9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

Makna Sebuah Perjuangan

Makna Sebuah Perjuangan
                       Bagi seorang anak penjual kelapa di Pasar Beringharjo kala itu seperti tak mungkin jika dapat mewujudkan impiannya menjadi seorang pengajar. Namun kenyataan itulah yang kini dialami oleh Yanti. Anak seorang janda miskin yang hanya berjualan kelapa di emperan Pasar Beringharjo saat dinihari sampai pagi buta. Ayahnya telah meninggal sejak Yanti masih berusia 7 bulan didalam kandungan ibunya yang biasa ia panggil dengan sebutan simbok itu. Jadilah Yanti tak pernah melihat wajah ayahnya kecuali dari foto usang pemberian simboknya. Dan kini simboknya pun berjuang keras demi menghidupi Yanti dan kakaknya, Murni. Dengan tekad dan semangat Yanti pun dapat mewujudkan mimpinya menjadi seorang pengajar. Ya memang mengabdikan diri sebagai pengajar adalah profesi yang amat mulia. Namun keberhasilan yanti tak semata-mata karena usahanya tetapi juga karena prinsip ibunya yang bertekad bahwa seburuk apapun kondisi perekonomiannya anak-anaknya harus mendapatkan pendidikan sampai SMA sederajat paling minimal. Selain itu juga kakaknya yang selalu mengantar kemanapun Yanti pergi untuk menggapai citanya. Dan terwujudlah kini semua tekad itu, dan kesuksesan itu tak luput dari perjalanan kisah hidup Yanti yang sangat berliku-liku dari ia kecil sampai sekarang ini.

***.....***
                       Siulan burung prenjak mulai terdengar meriah. Daun-daun bangun dari tidur lelapnya dan meneteskan dinginnya embun yang sejak semalam bernaung dipunggungnya. Semut-semut pun bersiap untuk patroli mencari butiran-butiran gula yang tercecer guna sarapan hari ini. Tak jauh dari itu suara gesekan sandal-sandal pencari jambu ataupun melinjo sudah aktif menyisir kebun yang berisikan pepohonan rimbun. Obor yang mereka bawa pun kini telah berganti kondisi menjadi padam karena mentari telah menyiratkan guratan emas diufuk. Gemercik suara aliran sungai mbedog sudah mulai terdengar jelas dari gubug reyot yang terbuat dari anyaman bambu itu. Hembusan semilir angin pagi melewati celah-celah anyaman bambu yang menjadi dinding rumah  menusuk tulang Yanti yang seperti terbungkus kulit. Sama seperti anak-anak kecil desa dahulu, barat badan memang jauh dari kata ideal. Hal itu mungkin karena minimnya makanan karena perekonomian yang sulit. Adzan subuh telah terdengar nyaring di desa pinggiran sungai tempat Yanti tinggal. Seperti halnya anak lainnya, ditemani Murni sang kakak,Yanti pergi kesungai yang kondang dengan sebutan “mbelik” itu untuk mandi dan bersiap kesekolah. Mereka menuju ke “mbelik” dan disambut oleh cipratan air sungai yang naik karena terbebani anak-anak yang sedang mandi. Pada dasarnya Yanti seperti anak lainnya yang menghabiskan paginya mandi disungai, namun bedanya sepagi itu dirumah Yanti sudah tidak ada siapa-siapa lagi kecuali ia dan kakaknya. Ibunya yang akrab ia sebut dengan “simbok” telah dari tengah malam tadi berangkat ke Pasar Beringharjo untuk berjualan kelapa bersama tetangga kampung sebelah. Hal inilah yang menjadikan Yanti dan kakaknya anak mandiri. Tiap pagi tak ada bakul berisikan singkong rebus atau bahkan nasi hangat yang tersedia untuk mengganjal perut setiap akan sekolah. Namun dengan penuh rasa syukur mereka tetap menjalani rutinitas itu tanpa mengeluh manja seperti anak kota jaman sekarang jika tak tersedia makanan mewah di meja makannya.
                       Kehidupan Yanti berjalan seperti anak-anak lainnya walaupun status sosialnya jauh dibawah anak-anak lain didesanya. Hari-harinya diisi dengan bermain dan belajar. Meski terlahir sebagai anak orang tak punya namun Yanti selalu memperoleh prestasi tinggi, bahkan sering lebih tinggi dibanding anak yang kehidupannya terjamin. Hal ini terbukti Yanti selalu mendapat peringkat disekolahnya dari SD sampai sekarang ia duduk di bangku SMP dan hampir lulus. Meskipun demikian ada secuil sifat Yanti yang kurang baik. Ia merasa rendah diri karena keadaan ekonominya. Yanti pun agak sedikit tertutup dengan kawan-kawannya. Yanti berfikir bahwa keadaannya berbeda jauh dengan teman-temannya. Padahal apa yang ada didalam fikiran Yanti tak benar. Teman-temannya tak pernah menilai Yanti dari status sosialnya dan berusaha mengajak Yanti keluar dari keminderannya. Dan akhirnya di SMP inilah Yanti agak mulai meninggalkan kebiasaan buruknya itu.
                       Bulan berselimutkan awan tipis telah terpampang dilangit, walaupun senja belum sepenuhnya meninggaklan bumi. Obor-obor penerangan telah dinyalakan dan dipasang didepan rumah-rumah penduduk. Suara anak-anak kecil yang menuju ke surau untuk mempelajari ilmu agama mulai terdengar riuh disertai bayangan-bayangan yang menyembul dari kebun-kebun karena obor yang mereka bawa. Burung-burung pun telah lama kembali kesarangnya diatas pohon randu besar di tengah kebun yang sering ditakuti oleh anak-anak kecil itu. Yanti duduk termenung didepan gubug reyotnya sembari memperhatikan Mbah Joyo yang kebingungan mencari ayam jago nya yang tak kunjung pulang. Tak terasa sudah tiga tahun ia tempuh bangku SMP dengan penuh suka-dukanya. Kini ijazah tanda tamat belajar Yanti tlah ada dalam genggamnya. Dalam benak Yanti ia memikirkan hasil ujian kelulusannya di SMP. Ia bingung akan membawa hasil ujiannya berlabuh kemana. Ia bingung akan ke SMA ataukah ke SPG (sekolah setingkat SMA yang langsung menjurus untuk menjadi guru). Yang jelas setelah lulus nanti dirinya bisa langsung bekerja membantu simboknya mencari uang. Bekerja tak hanya menganyam bambu menjadi sebuah wadah seperti keranjang yang biasa disebut “kreneng” itu yang kini ia jadikan kerja sampingan sepulang sekolah. Berputar-putar fikiran Yanti menimbang-nimbang agar pilihannya tepat dan tak akan ada sesal dikemudian hari.
                       Setelah suara jangkrik terdengar nyaring dan kodok-kodok bersahutan riang gembira dalam melantunkan suara khasnya seakan untuk mencoba memikat sang betina di sawah yang tak jauh dari sungai mbedog itu, Yanti pun akhirnya membuat keputusan matangnya. Ia pun memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di SPG saja.Yanti ingin setelah dirinya lulus nanti jadi pengajar yang merupakan cita-citanya. Ia beranggapan bahwa jika dirinya memaksakan diri ke SMA belum tentu ia akan langsung bekerja. Opininya itu tak sekedar terlontar dari mulutnya tanpa alasan, Yanti bercermin pada realita kakaknya yang setelah lulus dari SMA satu tahun lalu tak kunjung mendapatkan pekerjaan tetap. Maka setelah terdengar kokokan jago Mbah Joyo yang nyaring itu, Yanti pun mengajak kakaknya dengan menggunakan sepeda ontel tuanya yang kalau dikayuh akan berbunyi kreekk,,,kreeekkk,,kreeekkk itu ke SPG didekat kabupaten. Ia pun mendaftarkan dirinya bersekolah disekolah tersebut dan memantabkan hatinya agar sungguh-sungguh sekolah karena ia tak ingin sawah yang digadaikan simboknya itu akan sia-sia. Memang sudah jadi kebiasaan simbok Sudi jika anak-anaknya masuk kejenjang sekolah baru yang lebih tinggi ia akan menggadaikan sepetak sempit sawahnya untuk biaya masuk sekolah anaknya. Maklum saja Mbok Sudi tak punya apa-apa untuk digadaikan selain sawah miliknya. Untuk makan sehari-hari saja ia hanya memetik sayur yang ditanamnya dibelakang gubugnya. Uang saku untuk anaknya pun tak pernah ia memberi kecuali hari tertentu, karena kondisi yang sangat tak punya. Ia memberi uang saku untuk anaknya hanya satu minggu sekali, itupun karena ada pelajaran olah raga, dan jumlah uang sakunya pun tak banyak hanya setengah rupiah saja yang tak cukup untuk membeli sepincuk bakmi di depan SMP Yanti dulu yang sangat kondang enaknya. Sering kali Yanti menelan ludah membayangkan dirinya makan sepincuk bakmi yang suoer lezat itu. “Heemm pasti lezat dan perut yang tak terisi dari pagi ini akan kenyang” fikirnya tiap kali melihat teman-temannya menyendok bakmi itu dengan daun. Namun dengan segera Yanti pun menepis bayangan itu. Ia tak mau tujuan sekolahnya hanya untuk jajan sepincuk bakmi. Ia selalu ingat perjuangan simboknya agar ia bisa melanjutkan sekolah. Ya, meskipun hingga lulus sekolah tak pernah sekalipun lidahnya merasakan sekedar hanya untuk membuktikan betapa lezatnya sepincuk bakmi itu.
                       Rinai hujan perlahan menipis. Semilir angin dingin pedesaan membawa air dari sungai kerumah-rumah penduduk. Burung-burung pun urung untuk menyanyikan lagu merdunya. Mungkin karena udara yang dingin membuat burung-burung itu menjadi enggan melakukan aktifitasnya. Perlahan namun pasti, senyuman sang fajar pun mulai merekah diufuk timur. Terlihat sapaan hangat dari rautnya. Menepiskan perlahan udara yang menembus tulang. Dari balik gerumbulan semak yang membetengi sungai yang digunakan untuk mandi penduduk, dengan obor yang tlah padam Yanti dan Murni kakaknya berjalan perlahan menuju gubug mereka melewati dinding sungai yang agak curam. Yanti ingin mempersiapkan diri serapi mungkin untuk masuk sekolah barunya. Memang hari ini adalah hari pertama Yanti masuk ke sekolah barunya itu, maka dengan baju SMP nya yang agak sedikit lusuh yang ia setrika selicin mungkin dengan setrikaan model bahan bakar dari bara api sebagai sumber panasnya itu, ia kenakan seragam miliknya dengan bangganya. Bangga karena sebentar lagi akan ia tinggalkan baju SMP itu dan akan berganti dengan baju seragamnya yang baru. Hal itu membuktikan bahwa ia kini telah berhasil melanjutkan langkahnya ke jenjang sekolah baru yang lebih tinggi. Bagi anak miskin seperti Yanti, bisa melanjutkan sekolah sampai setingkat SMA itu sudah meupakan karunia yang tak terkira untuk dirinya. Walaupun untuk menggapainya ia harus bekerja ekstra keras. Ia harus bekerja sampingan membantu neneknya menganyam. Jadi dirinya harus bisa membagi waktu sepintar mungkin untuk bekerja dan belajar. Namun hal itu dianggapnya masih sangat ringan dan belum seberapa dibandingkan dengan kerja keras ibunya yang tiap malam harus mengayuh sepeda ontelnya dari desanya sampai ke Pasar Beringharjo. Belum lagi setiba disana Mbok Sudi harus langsung menggelar dagangannya cepat-cepat. Namun belum usai letih yang mendera tubuh kurusnya, ia harus segera harus berlomba-lomba dengan pedagan lain menuju ke tengkulak. Setelah itu Mbok Sudi harus mengangkut berkarung-karung kelapa dari tengkulak ke tempat dagangannya. Setiap sekali mengangkut,dipunggung Mbok Sudi terdapat beban yang beratnya berkisar antara 7 sampai 10 kilo kelapa. Namun berat kelapa-kelapa itu tak pernah ia rasakan. Dirinya tetap harus berjuang demi anak-anaknya agar bisa sekolah tinggi. Minimal SMA sederajat.
                       Disekolah itu Yanti mulai mencoba merancang hidupnya  kelak. Tekatnya terfokus untuk menjdi seorang guru. Namun meskipun demikian Yanti juga tetap mengukir persahabatan indah di sekolahnya kini. Sahabat-sahabat Yanti bernama Yuni dan Ratri. Yuni dan Ratri adalah anak yang berasal dari golongan menengah ke atas perekonomian keluarganya, namun hal itu tak membuat mereka mengucilkan Yanti yang hanya anak penjual kelapa. Bahkan kalau mereka berdua tidak mendekati Yanti agar mau menjadi sahabatnya, mungkin Yanti tak akan pernah bergaul dengan mereka. Maklumlah keadaan mereka sangat jauh berbeda. Ratri dan Yuni kagum dengan Yanti karena bagaimanapun kondisinya,ia tetap berjuang keras untuk sekolah dan Yanti pun tergolong anak yang berprestasi di kelasnya. Padahal Yanti harus membagi waktu antara belajar dan bekerja membantu simboknya agar ia bisa tetap sekolah. Mereka bertiga sering mengerjakan tugas sekolah dan belajar bersama. Namun selama mereka belajar bersama, tak pernah Yuni dan Ratri berkunjung ke rumah Yanti. Sering kali mereka membujuk agar diijinkan berkunjung ke rumah Yanti, namun selalu tak diijinkan oleh Yanti. Seperti siang itu mereka berdua membujuk Yanti agar diijinkan belajar dirumahnya. Yuni bahkan sampai memohon-mohon kepada Yanti agar diijinkan. Namun dengan terbata-bata Yanti menjawab, “Sebenarnya bukannya aku tak mengijinkan kalian singgah kerumahku. Akan tetapi apakah kalian tidak malu berkunjung kerumahku yang hanya gubug reyot dan hanya berdindingkan anyaman bambu saja?” kata Yanti terisak karena tak kuasa menahan air matanya. Ratri mengerti dengan keadaan Yanti maka ia pun menjawab dengan perasaan bersalah karena tlah membuat sahabatnya menangis. “Yanti maafkan kami telah membuatmu bersedih bahkan menangis. Tak usah kau fikirkan keadaanmu, kita ini tak ada yang berbeda,meskipun kondisimu begitu bukan berarti kau berbeda dengan kami kan? kami paham dengan apa yang kau rasakan. Tak mungkin kami akan mengejek bahkan mencercamu saat mengetahui keadaanmu.” kata ratri dengan berusaha menenangkan Yanti. Akhirnya setelah dibujuk oleh kedua sahabatnya Yanti pun mengijinkan sahabatnya berkunjung dan belajar bersama dirumahnya. Setiba dirumah Yanti, Ratri dan Yuni pun terperangah melihat kondisi rumah Yanti yang masih berdindingkan anyaman bambu yang telah usang itu. Mereka berdua paham mengapa Yanti takut kalau mereka akan mengejek kondisinya. Mereka juga maklum bahwa Yanti mungkin merasa tertekan apabila temannya tak menerima dirinya sebagai teman karena dirinya tak berada. Namun melihat kondisi Yanti, bukan membuat kedua sahabatnya mengejeknya akan tetapi seperti membuat kedua sahabatnya lebih bersyukur atas apa yang mereka miliki selama ini. Mereka memandang persahabatan bukan dari status sosial akan tetapi memandang persahabatan dari ketulusan hati. Bukan bersahabat karena ada maunya saja.
                       Bulan berganti bulan,tahun pun telah tergantikan oleh tahun-tahun selanjutnya. Seperti kala dirinya masih SMP, tak terasa tiga tahun cepat sekali berlalu. Yanti kini telah lulus dari SPG. Ia kini berpisah dengan Yuni dan Ratri. Namun perpisahan tak memutuskan persahabatan yang tlah mereka jalin dengan indah. Mereka masih sering bertemu dan bermain ke rumah Yanti. Setelah lulus sebenarnya Yanti ingin melanjutkan sekolah ke bangku kuliah seperti Ratri agar masa depannya menjadi cerah. Namun apa daya, simboknya tak mungkin untuk membiayai Yanti masuk ke Universitas. Uang untuk kuliah tak cukup hanya dengan menggadai sepetak kecil sawahnya seperti saat Yanti duduk di SD, SMP, maupun SPG dulu dan kemudian menebus sawahnya itu ketika uang hasil jualannya terkumpul agak banyak. Dengan berat hati Yanti pun mengubur harapannya untuk kuliah. Sudah bisa sekolah sampai setingkat SMA saja sudah bersyukur. Ada saudara jauhnya yang kondisinya satu tingkat lebih tinggi diatasnya saja lebih memilih untuk tak bersekolah sejak kelas 5 sd. Dirinya beralaskan bahwa ayahnya tak bisa lagi menyekolahkan. Padahal untuk masalah ekonomi, saudaranya itu lebih baik daripada dirinya. Simbok Yanti memang sangat sadar akan pendidikan kedua anaknya. Maka Yanti sangat bersyukur dikaruniai seorang simbok yang sangat mensuportnya bagaimanapun kondisinya.
                       Pada suatu pagi ditengah derasnya guyuran hujan yang dari semalam tak kunjung reda, Yanti mendengar bahwa siang itu akan dibuka pendaftaran calon guru. Dengan penuh semangat dan diantar oleh kakak tercintanya Yanti pun menembus lebatnya hujan pagi itu menuju tempat pendaftaran tersebut. Dengan ijazah yang ia wadahkan di kantung plastik dan ia masukkan dalam jaket tipis yang ia kenakan, Yanti pun membonceng sepeda tua milik kakaknya itu. Murni, kakak Yanti memang begitu sayang terhadap adiknya. Kemanapun Yanti pergi dengan penuh kasih sayang ia mengantarkannya. Seperti waktu itu, meskipun hujan Murni tetap mengantar adiknya ketempat pendaftaran tersebut. Setelah agak siang dan hujan pun berhenti mengguyur, sampailah Yanti dan kakaknya di tempat tujuannya. Yanti pun menunggu di tempat pendaftaran dengan hati berdebar. Namun setelah agak lama Yanti mengantre, barulah ia mengetahui bahwa pendaftaran itu hanya ditujukan untuk para jebolan universitas saja. Sontak pupuslah harap Yanti dan lemaslah sekujur tubuh Yanti. Secara otomatis dirinya tak akan diterima dalam pendaftaran itu. Maka dengan perasaan pilu Yanti dan kakaknya pulang kerumah mereka. Sesampainya di rumah Yanti terus-memerus dinasehati oleh kakaknya. “Janganlah kau sesali apa yang tlah terjadi, jangan pula kau terpuruk atas apa yang kau alami hari ini. Jangan kau berfikir bahwa kesempatanmu telah tertutup.Yakinlah bahwa duri hari ini kan jadi bunga esok Yanti. Songsonglah kesempatan dihari-hari selanjutnya.J angan kau putus asa dan berjuanglah tuk menggapai impianmu. Yakinlah kesempatan itu masih terus dan selalu ada.” kata Murni menasehati adiknya agar tak terpuruk lagi. Mendengarkata-kata sang kakak, Yanti bangkit dari tangisnya, ia buang jauh semua sesalnya karena tak bisa kuliah sehingga membuatnya gagal mengikuti pendaftaran tadi.Yanti pun memantabkan langkahnya untuk berjuang lagi di pendaftaran-pendaftaran berikutnya. Ia tak kan menyerah hanya satu kali dijatuhkan oleh kerikil yang menyandungnya. Dirinya anggap kegagalan ini sebagai motivasi untuk hari-hari selanjutnya.
                       Dua bulan setelah kejadian itu pun berlalu. Kini wajah Yanti sudah agak cerah seperti cerahnya senyum mentari pagi. Sembari menunggu hadirnya pendaftaran menjadi seorang guru, Yanti pun bekerja disalah satu pabrik di pinggiran kota. Memang dipabrik itu suasana tak seperti saat ia menganyam “kreneng” didesanya dulu. Hiruk pikuk kendaraan bermotor mulai ada di sepanjang jalan depan pabrik, tak seperti jalan besar di daerah sekitar desanya yang hanya dipenuhi oleh sepeda ontel. Sebagai karyawan pabrik Yanti harus bersusah payah untuk mendapatkan honor yang tak seberapa itu. Bahkan Yanti pun dirumah juga membuat tas dari benang yang entah apa namanya. Yang pasti benang itu besar dan bagus untuk dibuat tas. Pekerjaan sampingannya itu dibantu oleh kakaknya dan hasil dari penjualan tas-tasnya itu bisa dibilang lumayan untuk membantu simboknya. Bahkan untuk ke pabrik Yanti pun membawa tas buatannya sendiri. Dirinya harus mencari uang walaupun tak seberapa besarnya demi membantu simboknya. Apalagi kini Mbok Sudi sudah tak lagi bekerja di emperan Pasar Beringharjo untuk jualan kelapa tiap malamnya. Sejak 5 bulan yang lalu trotoar pasar sudah tak boleh untuk jualan. Para aparat telah mengusir para penjual di trotoar pasar itu. Entah apa alasanya, padahal kegiatan jual beli di emperan tersebut dilakukan sejak pukul 2 dinihari sampai subuh sehingga tak akan mengganggu perjalanan orang yang melintas disana. Hal inilah yang memaksa Mbok Sudi hanya bekerja dirumah menganyam “kreneng” atau “kepang” saja yang pnghasilannya seminggu tak sampai 7 ribu. Untung saja kedua anak gadisnya kini telah bekerja walau hanya sebagai buruh pabrik dan punya usaha sampingan yang hasilnya tak seberapa. Namun cukuplah untuk memenuhi hidup mereka bertiga.
                       Siulan burung perkutut milik Mbah Projo, tetangga samping barat rumah Yanti pun telah bernyanyi dengan merdu. Kokok ayam jago milik Mbah Joyo yang semalam juga tak pulang pun tlah terdengar. Memang jago bernama Jono ini jarang pulang seperti Bang Toyib dalam lagu dangdut itu. Si Jono tak pulang semalam karena menunggu sang betina yang bertelur di atas kandang sapi milik Yu Tinem belakang rumah Mbah Joyo. Berpanggulkan cangkul para pekerja di tebon tebu samping jurang barat rumah Mbah Projo pun mulai beriringan menembus lebatnya kebun pekarangan milik Mbah Projo yang dikenal angker oleh anak-anak kampung itu. Pagi inilah pagi yang ditunggu-tunggu oleh Yanti. Dengan langkah pasti dan semangat yang membara serta tentunya ditemani oleh kakaknya, Yanti mengikuti pendaftaran calon guru yang kali ini berdasarkan ijazah SPG bukan untuk jebolan universitas saja seperti kala itu. Tak seperti pendaftaran sebulumnya, Yanti juga berangkat bersama Ratri dan Yuni yang juga ingin mencoba peruntungannya. Meskipun sebenarnya saat itu Ratri masih terdaftar sebagai mahasiswa disalahsatu perguruan tinggi swasta. Nasib Ratri memang lebih beruntung dibanding kedua sahabatnya. Dengan dilandasi restu simboknya, Yanti pun mengerjakan ujian tertulis yang merupakan syarat diterima atau tidaknya seseorang yang mendaftarkan itu menjadi guru. Karena optimisme yang ada di benaknya serta juga memang karena kecerdasannya Yanti pun dapat melewati ujian tertulis dengan lancar. Dan ternyata ujian itu tak sesukar apa yang ia kira selama ini. Setelah beberapa minggu kemudian di umumkan siapa saja yang diterima menjadi guru dalam ujian kala itu. Dan betapa bahagianya Yanti ketika namanya termasuk dalam orang-orang yang lolos dari ujian itu. Saat melihat pengumuman tersebut Yanti pun juga berangkat bersama Yuni dan Ratri sahabatnya kala SPG dulu. Dan tak disangka Yanti bahwa dari ketiganya hanya dirinya seorang lah yang lolos dalam ujian tersebut. Namun perjuangan Yanti tak sebatas hanya sampai dirinya dinyatakan lolos ujian tertulis dan diterima menjadi guru. Dirinya harus menunggu Surat Keputusan dirinya menjadi guru turun. Itulah salah satu syarat dirinya bisa mulai untuk mengajar. Belum ada kepastian kapan SK miliknya itu akan turun dan berada ditangannya. Namun hal itu tak menyurutkan semangat Yanti. Sembari menunggu SK itu Yanti pun melanjutkan pekerjaannya di pabrik tekstil tempatnya bekerja dulu sebelum mendaftarkan menjadi guru.
                       Kini Yanti tambah bersemangat menjalani harinya untuk bekerja.Sampai terjadi suatu insiden yang menimpanya saat Yanti bekerja.Ketika sedang asyik-asyiknya menggulung benang dengan mesin, tanpa disadari oleh Yanti tiba-tiba tanggan Yanti telah masuk kedalam mesin penggulung tersebut entah apa penyebabnya. Sontak Yanti menangis dan berteriak meminta tolong pada teman-temannya sesama buruh pabrik itu.Semua panik melihat tangan kiri sebelah pinggir Yanti telah masuk kedalam mesin itu.Yanti pun merasa kesakitan atas apa yang dialaminya.Untunglah tak berselang lama salah seorang teman Yanti dapat mengeluarkan tangan Yanti yang kala itu telah berlumuran darah. Beruntungnya ketika tangan Yanti masuk ke mesin itu seketika itu juga mesin penggulung benang itu pun berhenti,sehingga tak membuat tangan Yanti tertarik lebih dalam.Namun meski begitu tangan kiri bagian tepi Yanti sobek cukup panjang dan darah pun terus mengucur dari tangan Yanti.Tak menunggu waktu lama Yanti pun segera dibawa ke Rumah Sakit dan mendapatkan perawatan yang intensif.Tak sampai satu hari Yanti di Rumah Sakit itu,ia pun diperbolehkan pulang dengan tangan kiri yang dijahit.Karena luka sobek tangan Yanti yang agak dalam mengharuskan dokter untuk menjahitnya.Saat pulang kerumahnya Yanti diantarkan oleh karyawan pabrik yang lain.Ketika sampai dirumah Mbok Sudi histeris melihat tangan anaknya yang terluka itu.Setelah di jelaskan oleh Yanti,simboknya pun mengerti dan ia berpesan pada Yanti agar berhati-hati dalam bekerja.Ia tak mau anaknya terluka sampai parah seperti itu.Biaya Rumah Sakit Yanti pun telah ditanggung sepenuhnya oleh pabrik tekstil tempat Yanti bekerja. Mereka bahkan mengijinkan Yanti untuk bercuti selama beberapa hari selagi tanggannya masih sakit dan belum pulih.Yanti bersyukur pabrik tempatnya bekerja dapat mentolerir keadaannya saat ini.Dan jadilah selama 3 hari Yanti tak masuk kerja karena tanggannya masih sangat sakit untuk digerakkan.Namun sesegera mungkin Yanti kembali untuk bekerja lagi.Yanti tak ingin menghabiskan waktunya dirumah hanya karena luka ditangannya.
                       Sinar sang surya kian meredup.Suara adzan Asar mulai berkumandang di penjuru kota,tak ketinggalan surau depan pabrik tempat Yanti bekerja pun juga turut mengumandangkan gema adzan.Gemuruh suara sepeda motor pun kini mulai terdengar tak seriuh siang tadi,bahkan asap kenalpot mobil pun tak lagi tercium karena memang mobil masih sangat jarang digunakan sebagai transportasi pribadi seperti sekarang ini.Senja itu seluruh karyawan pabrik tidak diperkenankan pulang terlebih dahulu karena ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan pemilik pabrik.Ternyata sebuah pernyataan yang sangat mengejutkan diberikan kepada karyawan pabrik, bahwasannya pemilik pabrik itu kini dalam keadaan bangkrut dan terpaksa harus menutup pabrik itu.Sungguh seperti petir yang menyambar tatkala mendengar pernyataan itu,apalagi untuk Yanti.Dirinya bingung harus kemana ia akan bekerja kini setelah pabrik ini di tutup.Sementara itu Surat Keputusan dirinya menjadi guru yang ia nanti-nantikan belum juga berada ditangannya.Lantas bagaimana ia akan membantu simboknya bekerja untuk menghasilkan uang? Sedangkan pada saat yang sama kakak yanti sudah tak bekerja lagi dan hanya dirumah menganyam banmu dan membantu tetangga membuat kerajinan rumahan dari kulit telur bebek yang tentunya penghasilannya tak seberapa.Dan kini dirinya pun harus berhenti bekerja karena pabriknya ditutup.Akhirnya dengan gontai ia pulang kerumah.Kemudian diceritakannya apa yang kini menimpa dirinya kepada simboknya.Simbok Sudi pun hanya bisa menasehati Yanti untuk bertawakal atas apa yang kini menimpa dirinya.Tak henti-hentinya Simbok Sudi menguatkan hati Yanti bahwapasti akan ada jalan lagi untuk bertahan hidup.Ia yakin bahwa Tuhan tak pernah menguji umatnya diluar batas kemampuannya.Dan Yanti pun sedikit-demi sedikit berusaha ikhlas atas apa yang kini terjadi dengan dirinya.Yanti membenarkan keyakinan simboknya bahwa “bersamaan dengan kesulitan pasti ada kemudahan”.Itulah salah satu arti dari surat dalam Al-Qur’an yang selalu ia baca setiap malam.Meskipun keluarga Yanti tak mampu namun keluarganya sangat taat dengan tuntunan agama.Jadi meskipun ia miskin tak pernah dirinya melakukan pekerjaan yang tidak halal.Maka dengan hati yang lapang Yanti pun mulai lagi untuk mencari pekerjaan sebelum SK nya turun dan dia bisa menjadi guru.Tak lupa untuk menambah penghasilan Yanti masih tetap membuat tas yang hasilnya lumayan rapi untuk dijual.Dan hasilnya pun bisa dikiatakan lumayan daripada hanya menganyam bambu saja.
                       Angin malam mengibas-ibaskan dahan pohon kelapa didekat sungai.Hujan dengan derasnya turun mengguyur desa tempat Yanti tinggal.Tak ada bulan malam itu,bahkan kerlipan satu bintang pun tak nampak dilangit malam.Seperti badai, angin menari-nari kasar bersamaan derasnya hujan dan diiringi oleh sambaran petir yang mengintai pucuk pohon kelapa paling tinggi untuk ia sambar.Sungguh mencekam keadaan malam itu.Dimalam itu pula telah hampir setengah tahun semenjak Yanti dinyatakan lolos menjadi guru namun SK nya tak kunjung turun.Hal ini membuat omongan-omongan yang tak sedap merebak di tetangga Yanti.Entah darimana dan dari siapa suara-suara sumbang itu datang dan menyebar seperti tertiup angin,menyebar ke rumah-rumah warga sekitar tempat tinggal Yanti.Mereka mengabarkan bahwa SK Yanti tak kunjung datang karena Yanti hanyalah orang miskin sehingga SK miliknya tersebut sudah dibeli oleh orang kaya tanpa sepengetahuan Yanti.Kabar itu berkembang semakin santer dan sampai terdengar ketelinga Yanti dan keluarganya.Sontak hal itu menjadikan Yanti menjadi terpuruk dan membuat Mbok Sudi khawatir serta cemas.Seperti sakit nya pohon kelapa yang tumbang akibat tersambar ganasnya petir malam itu,hati Yanti benar-benar koyak.Sepertinya usahanya selama ini dianggap hanya angan-angan semu oleh sebagian tetangganya.Seperti hanya berkhayal jika seorang anak janda tukang penjual kelapa miskin bisa sukses diterima menjadi guru.Namun dengan tabah yanti selalu berdoa agar hal itu hanya kabar burung yang tak benar adanya.Yanti sangat takut akan kabar itu,tiap malam nya selalu dihabiskan dengan berdoa kepada Tuhan.
                       Ditengah keterpurukan Yanti,pada suatu pagi di sambut oleh siulan burung perkutut Mbah Projo,Yanti mendapat surat panggilan untuk mengambil Surat Keputusan bahwa ia telah resmi menjadi guru ketempat pendaftarannya dahulu.Sontak dengan air mata bahagia Yanti pun bersujud penuh rasa syukur atas jawaban Tuhan dalam doanya tiap malam.Bahagia yang tak terkira membuat Yanti sesegera mungin mengajak kakaknya meminjam sepeda motor milik putri dari kakak simboknya untuk dibawa  mengambil SK nya itu.Dengan girang setelah sampai ditempat pengambilan SK tersebut Yanti pun langsung memasuki ruangan untuk mendapatkan apa yang ia dambakan selama ini.Setelah mendapatkan Surat Keputusan itu alangkah terkejutnya dirinya bahwa ternyata ia harus ditempatkan bekerja didaerah Wonosari,Gunung Kidul.Daerah yang tak pernah terjamah olehnya sebelumnya.Tapi dengan tekat yang membara ia akan jalani apa yang telah menjadi takdirnya.Dan ia pun kini telah resmi menjadi guru walau harus meninggalkan kampungnya.Namun dengan itu ia telah menepiskan anggapan bahwa SK nya telah dibeli oleh orang lain karena ia hanya seorang anak miskin.Dan Yanti pun telah membuktikan kepada orang yang telah menyangsikan perjuangannya dapat mewujudkan impiannya menjadi guru.Dengan perjuangan serta kerja keras Yanti kini ia pun telah sukses dalam berkarier.Tak ada halangan untuk orang menggapai mimpinya walaupun sesulit apapun keadaannya jika tetap berjuang dan berdoa.Keberhasilan Yanti telah merobohkan dinding penilaian bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya dikarenakan kekayaan yang telah dimiliki oleh orang tua,namun kesuksesan akan terjadi jika kita terus berusaha dan tak kenal kata menyerah.Seperti pepatah “Dimana ada kemauan pasti ada jalan”.


                                                                                    Nama   : Ranny Nursiam Jati
                                                                                    Kelas   : IX F/18        


Tidak ada komentar:

Posting Komentar