Pelangi
Seusai Hujan
Sinar-sinar
kuning keemasan mulai tampak di ufuk, mentari
pun masih malu-malu untuk menampakan senyumnya. Burung-burung
berterbangan kian kemari untuk mencari makan. Bersial-siul mengelilingi
tumbuh-tumbuhan padi dengan riang. Tampak pula ayam- ayam jago yang berkokok
dengan gagahnya, lalu mulai berjalan ke sawah untuk mencari makan. Hawa dingin
masih menyelimuti bumi, bersama sisa-sisa tetesan air seusai hujan tadi malam.
Sinar mentari menyinari pohon-pohon pisang di dekat sawah nan masih basah
tertutup embun. Menambah kepermaian desaku yang ku cinta.
Ku
awali pagiku dengan membuka jendela kamarku, terlihat hamparan padi yang mulai
menguning. Ku rasakan kesejukan pagi. Ranting-ranting pohon perdu tampak
berayun-ayun karena hembusan angin di pagi hari. Lalu ku bergegas untuk mandi
dan bersiap-siap untuk menuju ke sekolah. Ibuku pun telah menyiapkan sarapanku.
Setelah bersiap-siap, perlahan ku menuju ruang makan, di sana telah ada ayah,
ibu, dan adikku. Kami pun makan bersama, sungguh pagi yang sangat indah.
Setelah
menghabiskan sarapanku, ku cium tangan ayah dan ibuku lalu beranjak pergi ke
sekolah dengan menaiki sepedaku. Ku kayuh perlahan sepedaku agar aku dapat menikmati
keindahan pagi yang cerah ini. Ku selusuri jalan-jalan yang tampak masih sepi.
Dari kejauhan tampak Gunung Merapi yang menjulang tinggi, ah... tak setiap hari
aku bisa melihat pemandangan indah seperti ini, karena cuaca yang tidak
menentu. Karena ku pikir hari masih pagi aku memutuskan untuk berhenti sebentar
untuk menikmati kindahan gunung yang menjulang tinggi itu. Setelah agak puas ku
lihat arlojiku, ternyata aku hampir telat, aku pun cepat-cepat menaiki spedakuu
dan mempercepat kayuhannya. “Untung saja aku tidak telat” ucapku setelah
memarkirkan sepedaku. Ku berjalan setengah ngos-ngosan, karena habis ngebut.
“Allinaaa.... Aliiinaaa” terdengar suara yang memanggil namaku, aku pun
menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Tampak seorang teman
laki-lakiku mengejarku dan berhenti seketika “Iya... ada apa?” tanyaku
kebingungan. “Ini tempat minummu jatuh, tadi aku menemukanya di jalan dan aku
rasa ini milikmu karena ada namamu yang tertera di sini” ucapnya menjelaskan.
“Oh iya... terima kasih yaa...”ucapku sambil tersenyum lalu beranjak pergi,
karena aku yang sudah hampir terlambat. Ah.. tadi itu Bagas, anak kelas
sebelah. Sebenarnya aku menaruh hati padanya karena kebaikan hatinya. Akan
tetapi aku tidak berani mengungkapkanya karena aku takut ia akan membenciku.
Akhirnya
aku telah sampai di depan kelasku. Di sana telah tampak kedua sahabatku yang
sedang belajar biologi. Seperti biasa, aku selalu menyapa mereka “Hai Riri...
Hai Dina...” ucapku dengan senyuman termanisku. “Hai juga Lina...” ucap mereka
kompak. “Hehe... kok kalian belum masuk sih, kan sudah jam 7 kurang 5 ?
“Hahahaha sekarang kan baru jam 6.15, Lina... sini coba lihat arlojiku!” Lalu
akupun melihat arloji milik Riri ternyata di arlojinya tertera angka 6 dan 16.
“Ha!!! ini tidak mungkin, coba lihat arlojiku!” kataku sambil menunjuk ke
arlojiku. “Yaaahh... arlojimu mati Lina, coba lihat, jarumnya sudah tidak
bergerak!” kata Dina. “Hahahaha” kamipun tertawa bersama. “Ya ampun, tadi aku
sudah buru-buru banget gara-gara melihat jam ini! Tadi tempat minumku juga
hampir hilang, gara-gara terjatuh di jalan! Untung tadi ada.......” belum
selesai aku bercerita, Dina telah memotong ceritaku. “Pasti tempat minummu
ditemukan sama Bagas kan Lin?” kata Dina. “Eh.. iya! Kok kamu bisa tahu Din?”
tanyaku heran. “Hahaha ya iya lah, terlihat banget kalau dari tadi kamu
senyam-senyum sendiri kaya orang gila. Hehehe” ucapnya sambil mencubit pipiku.
“Eh.. emang kelihatan ya kalau aku salah tingkah?” tanyaku polos. “Jelas lah
Alina!!!!” ucap Riri tak mau kalah. Kamipun masuk ke kelas karena bel tlah
berbunyi. Aku memang memiliki dua sahabat yang sangat baik, kami memang telah
bersahabat sejak kelas 7. Setiap hari selalu ku habiskan waktuku bersama
mereka. Riri adalah sahabatku yang baik, dewasa dan bijaksana, sedangkan Dina
ia meemiliki sifat ramah dan asyik, mereka sudah aku anggap seperti kakak dan
adiku, walaupun akulah yang tertua diantara mereka.
Setiap
istirahat, aku selalu sibuk untuk memperhatikan Bagas di dekat jendela
kelasnya. Tak kusadari Dina mengagetkanku dari belakang. “Lin, besok hari
Minggu jalan-jalan yuk?” tanya Dina. Tanpa pikir panjang ku iya kan saja
ajakanya. Lalu kami pun beristirahat dan mengikuti pelajaran seperti biasa.
Setelah pulang sekolah, aku melangkahkan kakiku menuju parkiran. Ku ambil
sepeda biruku. Dan ku kayuh kencang menuju ke rumahku. Sesampainya di rumah ku
ambil air wudhu untuk sholat asar. Ku selipkan namanya dalam doaku. Air mata ku
mulai menetes, karena keadaan kami yang berbeda agama. Aku teramat bingung
untuk memilih meneruskan cinta ini atau menghentikanya karena alasan tersebut.
Berulang kali ku coba melupakanya tapi nihil, cinta ini telah menancap terlalu
dalam, dan sulit untuk dihilangkan. Ku memohon kepada Tuhan untuk memberi jalan
yang terbaik bagiku. Tak lupa ku juga mendoakan kedua orang tuaku. Setelah
berdoa, aku lalu memasuki kamar dan mengerjakan pr. Karena memang kebiasaanku
mengerjakan pr disore hari setelah pulang sekolah. Setelah itu aku lalu keluar
rumah dan bermain-main di dekat sawah yang ada di belakang rumahku.
Sinar
kemerah-merahan telah menghiasi langit di ufuk barat. Mentari senja telah
beranjak ke peraduanya, ditemani burung- burung yang mulai pulang menuju
sarangnya. Langit yang jingga berubah menjadi gelap. Angin malam mulai
berhembus menerpa ranting-ranting pohon cemara kecil yang ditanam ayahku di dekat
sawah. Aku pun duduk di tumpukan batu-batu bata di dekat sawah. Indahnya
pemandangan sore ini. Perlahan ku ingat kembali kejadian tadi pagi. Aku terus
berandai-andai. “ Ah... andai saja Bagas tahu tentang perasaanku, andai ia juga
mempunyai perasaan yang sama, andai ia juga seiman denganku...” begitu
seterusnya. Tanpa ku sadari ternyata ibu telah berteriak-teriak mencariku. Aku
pun bergegas pulang dan mandi. Aku juga meminta maaf kepada ibu karena
membuatnya kebingungan untuk mencariku.
Setelah
membersihkan seluruh badanku, akupun menunaikan sholat magrib. Seusai sholat
magrib aku lalu tadarus sampai waktu sholat isya’ tiba. Setelah shoat isya’
ibuku menyuruhku untuk belajar. Aku bingung setiap satu kalimat yang aku baca,
aku selalu terngiang-ngiang wajah Bagas. Aku memutuskan untuk mengirimkan sms
untuknya, ternyata balasanya ramah sekali. Dan lama-lama kamipun menjadi lebih
dekat. Bahkan ia tlah menganggapku sebagai teman curhatnya. Dan itu membuatku
sangat senang.
Mentari
di Minggu pagi membuatku bangun kesiangan. Ini membuatku tidak dapat menikmati
keindahan pagi seperti biasanya. Dengan sedikit menyesal aku lalu cepat-cepat
merapikan tempat tidurku dan sholat subuh. Setelah itu aku pun mengumpulkan
baju-baju serta mencucinya. Setelah selesai mencuci baju aku bergegas ke kamar
mandi. Setelah mandi barulah aku bermalas-malasan. Tiba-tiba hp ku berbunyi,
ternyata ada alarm peringatan karena seharusnya pagi ini aku harus menemani
Dina jalan-jalan. Karena waktu sudah mepet, aku pun memutuskan untuk membatalkan
janjiku. Tanpa pikir panjang aku mengirimkan sms kepadanya yang intinya
membatalkan rencana kita.
Waktu
bergulir begitu cepat, akhirnya waktu untuk sekolah datang kembali. Aku
berangkat sekolah dengan semangat seperti biasanya. Akan tetapi hal aneh terjadi
pada salah seorang sahabatku yaitu Dina, ia sekarang sering menjauh dariku.
Saat aku tanya apa sebabnya ia pasti menghindar. Aku sangat bingung, perbuatan
apa yang ku lakukan sehingga ia jadi berubah seperti ini. Karena tidak merasa
bersalah aku pun membiarkanya. Akan tetapi semakin lama, ia tidak juga
menyapaku. Aku pun menyadari telah membuatnya kecewa karena membatalkan janjiku
untuk menemaninya jalan-jalan. Karena saat itu aku tidak berfikir jika
akibatnya akan seperti ini. Berulang kali aku mencoba meminta maaf kepadanya,
dan mengakui kesalahanku. Tapi hasilnya nihil, ia tidak juga memaafkanku. Aku
merasa sangat bersalah, dan menyesali perbuatanku. Hari-hariku seakan sangat
berubah. Tak ada lagi canda tawa yang menemani pagi hariku di sekolah. Aku
seperti kehilangan separuh nyawaku. Mungkin karena kedekatan kami yang kini
mulai hilang seiring berjalanya sang masa.
Senja
di belakang rumahkku tak seindah perasaanku sekarang. Dunia seakan berbalik.
Air mataku perlahan menetes, aku menyesalkan perbuataanku yang membuat
persahabatanku seperti ini. Aku tersenyum pada rembulan yang menampakan
sinarnya, aku malu terhadap bintang-bintang yang berkelap-kelip diatas
sana,”Aku tak ingin menjadi lemah, aku kuat aku kuat.” kataku sambil menghapus
air mataku yang jatuh bercucuran. Aku pun masuk ke rumah dan menjalani
rutinitas seperti biasanya. Tidak terasa, besok sudah hari Minggu lagi. untuk
menghibur suasana hatiku yang sedang kacau, besok aku akan bermain ke rumah
Dewi, sekedar untuk bercerita dan belajar bersama. Memang semenjak Dina
menjauhiku, aku sering bermain dengan Dewi, Dewilah yang selama ini menghiburku
ketika aku sedih dan juga orang yang mendengar curhatanku.
Pagi
ini tidak indah, seperti biasa karena cuacanya yang sedikit mendung. Ku kayuh
sepedaku menuju rumah Dewi. Sesampainya di sana kami lalu bercakap-cakap dan
belajar bersama. Tiba-tiba hp ku berbunyi aku pun mengeceknya, ternyata sms
dari Bagas.
“Hai
Lin, lama ya.. nggak smsan. Oh ya, aku mau curhat nih.” Aku pun cepat-cepat
membalasnya.
“Iya
ya Gas, oh ya... mau curhat apa?”
“Begini
Lin, aku sedang jatuh cinta sama seseorang. Tapi aku bingung bagaimana cara
untuk mengungkapkanya.” Tanya Bagas.
“Oh...
begitu. Memangnya kamu jatuh sama siapa Gas.” Tanyaku penasaran.
“Aku
jatuh cinta sama Desi, anak kelas delapan b itu lho. Aku cinta sama dia karena
menurutku dia orangnya cantik.”
Setelah
menerima pesan darinya akupun kaget, air mataku pun mengalir. Betapa hancurnya
perasaanku mendengar perasaanya yang seungguhnya. Tentang apa yang selama ini ku
harapkan, ternyata bukan aku orang yang mengisi ruang hatinya. Bukan aku, tapi
Desi. Tuhan... apakah aku mimpi? “Kenapa ia lebih memilih dia dari pada aku
yang sangat mencintainya dengan tulus, kenapa ia lebih Desi yang perangainya
tidak terlalu baik. Kenapa Tuhan?” Air mataku semakin deras mengalir, Dewi yang
menyadari bahwa aku menangis lalu menanyakan apa ang menyebabkan aku seperti
ini. Aku hanya diam saja karena tak mampu lagi bercerita. Ia pun mengecek hpku
ternyata sms dari Bagas lah yang membuatku menangis, Dewipun mencoba
menenangkanku, tapi perasaanku yang terlanjur hancur sulit untuk diredakan. Aku pun memutuskan untuk
pulang, aku menangis sejadi-jadinya. Tak ada lagi yang bisa membuatku
tersenyum, bahkan keindahan pemandangan senja yang biasanya menghiburku. Tak
mampu pula buatku berhenti menangis. Semuanya
gelap dan gelap. “Tuhan... apakah ini hukuman untukku? Kenapa semuanya kejam,
Tuhan... apakah ini cobaan untukku? Lantas kenapa ini semua datang secara
bersamaan seperti ini. Tuhan... apakah aku kuat? Apakah nanti akan ada pelangi
seusai hujan?” kataku sambil bercucuran air mata. Akan tetapi aku masih
bersyukur karena aku mempunyai sahabat baru yaitu Rahmat dan Agung, ditambah
Riri mereka juga yang sekarang menemani hari-hariku di sekolah.
Hari-hari
kian berlalu, walaupun masalah datang silih berganti aku mulai kuat dan
perlahan aku sudah bisa melupakan Bagas. Tapi terkadang aku masih teringat bayang-bayang
dan kenangan ku di masa lalu, tapi aku juga teringat saat-saat ia membuatku
menangis dan hancur. Semua berputar-putar di memoriku membuatku sering menangis
dan menjadi pemurung. Akupun memutuskan untuk membuka hatiku untuk orang lain,
agar aku dapat melupakan Bagas. Tak lama kemudian aku mempunyai pacar yakni
Putra. Tampaknya ia orang yang baik, aku mempercayainya bahwa ia akan
mengembalikan hidupku seperti dulu. Hari-hari ku jalani, kini senyumku telah
kembali dan aku telah mampu mencintai Putra. Akan tetapi belum sepenuhnya aku
bisa melupakan Bagas, karena dia adalah cinta pertamaku. Hingga suatu ketika
aku harus melihatnya pergi meninggalkanku.
Sepulang
sekolah aku berlari-lari untuk menemui Putra, dari kejauhan aku melihatnya
sedang bersama Dina, sahabatku dulu. Aku bingung, ada hubungan apa sehingga
mereka terlihat sangat dekat, aku pun merasa terpukul dengan kejadian itu. Aku
lalu berlari menjauh, tapi Putra tak juga mengejarku, aku pun menuju belakang
rumahku dan menangis lagi. Aku tak percaya orang yang aku percaya tega
menghianatiku. Juga orang yang dulu ku anggap sahabatku bahkan sebagai adikku
sendiri tega merenggut orang yang aku cintai. Aku hancur, hancur. Hatiku tlah
membatu, air mataku tlah habis untuk menangisi dua orang yang tega terhadapku.
Dan aku pun mengambil hp ku aku pun bertanya kepada Putra, apa hubunganya ia
dengan Dina sehingga tadi terlihat sangat dekat. Ternyata Putra mencintai Dina
bukan aku, dan dia berpacaran denganku hanya untuk memanfaatkanku, karena
kecerdasanku. Aku sungguh tidak habis pikir dengannya ia sangat tega
memperlakukanya seperti itu. Aku pun memutuskan hubungan kami, yang telah
berjalan 2 minggu.
Matahari
tersenyum kepada dunia, tapi tidak denganku. Bahkan aku tlah lupa kapan
terakhir aku tertawa, karena hampir setiap hari air mata ini menetes. “Mengapa
dunia ini sangat kejam terhadapku?” “Apa salahku... setiap hari aku berdoa,
tapi kenapa ini yang aku terima. Mengapa orang-orang yang jahat selalu bahagia?
Tak pantaskah aku bahagia, Tuhan?” sepanjang jalan bahkan setiap hari ku
habiskan waktuku untuk melamun. Pagi ini aku berjalan sempyongan menuju
kelasku. Tak ada satupun yang menyapaku, mereka sibuk dengan Dina. “Ku dengar
Dina, habis jadian dengan Putra.” Kata Riri.
“Kamu
serius Ri?” tanyaku sambil menghapus air mataku. “Iyaa... Lin, aku juga tidak
habis pikir dengan Dina, mengapa dia tega melakukan itu terhadapmu.” Kata Riri
prihatin dengan keadaanku. “Aku nggak papa kok, aku kuat Ri.” Riri pun
memeluku. Sebenarnya perasaanku sangatlah hancur mendengar kabar itu, tapi aku
mencoba untuk tersenyum di depan sahabat-sahabatku, karena aku tak ingin melihat
mereka ikut sedih. Setiap hari ku pendam kemarahanku kepada Dina dan Putra
karena mereka berdua membuatku hancur seperti ini. Ini membuat teman-teman
sekelasku menjauhiku, karena apa aku juga tidak mengerti. Cobaan demi cobaan
datang, tangisku pecah seketika saat pengumunan hasil UTS peringkatku turun
begitu juga nilai-nilaiku. Aku sangat merasa bersalah terhadap ayah dan ibu,
karena aku telah mengecewakanya. Gara-gara masalah ini, aku sampai membuat
ibuku menangis kecewa melihat nilai-nilaiku. Aku tak sampai hati melihat ibuku
menangis, aku pun ikut menangis, aku juga berjanji padannya aku akan membuatnya
bangga dengan prestasiku. Aku tidak akan mengecwakanya lagi.
Malam
yang gelap ku habiskan di belakang rumah. Ku pandangi bintang-bintang diatas
sana yang bersinar sangat indah. Terllihat pula daun-daun pohon cemara yang
tertiup angin dari sawah. Tumbuh-tumbuhan perdu juga tampak menari-nari. Malam
yang indah, terasa sangat sepi. Hanya suara jangkrik yang menemaninya malam
ini. Aku duduk lagi di batu- batu bata belakang rumah, ku teringat kejadian
tadi pagi. “Ternyata secepat itukah Putra melupakanku, ah tidak!!! Dia memang
tidak mencintaiku mengapa ia harus susah-susah melupakanku. Aku sangat
membencimu Dina! Kau tega melakukan ini padaku? Apa salahku? Selama ini ku
mencoba baik terhadapmu, tapi apa yang ku dapat, kau tak pernah memaafkanku,
untuk kesalahan yang menurutku hanya sepele. Ah... apa itu sahabat? Apa itu
cinta! Semuanya bohong! Aku sudah tak percaya lagi.” Kataku sambil menangis
tersedu-sedu. Kini Alina yang dulu ceria, ramah dan penyayang telah berubah.
Sekarang ia tampak pemurung, seperti orang yang putus asa. Ia juga tampak
sangat emosional.
Hari-
hari seperti berjalan sangat lama, aku sangat lelah dengan kehidupanku yang sekarang.
Sering terbesit dalam fikiranku untuk mengakhiri hidupku karena aku tak tahan
lagi dengan masalah yang menurutku sangat berat. Namun Agung salah seorang
sahabat yang aku punya selalu menguatkanku. Ia tak pernah meninggalkanku
seperti Dina dan mereka yang dulu mengaku-ngaku menjadi sahabat saat aku sedang
berjaya, tapi hilang seketika saat aku sangat rapuh. Agung selalu meyakinkanku
bahwa tak selamanya masalah itu akan menimpa hidupku. Pasti akan ada
kebahagiaan yang sangat indah sebagai imbalan atas kesabaran kita untuk
menghadapi cobaan itu. Kata-katanya membuatku luluh, dan aku mulai percaya,
bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan kita. Ia juga
mengajarkanku arti hidup yang sesungguhnya. Ia bagaikan cahaya yang dikirim
Tuhan untuk mengembalikanku menjadi Alina yang dulu. Setiap hari ku isi
hari-hariku dengan menyanyi, hobby baruku ini sedikit dapat membuatku
tersenyum. Kami juga sering bernyanyi bersama saat istirahat. Kedekatan kami
membuat banyak orang mengira bahwa kami pacaran, padahal kami adalah sahabat
sejati. Tentu kami tak canggung jika harus berjalan bersama. Hari-hariku
semakin cerah, walau masalahku dengan Dina belum selesai tetapi aku sudah bisa
melupakan kebencianku terhadapnya.
Lembar-lembaran
kenangan kini mulai ku isi kembali dengan kisah persahabatanku dengan Agung.
Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri karena aku yang tidak punya
saudara laki-laki. Meskipun telah menemukan sahabat, aku belum bisa menemukan
seseorang untuk mengisi kekosongan hatiku. Hari-hari berjalan sangat cepat,
dunia kembali tersenyum kepadaku. Ini karena aku sudah tidak lagi bermusuhan
dengan Dina. Dan kami kembali berteman akrab. Kebahagiaan itu semaakin
bertambah ketika aku lolos seleksi Olimpiade Siswa Nasional cabang IPS tingkat
Kabupaten. Aku sangat bahagia, bisa membuat orang tuaku bangga.
Lembaran-lembaran
hitam telah berganti, kini aku hidup dengan dipenuhi kebahagiaan. Ternyata
betul apa yang dikatakan Agung terhadapku. Tidak terasa besok kami akan
menghadapi Ulangan Kenaikan Kelas. Kamipun berlomba-lomba untuk belajar dan
belajar. Ini semua demi memperoleh hasi yang maksimal. Kenangan-kenangan
pahitnya cinta telah berlalu aku merasakan, aku telah jatuh cinta pada seseorang
yang dulu juga pernah dekat denganku. Namanya Fahri, walaupun ia terlihat
sangat cuek, tapi sepertinya ia baik dan penyayang.
Sambil
menikmati senja ku ingat kembali dulu kenanganku dengan Fahri. Aku ingat, dulu
ia pernah memarahiku di parkiran karena tak tahan dengan kejailanku yang
memanggil- manggil namanya. Hahaha,,, kejadian yang sangat lucu. Kali ini aku
berharap dia juga memiki perasaan yang sama denganku. Malam kian larut, aku
memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan tidur. Saat ku baringkan tuubuhku di
kasur, terdengar ponselku berbunyi. Aku pun mengeceknya, 3 buah pesan dari
nomor yang tidak aku kenal. Aku memutuskan untuk tidak menjawabnya. Akan
tetapi, dia terus-terusan mengirim sms kepadaku. Karena merasa terganggu, aku
memutuskan untuk membalasnya. Terlihat dari karakteristik tuisanya sepertinya
aku mengenali orang ini. Tetapi siapakah dia? Ini membuatku bingung, karena
dilihat dari setiap pesanya sepertinya dia sangat mencintaiku dan sangat
tergila-gila kepadaku.
Paginya,aku
memutuskan untuk bertanya kepada Riri, akan tetapi Riri pun juga tak mengenali
nomor itu, ia juga mencurigai dua orang dari temanku yaitu Adam dan Dani.
Setelah diintrogasi ternyata bukan mereka pelakunya, ini membuatku sangat
kebingungan. Terlebih saat ia mengungkapkan perasaanya kepadaku. Bagaimana
mungkin aku bisa menerimamu kalau aku pun tidak tahu siapa engkau sebenarnya.
Dia terus saja memaksaku. Akan tetapi aku tidak mau karena aku hanya mencintai
satu orang yaitu Fahri. Seminggu sudah orang itu menerorku, akan tetapi aku
belum juga mengetahui siapa dia. Malam ini aku berniat untuk memaksanya agar
dia mau mengaku. Memang sangat sulit untuk memaksanya, ku pikir ia adalah rang
yang licik. Akan tetapi aku juga tidak akan kalah liciknya denganya. Akhirnya
aku berhasil memaksanya, aku sangat kaget ketika mengetahui bahwa dia adalah
Agung, sahabatku sendiri. Aku sangat terpukul, orang yang selama ini menjadi
sahabatku, ternyata dia menyimpan sebuah perasaan terhadapku. Setelah mengaku,
ia tetap saja memaksaku. Aku tetap menolaknya karena aku hanya menganggapnya
sebagai sahabatku dan tidak lebih. Aku juga hanya menyayanginya sebagai
sahabatku. Tetapi ia memang tidak kenal lelah ia tetap saja mengejarku. Aku
sangat lelah, jadi aku memutuskan untuk menjauhinya. Dia tetap menghubungiku,
tapi tidak pernah aku angkat. Begitu pula di sekolah, ia selalu mengikutiku
kemanapun aku pergi. Aku yang jengkel hanya bisa terus menghindarinya.
Akhirnya
Riripun juga mengetahui tentang perasaan Agung kepadaku. Riri juga tidak
mengira akan hal ini. Kejadian membuatku kehilangan 1 lagi sahabatku. Di malam
yang berhias bintang-bintang, ku coba merenungkan diri di belakang rumahku.
Kali ini aku benar-benar sedih, mengapa aku harus kehilangan lagi orang yang
sangat berarti bagiku. Padahal hanya Agunglah yang selalu menenangkanku saat
aku sedih. Ia juga yang menemaniku saat aku hancur, juga orang yang
menguatkanku saat aku rapuh. Dia sangat berarti bagiku. Terlalu egoiskah jika
aku membencinya? Padahal dia sangat mencintaiku. Akhirnya aku sadar, hidupku
hampa tanpanya, aku menyadari bahwa cinta itu tidak dapat dicegah, aku pun
memaklumi tentang perasaanya. Dengan ketulusan hatiku, aku mencoba meminta maaf
padanya, karena tlah berlaku egoiss kepadanya mengingat berjuta-juta kebaikan
yang telah ia lakukan untuk menyemangatiku. Mungkin tanpa ada dia, aku tak tahu
apakah malam ini aku masih bisa bernafas. Aku sangat menyesali perbuatanku. Aku
sangat bersyukur, dia mau memaafkanku. Aku sangat berharap agar ia tetap mau
menjadi sahabatku.
Hari-hari
berjalan seiring perasaanku yang tidak menentu. Kini aku telah naik ke kelas 9.
Ku tlah mengubur semua kenangan pahitku di kelas delapan. Tumpukan batu bata di
belakang rumahku tlah menjadi saksi akan beratnya cobaan hidupku di masa lalu.
Ku merenung lagi di tempat itu, sepertinya akan turun hujan. Karena awan- awan
tlah terlihat hitam keabu-abuan. Diiringi hembusan angin yang kian kencang
membelai-belai rimbunan pohon pisang di dekat sawah. Ayam- ayampun muulai
mencari tempat untuk berteduh. Perlahan, butir-butir air mulai turun dari tirai
kelabu itu. Tetes demi tetesnya membasahi daun-daun pepohonan di sekitarku. “Ah
betapa senangnya tumbuh-tumbuhan itu, sudah lama tidak turun hujan.” Ku tetap
berdiam diri di sini memperhatikan setiap tetesan hujan yang turun dari langit.
Tidak begitu lama akhirnya hujanpun mulai reda. Matahari yang masih bersinar,
membuatku berharap sore ini akan ada pelangi yang indah. “Ah lihat! Lengkungan
tujuh warna-warni membentang indah di ufuk barat. Sungguh indah bak bentangan
selendang mayang.” Tiba-tiba hp ku berbunyi, rupanya pesan masuk dari Fahri.
Aku pun membalasnya, dan terjadi saling berbalas sms. Ia pun mengagetkanku
dengan pesanya yang mengungkapkan perasaanya kepadaku. Aku sungguh sangat
bahagia, ternyata cintaku kali ini tidak bertepuk sebelah tangan.
Akan
tetapi aku kembali teringat Agung, pasti akan sangat menyakitkan baginya jika
aku dan Fahri jadian. Aku pun mengurungkan niatku untuk menerima cintanya,
tetapi ia berjanji akan tetap setia menungguku. Karena aku juga mencintainya,
aku juga berjanji akan menerimanya kelak. Kini, aku dan Fahri menjadi kian
dekat. Dan aku sangat bahagia, telah menemukan orang yang sangat tulus mencintaiku.
Akhirnya Agung mengetahui kedekatan kami. Ini mungkin sangat menyiksa batinya,
ia pun mulai menghindariku. Aku bisa mengerti tentang perasaanya, pasti sangat
menyedihkan baginya. Kini, Agung benar-benar tlah menjauhiku. Kadang ku lihat
ia begitu bahagia dengan Sofi sahabatnya yang sekarang. Kadang aku menyesal
telah melukainya, aku juga sangat cemburu dengan kedekatan mereka. Aku ingin
Agung kembali menjadi sahabatku. Tapi aku juga tak ingin kehilangan Fahri yang
sangat kucintai. Kini hanya tinggal aku yang dilanda dilema. Apakah aku akan
memilih dia, sahabatku? Atau tetap bersama orang yang aku cinta? Ini pillihan
yang sangat sulit untuk ku putuskan.
Hari hari kian berlalu.. Bulan demi bulan tlah
ku lewati. Memang cinta sejati tlah kutemukan, tapi hidupku tak seindah dulu
waktu aku masih bersama sahabatku. Kini ia semakin menjauh dariku. Ku slalu
melihatnya dengan teman-temannya yang baru. Hatiku sungguh sangat pedih
kehilanganya. Hampir setiap saat air mata ini menetes, mengingat kebersamaan
kita dulu. Mengingat tiap lagu yang sering kita nyanyikan bersama, mengingat
hadirnya dulu untuk menghiburku. Namun apa daya, semua yang telah ku lakukan
tak ada gunanya. Ia takkan kembali lagi. Mungkin aku akan belajar, belajar
untuk menerima keadaanku kini, belajar untuk kehilangan sahabat yang sangat
berarti bagiku, belajar untuk terbiasa hidup tanpanya, belajar untuk melihatnya
bersama orang lain. Aku pasti bisa. Walaupun itu sangat sulit untuk ku lalui.
Aku tidak akan egois, aku tidak mungkin memaksanya kembali kepadaku, kepada
kita. Walaupun itu takkan mungkin terjadi, aku takkan putus asa untuk menunggunya.
Nama : Erly Dyah Rahmasari
Kelas : 9F / 03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar