baju aku bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi barulah aku bermalas-malasan. Tiba-tiba hp ku berbunyi, ternyata ada alarm peringatan karena seharusnya pagi ini aku harus menemani Dina jalan-jalan. Karena waktu sudah mepet, aku pun memutuskan untuk membatalkan janjiku. Tanpa pikir panjang aku mengirimkan sms kepadanya yang intinya membatalkan rencana kita.
Waktu bergulir begitu cepat, akhirnya waktu untuk sekolah datang kembali. Aku berangkat sekolah dengan semangat seperti biasanya. Akan tetapi hal aneh terjadi pada salah seorang sahabatku yaitu Dina, ia sekarang sering menjauh dariku. Saat aku tanya apa sebabnya ia pasti menghindar. Aku sangat bingung, perbuatan apa yang ku lakukan sehingga ia jadi berubah seperti ini. Karena tidak merasa bersalah aku pun membiarkanya. Akan tetapi semakin lama, ia tidak juga menyapaku. Aku pun menyadari telah membuatnya kecewa karena membatalkan janjiku untuk menemaninya jalan-jalan. Karena saat itu aku tidak berfikir jika akibatnya akan seperti ini. Berulang kali aku mencoba meminta maaf kepadanya, dan mengakui kesalahanku. Tapi hasilnya nihil, ia tidak juga memaafkanku. Aku merasa sangat bersalah, dan menyesali perbuatanku. Hari-hariku seakan sangat berubah. Tak ada lagi canda tawa yang menemani pagi hariku di sekolah. Aku seperti kehilangan separuh nyawaku. Mungkin karena kedekatan kami yang kini mulai hilang seiring berjalanya sang masa.
Senja di belakang rumahkku tak seindah perasaanku sekarang. Dunia seakan berbalik. Air mataku perlahan menetes, aku menyesalkan perbuataanku yang membuat persahabatanku seperti ini. Aku tersenyum pada rembulan yang menampakan sinarnya, aku malu terhadap bintang-bintang yang berkelap-kelip diatas sana,”Aku tak ingin menjadi lemah, aku kuat aku kuat.” kataku sambil menghapus air mataku yang jatuh bercucuran. Aku pun masuk ke rumah dan menjalani rutinitas seperti biasanya. Tidak terasa, besok sudah hari Minggu lagi. untuk menghibur suasana hatiku yang sedang kacau, besok aku akan bermain ke rumah Dewi, sekedar untuk bercerita dan belajar bersama. Memang semenjak Dina menjauhiku, aku sering bermain dengan Dewi, Dewilah yang selama ini menghiburku ketika aku sedih dan juga orang yang mendengar curhatanku.
Pagi ini tidak indah, seperti biasa karena cuacanya yang sedikit mendung. Ku kayuh sepedaku menuju rumah Dewi. Sesampainya di sana kami lalu bercakap-cakap dan belajar bersama. Tiba-tiba hp ku berbunyi aku pun mengeceknya, ternyata sms dari Bagas.
“Hai Lin, lama ya.. nggak smsan. Oh ya, aku mau curhat nih.” Aku pun cepat-cepat membalasnya.
“Iya ya Gas, oh ya... mau curhat apa?”
“Begini Lin, aku sedang jatuh cinta sama seseorang. Tapi aku bingung bagaimana cara untuk mengungkapkanya.” Tanya Bagas.
“Oh... begitu. Memangnya kamu jatuh sama siapa Gas.” Tanyaku penasaran.
“Aku jatuh cinta sama Desi, anak kelas delapan b itu lho. Aku cinta sama dia karena menurutku dia orangnya cantik.”
Setelah menerima pesan darinya akupun kaget, air mataku pun mengalir. Betapa hancurnya perasaanku mendengar perasaanya yang seungguhnya. Tentang apa yang selama ini ku harapkan, ternyata bukan aku orang yang mengisi ruang hatinya. Bukan aku, tapi Desi. Tuhan... apakah aku mimpi? “Kenapa ia lebih memilih dia dari pada aku yang sangat mencintainya dengan tulus, kenapa ia lebih Desi yang perangainya tidak terlalu baik. Kenapa Tuhan?” Air mataku semakin deras mengalir, Dewi yang menyadari bahwa aku menangis lalu menanyakan apa ang menyebabkan aku seperti ini. Aku hanya diam saja karena tak mampu lagi bercerita. Ia pun mengecek hpku ternyata sms dari Bagas lah yang membuatku menangis, Dewipun mencoba menenangkanku, tapi perasaanku yang terlanjur hancur sulit  untuk diredakan. Aku pun memutuskan untuk pulang, aku menangis sejadi-jadinya. Tak ada lagi yang bisa membuatku tersenyum, bahkan keindahan pemandangan senja yang biasanya menghiburku. Tak mampu pula buatku berhenti menangis.  Semuanya gelap dan gelap. “Tuhan... apakah ini hukuman untukku? Kenapa semuanya kejam, Tuhan... apakah ini cobaan untukku? Lantas kenapa ini semua datang secara bersamaan seperti ini. Tuhan... apakah aku kuat? Apakah nanti akan ada pelangi seusai hujan?” kataku sambil bercucuran air mata. Akan tetapi aku masih bersyukur karena aku mempunyai sahabat baru yaitu Rahmat dan Agung, ditambah Riri mereka juga yang sekarang menemani hari-hariku di sekolah.
Hari-hari kian berlalu, walaupun masalah datang silih berganti aku mulai kuat dan perlahan aku sudah bisa melupakan Bagas. Tapi terkadang aku masih teringat bayang-bayang dan kenangan ku di masa lalu, tapi aku juga teringat saat-saat ia membuatku menangis dan hancur. Semua berputar-putar di memoriku membuatku sering menangis dan menjadi pemurung. Akupun memutuskan untuk membuka hatiku untuk orang lain, agar aku dapat melupakan Bagas. Tak lama kemudian aku mempunyai pacar yakni Putra. Tampaknya ia orang yang baik, aku mempercayainya bahwa ia akan mengembalikan hidupku seperti dulu. Hari-hari ku jalani, kini senyumku telah kembali dan aku telah mampu mencintai Putra. Akan tetapi belum sepenuhnya aku bisa melupakan Bagas, karena dia adalah cinta pertamaku. Hingga suatu ketika aku harus melihatnya pergi meninggalkanku.
Sepulang sekolah aku berlari-lari untuk menemui Putra, dari kejauhan aku melihatnya sedang bersama Dina, sahabatku dulu. Aku bingung, ada hubungan apa sehingga mereka terlihat sangat dekat, aku pun merasa terpukul dengan kejadian itu. Aku lalu berlari menjauh, tapi Putra tak juga mengejarku, aku pun menuju belakang rumahku dan menangis lagi. Aku tak percaya orang yang aku percaya tega menghianatiku. Juga orang yang dulu ku anggap sahabatku bahkan sebagai adikku sendiri tega merenggut orang yang aku cintai. Aku hancur, hancur. Hatiku tlah membatu, air mataku tlah habis untuk menangisi dua orang yang tega terhadapku. Dan aku pun mengambil hp ku aku pun bertanya kepada Putra, apa hubunganya ia dengan Dina sehingga tadi terlihat sangat dekat. Ternyata Putra mencintai Dina bukan aku, dan dia berpacaran denganku hanya untuk memanfaatkanku, karena kecerdasanku. Aku sungguh tidak habis pikir dengannya ia sangat tega memperlakukanya seperti itu. Aku pun memutuskan hubungan kami, yang telah berjalan 2 minggu.
Matahari tersenyum kepada dunia, tapi tidak denganku. Bahkan aku tlah lupa kapan terakhir aku tertawa, karena hampir setiap hari air mata ini menetes. “Mengapa dunia ini sangat kejam terhadapku?” “Apa salahku... setiap hari aku berdoa, tapi kenapa ini yang aku terima. Mengapa orang-orang yang jahat selalu bahagia? Tak pantaskah aku bahagia, Tuhan?” sepanjang jalan bahkan setiap hari ku habiskan waktuku untuk melamun. Pagi ini aku berjalan sempyongan menuju kelasku. Tak ada satupun yang menyapaku, mereka sibuk dengan Dina. “Ku dengar Dina, habis jadian dengan Putra.” Kata Riri.
“Kamu serius Ri?” tanyaku sambil menghapus air mataku. “Iyaa... Lin, aku juga tidak habis pikir dengan Dina, mengapa dia tega melakukan itu terhadapmu.” Kata Riri prihatin dengan keadaanku. “Aku nggak papa kok, aku kuat Ri.” Riri pun memeluku. Sebenarnya perasaanku sangatlah hancur mendengar kabar itu, tapi aku mencoba untuk tersenyum di depan sahabat-sahabatku, karena aku tak ingin melihat mereka ikut sedih. Setiap hari ku pendam kemarahanku kepada Dina dan Putra karena mereka berdua membuatku hancur seperti ini. Ini membuat teman-teman sekelasku menjauhiku, karena apa aku juga tidak mengerti. Cobaan demi cobaan datang, tangisku pecah seketika saat pengumunan hasil UTS peringkatku turun begitu juga nilai-nilaiku. Aku sangat merasa bersalah terhadap ayah dan ibu, karena aku telah mengecewakanya. Gara-gara masalah ini, aku sampai membuat ibuku menangis kecewa melihat nilai-nilaiku. Aku tak sampai hati melihat ibuku menangis, aku pun ikut menangis, aku juga berjanji padannya aku akan membuatnya bangga dengan prestasiku. Aku tidak akan mengecwakanya lagi.
Malam yang gelap ku habiskan di belakang rumah. Ku pandangi bintang-bintang diatas sana yang bersinar sangat indah. Terllihat pula daun-daun pohon cemara yang tertiup angin dari sawah. Tumbuh-tumbuhan perdu juga tampak menari-nari. Malam yang indah, terasa sangat sepi. Hanya suara jangkrik yang menemaninya malam ini. Aku duduk lagi di batu- batu bata belakang rumah, ku teringat kejadian tadi pagi. “Ternyata secepat itukah Putra melupakanku, ah tidak!!! Dia memang tidak mencintaiku mengapa ia harus susah-susah melupakanku. Aku sangat membencimu Dina! Kau tega melakukan ini padaku? Apa salahku? Selama ini ku mencoba baik terhadapmu, tapi apa yang ku dapat, kau tak pernah memaafkanku, untuk kesalahan yang menurutku hanya sepele. Ah... apa itu sahabat? Apa itu cinta! Semuanya bohong! Aku sudah tak percaya lagi.” Kataku sambil menangis tersedu-sedu. Kini Alina yang dulu ceria, ramah dan penyayang telah berubah. Sekarang ia tampak pemurung, seperti orang yang putus asa. Ia juga tampak sangat emosional.
Hari- hari seperti berjalan sangat lama, aku sangat lelah dengan kehidupanku yang sekarang. Sering terbesit dalam fikiranku untuk mengakhiri hidupku karena aku tak tahan lagi dengan masalah yang menurutku sangat berat. Namun Agung salah seorang sahabat yang aku punya selalu menguatkanku. Ia tak pernah meninggalkanku seperti Dina dan mereka yang dulu mengaku-ngaku menjadi sahabat saat aku sedang berjaya, tapi hilang seketika saat aku sangat rapuh. Agung selalu meyakinkanku bahwa tak selamanya masalah itu akan menimpa hidupku. Pasti akan ada kebahagiaan yang sangat indah sebagai imbalan atas kesabaran kita untuk menghadapi cobaan itu. Kata-katanya membuatku luluh, dan aku mulai percaya, bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan kita. Ia juga mengajarkanku arti hidup yang sesungguhnya. Ia bagaikan cahaya yang dikirim Tuhan untuk mengembalikanku menjadi Alina yang dulu. Setiap hari ku isi hari-hariku dengan menyanyi, hobby baruku ini sedikit dapat membuatku tersenyum. Kami juga sering bernyanyi bersama saat istirahat. Kedekatan kami membuat banyak orang mengira bahwa kami pacaran, padahal kami adalah sahabat sejati. Tentu kami tak canggung jika harus berjalan bersama. Hari-hariku semakin cerah, walau masalahku dengan Dina belum selesai tetapi aku sudah bisa melupakan kebencianku terhadapnya.
Lembar-lembaran kenangan kini mulai ku isi kembali dengan kisah persahabatanku dengan Agung. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri karena aku yang tidak punya saudara laki-laki. Meskipun telah menemukan sahabat, aku belum bisa menemukan seseorang untuk mengisi kekosongan hatiku. Hari-hari berjalan sangat cepat, dunia kembali tersenyum kepadaku. Ini karena aku sudah tidak lagi bermusuhan dengan Dina. Dan kami kembali berteman akrab. Kebahagiaan itu semaakin bertambah ketika aku lolos seleksi Olimpiade Siswa Nasional cabang IPS tingkat Kabupaten. Aku sangat bahagia, bisa membuat orang tuaku bangga.
Lembaran-lembaran hitam telah berganti, kini aku hidup dengan dipenuhi kebahagiaan. Ternyata betul apa yang dikatakan Agung terhadapku. Tidak terasa besok kami akan menghadapi Ulangan Kenaikan Kelas. Kamipun berlomba-lomba untuk belajar dan belajar. Ini semua demi memperoleh hasi yang maksimal. Kenangan-kenangan pahitnya cinta telah berlalu aku merasakan, aku telah jatuh cinta pada seseorang yang dulu juga pernah dekat denganku. Namanya Fahri, walaupun ia terlihat sangat cuek, tapi sepertinya ia baik dan penyayang.
Sambil menikmati senja ku ingat kembali dulu kenanganku dengan Fahri. Aku ingat, dulu ia pernah memarahiku di parkiran karena tak tahan dengan kejailanku yang memanggil- manggil namanya. Hahaha,,, kejadian yang sangat lucu. Kali ini aku berharap dia juga memiki perasaan yang sama denganku. Malam kian larut, aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan tidur. Saat ku baringkan tuubuhku di kasur, terdengar ponselku berbunyi. Aku pun mengeceknya, 3 buah pesan dari nomor yang tidak aku kenal. Aku memutuskan untuk tidak menjawabnya. Akan tetapi, dia terus-terusan mengirim sms kepadaku. Karena merasa terganggu, aku memutuskan untuk membalasnya. Terlihat dari karakteristik tuisanya sepertinya aku mengenali orang ini. Tetapi siapakah dia? Ini membuatku bingung, karena dilihat dari setiap pesanya sepertinya dia sangat mencintaiku dan sangat tergila-gila kepadaku.
Paginya,aku memutuskan untuk bertanya kepada Riri, akan tetapi Riri pun juga tak mengenali nomor itu, ia juga mencurigai dua orang dari temanku yaitu Adam dan Dani. Setelah diintrogasi ternyata bukan mereka pelakunya, ini membuatku sangat kebingungan. Terlebih saat ia mengungkapkan perasaanya kepadaku. Bagaimana mungkin aku bisa menerimamu kalau aku pun tidak tahu siapa engkau sebenarnya. Dia terus saja memaksaku. Akan tetapi aku tidak mau karena aku hanya mencintai satu orang yaitu Fahri. Seminggu sudah orang itu menerorku, akan tetapi aku belum juga mengetahui siapa dia. Malam ini aku berniat untuk memaksanya agar dia mau mengaku. Memang sangat sulit untuk memaksanya, ku pikir ia adalah rang yang licik. Akan tetapi aku juga tidak akan kalah liciknya denganya. Akhirnya aku berhasil memaksanya, aku sangat kaget ketika mengetahui bahwa dia adalah Agung, sahabatku sendiri. Aku sangat terpukul, orang yang selama ini menjadi sahabatku, ternyata dia menyimpan sebuah perasaan terhadapku. Setelah mengaku, ia tetap saja memaksaku. Aku tetap menolaknya karena aku hanya menganggapnya sebagai sahabatku dan tidak lebih. Aku juga hanya menyayanginya sebagai sahabatku. Tetapi ia memang tidak kenal lelah ia tetap saja mengejarku. Aku sangat lelah, jadi aku memutuskan untuk menjauhinya. Dia tetap menghubungiku, tapi tidak pernah aku angkat. Begitu pula di sekolah, ia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Aku yang jengkel hanya bisa terus menghindarinya.
Akhirnya Riripun juga mengetahui tentang perasaan Agung kepadaku. Riri juga tidak mengira akan hal ini. Kejadian membuatku kehilangan 1 lagi sahabatku. Di malam yang berhias bintang-bintang, ku coba merenungkan diri di belakang rumahku. Kali ini aku benar-benar sedih, mengapa aku harus kehilangan lagi orang yang sangat berarti bagiku. Padahal hanya Agunglah yang selalu menenangkanku saat aku sedih. Ia juga yang menemaniku saat aku hancur, juga orang yang menguatkanku saat aku rapuh. Dia sangat berarti bagiku. Terlalu egoiskah jika aku membencinya? Padahal dia sangat mencintaiku. Akhirnya aku sadar, hidupku hampa tanpanya, aku menyadari bahwa cinta itu tidak dapat dicegah, aku pun memaklumi tentang perasaanya. Dengan ketulusan hatiku, aku mencoba meminta maaf padanya, karena tlah berlaku egoiss kepadanya mengingat berjuta-juta kebaikan yang telah ia lakukan untuk menyemangatiku. Mungkin tanpa ada dia, aku tak tahu apakah malam ini aku masih bisa bernafas. Aku sangat menyesali perbuatanku. Aku sangat bersyukur, dia mau memaafkanku. Aku sangat berharap agar ia tetap mau menjadi sahabatku.
Hari-hari berjalan seiring perasaanku yang tidak menentu. Kini aku telah naik ke kelas 9. Ku tlah mengubur semua kenangan pahitku di kelas delapan. Tumpukan batu bata di belakang rumahku tlah menjadi saksi akan beratnya cobaan hidupku di masa lalu. Ku merenung lagi di tempat itu, sepertinya akan turun hujan. Karena awan- awan tlah terlihat hitam keabu-abuan. Diiringi hembusan angin yang kian kencang membelai-belai rimbunan pohon pisang di dekat sawah. Ayam- ayampun muulai mencari tempat untuk berteduh. Perlahan, butir-butir air mulai turun dari tirai kelabu itu. Tetes demi tetesnya membasahi daun-daun pepohonan di sekitarku. “Ah betapa senangnya tumbuh-tumbuhan itu, sudah lama tidak turun hujan.” Ku tetap berdiam diri di sini memperhatikan setiap tetesan hujan yang turun dari langit. Tidak begitu lama akhirnya hujanpun mulai reda. Matahari yang masih bersinar, membuatku berharap sore ini akan ada pelangi yang indah. “Ah lihat! Lengkungan tujuh warna-warni membentang indah di ufuk barat. Sungguh indah bak bentangan selendang mayang.” Tiba-tiba hp ku berbunyi, rupanya pesan masuk dari Fahri. Aku pun membalasnya, dan terjadi saling berbalas sms. Ia pun mengagetkanku dengan pesanya yang mengungkapkan perasaanya kepadaku. Aku sungguh sangat bahagia, ternyata cintaku kali ini tidak bertepuk sebelah tangan.
Akan tetapi aku kembali teringat Agung, pasti akan sangat menyakitkan baginya jika aku dan Fahri jadian. Aku pun mengurungkan niatku untuk menerima cintanya, tetapi ia berjanji akan tetap setia menungguku. Karena aku juga mencintainya, aku juga berjanji akan menerimanya kelak. Kini, aku dan Fahri menjadi kian dekat. Dan aku sangat bahagia, telah menemukan orang yang sangat tulus mencintaiku. Akhirnya Agung mengetahui kedekatan kami. Ini mungkin sangat menyiksa batinya, ia pun mulai menghindariku. Aku bisa mengerti tentang perasaanya, pasti sangat menyedihkan baginya. Kini, Agung benar-benar tlah menjauhiku. Kadang ku lihat ia begitu bahagia dengan Sofi sahabatnya yang sekarang. Kadang aku menyesal telah melukainya, aku juga sangat cemburu dengan kedekatan mereka. Aku ingin Agung kembali menjadi sahabatku. Tapi aku juga tak ingin kehilangan Fahri yang sangat kucintai. Kini hanya tinggal aku yang dilanda dilema. Apakah aku akan memilih dia, sahabatku? Atau tetap bersama orang yang aku cinta? Ini pillihan yang sangat sulit untuk ku putuskan.
Hari hari kian berlalu.. Bulan demi bulan tlah ku lewati. Memang cinta sejati tlah kutemukan, tapi hidupku tak seindah dulu waktu aku masih bersama sahabatku. Kini ia semakin menjauh dariku. Ku slalu melihatnya dengan teman-temannya yang baru. Hatiku sungguh sangat pedih kehilanganya. Hampir setiap saat air mata ini menetes, mengingat kebersamaan kita dulu. Mengingat tiap lagu yang sering kita nyanyikan bersama, mengingat hadirnya dulu untuk menghiburku. Namun apa daya, semua yang telah ku lakukan tak ada gunanya. Ia takkan kembali lagi. Mungkin aku akan belajar, belajar untuk menerima keadaanku kini, belajar untuk kehilangan sahabat yang sangat berarti bagiku, belajar untuk terbiasa hidup tanpanya, belajar untuk melihatnya bersama orang lain. Aku pasti bisa. Walaupun itu sangat sulit untuk ku lalui. Aku tidak akan egois, aku tidak mungkin memaksanya kembali kepadaku, kepada kita. Walaupun itu takkan mungkin terjadi, aku takkan putus asa untuk menunggunya.

Nama               : Erly Dyah Rahmasari

                                                                        Kelas               : 9F / 03 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar