Makna Sebuah
Perjuangan
Bagi seorang anak penjual
kelapa di Pasar Beringharjo kala itu seperti tak mungkin jika dapat mewujudkan
impiannya menjadi seorang pengajar. Namun kenyataan itulah yang kini dialami
oleh Yanti. Anak seorang janda miskin yang hanya berjualan kelapa di emperan
Pasar Beringharjo saat dinihari sampai pagi buta. Ayahnya telah meninggal sejak
Yanti masih berusia 7 bulan didalam kandungan ibunya yang biasa ia panggil
dengan sebutan simbok itu. Jadilah Yanti tak pernah melihat wajah ayahnya
kecuali dari foto usang pemberian simboknya. Dan kini simboknya pun berjuang
keras demi menghidupi Yanti dan kakaknya, Murni. Dengan tekad dan semangat
Yanti pun dapat mewujudkan mimpinya menjadi seorang pengajar. Ya memang
mengabdikan diri sebagai pengajar adalah profesi yang amat mulia. Namun
keberhasilan yanti tak semata-mata karena usahanya tetapi juga karena prinsip
ibunya yang bertekad bahwa seburuk apapun kondisi perekonomiannya anak-anaknya
harus mendapatkan pendidikan sampai SMA sederajat paling minimal. Selain itu
juga kakaknya yang selalu mengantar kemanapun Yanti pergi untuk menggapai
citanya. Dan terwujudlah kini semua tekad itu, dan kesuksesan itu tak luput
dari perjalanan kisah hidup Yanti yang sangat berliku-liku dari ia kecil sampai
sekarang ini.
***.....***
Siulan burung prenjak
mulai terdengar meriah. Daun-daun bangun dari tidur lelapnya dan meneteskan
dinginnya embun yang sejak semalam bernaung dipunggungnya. Semut-semut pun
bersiap untuk patroli mencari butiran-butiran gula yang tercecer guna sarapan
hari ini. Tak jauh dari itu suara gesekan sandal-sandal pencari jambu ataupun
melinjo sudah aktif menyisir kebun yang berisikan pepohonan rimbun. Obor yang
mereka bawa pun kini telah berganti kondisi menjadi padam karena mentari telah menyiratkan
guratan emas diufuk. Gemercik suara aliran sungai mbedog sudah mulai terdengar
jelas dari gubug reyot yang terbuat dari anyaman bambu itu. Hembusan semilir
angin pagi melewati celah-celah anyaman bambu yang menjadi dinding rumah menusuk tulang Yanti yang seperti terbungkus
kulit. Sama seperti anak-anak kecil desa dahulu, barat badan memang jauh dari
kata ideal. Hal itu mungkin karena minimnya makanan karena perekonomian yang
sulit. Adzan subuh telah terdengar nyaring di desa pinggiran sungai tempat
Yanti tinggal. Seperti halnya anak lainnya, ditemani Murni sang kakak,Yanti
pergi kesungai yang kondang dengan sebutan “mbelik” itu untuk mandi dan bersiap
kesekolah. Mereka menuju ke “mbelik” dan disambut oleh cipratan air sungai yang
naik karena terbebani anak-anak yang sedang mandi. Pada dasarnya Yanti seperti
anak lainnya yang menghabiskan paginya mandi disungai, namun bedanya sepagi itu
dirumah Yanti sudah tidak ada siapa-siapa lagi kecuali ia dan kakaknya. Ibunya
yang akrab ia sebut dengan “simbok” telah dari tengah malam tadi berangkat ke
Pasar Beringharjo untuk berjualan kelapa bersama tetangga kampung sebelah. Hal
inilah yang menjadikan Yanti dan kakaknya anak mandiri. Tiap pagi tak ada bakul
berisikan singkong rebus atau bahkan nasi hangat yang tersedia untuk mengganjal
perut setiap akan sekolah. Namun dengan penuh rasa syukur mereka tetap
menjalani rutinitas itu tanpa mengeluh manja seperti anak kota jaman sekarang
jika tak tersedia makanan mewah di meja makannya.
Kehidupan Yanti berjalan
seperti anak-anak lainnya walaupun status sosialnya jauh dibawah anak-anak lain
didesanya. Hari-harinya diisi dengan bermain dan belajar. Meski terlahir
sebagai anak orang tak punya namun Yanti selalu memperoleh prestasi tinggi, bahkan
sering lebih tinggi dibanding anak yang kehidupannya terjamin. Hal ini terbukti
Yanti selalu mendapat peringkat disekolahnya dari SD sampai sekarang ia duduk
di bangku SMP dan hampir lulus. Meskipun demikian ada secuil sifat Yanti yang
kurang baik. Ia merasa rendah diri karena keadaan ekonominya. Yanti pun agak
sedikit tertutup dengan kawan-kawannya. Yanti berfikir bahwa keadaannya berbeda
jauh dengan teman-temannya. Padahal apa yang ada didalam fikiran Yanti tak
benar. Teman-temannya tak pernah menilai Yanti dari status sosialnya dan
berusaha mengajak Yanti keluar dari keminderannya. Dan akhirnya di SMP inilah
Yanti agak mulai meninggalkan kebiasaan buruknya itu.
Bulan berselimutkan awan
tipis telah terpampang dilangit, walaupun senja belum sepenuhnya meninggaklan
bumi. Obor-obor penerangan telah dinyalakan dan dipasang didepan rumah-rumah
penduduk. Suara anak-anak kecil yang menuju ke surau untuk mempelajari ilmu
agama mulai terdengar riuh disertai bayangan-bayangan yang menyembul dari
kebun-kebun karena obor yang mereka bawa. Burung-burung pun telah lama kembali
kesarangnya diatas pohon randu besar di tengah kebun yang sering ditakuti oleh
anak-anak kecil itu. Yanti duduk termenung didepan gubug reyotnya sembari
memperhatikan Mbah Joyo yang kebingungan mencari ayam jago nya yang tak kunjung
pulang. Tak terasa sudah tiga tahun ia tempuh bangku SMP dengan penuh
suka-dukanya. Kini ijazah tanda tamat belajar Yanti tlah ada dalam genggamnya. Dalam
benak Yanti ia memikirkan hasil ujian kelulusannya di SMP. Ia bingung akan
membawa hasil ujiannya berlabuh kemana. Ia bingung akan ke SMA ataukah ke SPG
(sekolah setingkat SMA yang langsung menjurus untuk menjadi guru). Yang jelas
setelah lulus nanti dirinya bisa langsung bekerja membantu simboknya mencari
uang. Bekerja tak hanya menganyam bambu menjadi sebuah wadah seperti keranjang
yang biasa disebut “kreneng” itu yang kini ia jadikan kerja sampingan sepulang
sekolah. Berputar-putar fikiran Yanti menimbang-nimbang agar pilihannya tepat
dan tak akan ada sesal dikemudian hari.
Setelah suara jangkrik
terdengar nyaring dan kodok-kodok bersahutan riang gembira dalam melantunkan
suara khasnya seakan untuk mencoba memikat sang betina di sawah yang tak jauh
dari sungai mbedog itu, Yanti pun akhirnya membuat keputusan matangnya. Ia pun
memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di SPG saja.Yanti ingin setelah dirinya
lulus nanti jadi pengajar yang merupakan cita-citanya. Ia beranggapan bahwa
jika dirinya memaksakan diri ke SMA belum tentu ia akan langsung bekerja. Opininya
itu tak sekedar terlontar dari mulutnya tanpa alasan, Yanti bercermin pada
realita kakaknya yang setelah lulus dari SMA satu tahun lalu tak kunjung
mendapatkan pekerjaan tetap. Maka setelah terdengar kokokan jago Mbah Joyo yang
nyaring itu, Yanti pun mengajak kakaknya dengan menggunakan sepeda ontel tuanya
yang kalau dikayuh akan berbunyi kreekk,,,kreeekkk,,kreeekkk itu ke SPG didekat
kabupaten. Ia pun mendaftarkan dirinya bersekolah disekolah tersebut dan
memantabkan hatinya agar sungguh-sungguh sekolah karena ia tak ingin sawah yang
digadaikan simboknya itu akan sia-sia. Memang sudah jadi kebiasaan simbok Sudi
jika anak-anaknya masuk kejenjang sekolah baru yang lebih tinggi ia akan
menggadaikan sepetak sempit sawahnya untuk biaya masuk sekolah anaknya. Maklum
saja Mbok Sudi tak punya apa-apa untuk digadaikan selain sawah miliknya. Untuk
makan sehari-hari saja ia hanya memetik sayur yang ditanamnya dibelakang
gubugnya. Uang saku untuk anaknya pun tak pernah ia memberi kecuali hari
tertentu, karena kondisi yang sangat tak punya. Ia memberi uang saku untuk
anaknya hanya satu minggu sekali, itupun karena ada pelajaran olah raga, dan
jumlah uang sakunya pun tak banyak hanya setengah rupiah saja yang tak cukup
untuk membeli sepincuk bakmi di depan SMP Yanti dulu yang sangat kondang
enaknya. Sering kali Yanti menelan ludah membayangkan dirinya makan sepincuk
bakmi yang suoer lezat itu. “Heemm pasti lezat dan perut yang tak terisi dari
pagi ini akan kenyang” fikirnya tiap kali melihat teman-temannya menyendok
bakmi itu dengan daun. Namun dengan segera Yanti pun menepis bayangan itu. Ia
tak mau tujuan sekolahnya hanya untuk jajan sepincuk bakmi. Ia selalu ingat
perjuangan simboknya agar ia bisa melanjutkan sekolah. Ya, meskipun hingga
lulus sekolah tak pernah sekalipun lidahnya merasakan sekedar hanya untuk
membuktikan betapa lezatnya sepincuk bakmi itu.
Rinai hujan perlahan
menipis. Semilir angin dingin pedesaan membawa air dari sungai kerumah-rumah
penduduk. Burung-burung pun urung untuk menyanyikan lagu merdunya. Mungkin
karena udara yang dingin membuat burung-burung itu menjadi enggan melakukan
aktifitasnya. Perlahan namun pasti, senyuman sang fajar pun mulai merekah
diufuk timur. Terlihat sapaan hangat dari rautnya. Menepiskan perlahan udara
yang menembus tulang. Dari balik gerumbulan semak yang membetengi sungai yang
digunakan untuk mandi penduduk, dengan obor yang tlah padam Yanti dan Murni
kakaknya berjalan perlahan menuju gubug mereka melewati dinding sungai yang
agak curam. Yanti ingin mempersiapkan diri serapi mungkin untuk masuk sekolah
barunya. Memang hari ini adalah hari pertama Yanti masuk ke sekolah barunya
itu, maka dengan baju SMP nya yang agak sedikit lusuh yang ia setrika selicin
mungkin dengan setrikaan model bahan bakar dari bara api sebagai sumber
panasnya itu, ia kenakan seragam miliknya dengan bangganya. Bangga karena
sebentar lagi akan ia tinggalkan baju SMP itu dan akan berganti dengan baju
seragamnya yang baru. Hal itu membuktikan bahwa ia kini telah berhasil
melanjutkan langkahnya ke jenjang sekolah baru yang lebih tinggi. Bagi anak
miskin seperti Yanti, bisa melanjutkan sekolah sampai setingkat SMA itu sudah
meupakan karunia yang tak terkira untuk dirinya. Walaupun untuk menggapainya ia
harus bekerja ekstra keras. Ia harus bekerja sampingan membantu neneknya
menganyam. Jadi dirinya harus bisa membagi waktu sepintar mungkin untuk bekerja
dan belajar. Namun hal itu dianggapnya masih sangat ringan dan belum seberapa
dibandingkan dengan kerja keras ibunya yang tiap malam harus mengayuh sepeda
ontelnya dari desanya sampai ke Pasar Beringharjo. Belum lagi setiba disana
Mbok Sudi harus langsung menggelar dagangannya cepat-cepat. Namun belum usai
letih yang mendera tubuh kurusnya, ia harus segera harus berlomba-lomba dengan
pedagan lain menuju ke tengkulak. Setelah itu Mbok Sudi harus mengangkut
berkarung-karung kelapa dari tengkulak ke tempat dagangannya. Setiap sekali
mengangkut,dipunggung Mbok Sudi terdapat beban yang beratnya berkisar antara 7
sampai 10 kilo kelapa. Namun berat kelapa-kelapa itu tak pernah ia rasakan. Dirinya
tetap harus berjuang demi anak-anaknya agar bisa sekolah tinggi. Minimal SMA
sederajat.
Disekolah itu Yanti mulai
mencoba merancang hidupnya kelak. Tekatnya
terfokus untuk menjdi seorang guru. Namun meskipun demikian Yanti juga tetap
mengukir persahabatan indah di sekolahnya kini. Sahabat-sahabat Yanti bernama
Yuni dan Ratri. Yuni dan Ratri adalah anak yang berasal dari golongan menengah
ke atas perekonomian keluarganya, namun hal itu tak membuat mereka mengucilkan
Yanti yang hanya anak penjual kelapa. Bahkan kalau mereka berdua tidak
mendekati Yanti agar mau menjadi sahabatnya, mungkin Yanti tak akan pernah
bergaul dengan mereka. Maklumlah keadaan mereka sangat jauh berbeda. Ratri dan
Yuni kagum dengan Yanti karena bagaimanapun kondisinya,ia tetap berjuang keras
untuk sekolah dan Yanti pun tergolong anak yang berprestasi di kelasnya. Padahal
Yanti harus membagi waktu antara belajar dan bekerja membantu simboknya agar ia
bisa tetap sekolah. Mereka bertiga sering mengerjakan tugas sekolah dan belajar
bersama. Namun selama mereka belajar bersama, tak pernah Yuni dan Ratri
berkunjung ke rumah Yanti. Sering kali mereka membujuk agar diijinkan
berkunjung ke rumah Yanti, namun selalu tak diijinkan oleh Yanti. Seperti siang
itu mereka berdua membujuk Yanti agar diijinkan belajar dirumahnya. Yuni bahkan
sampai memohon-mohon kepada Yanti agar diijinkan. Namun dengan terbata-bata
Yanti menjawab, “Sebenarnya bukannya aku tak mengijinkan kalian singgah
kerumahku. Akan tetapi apakah kalian tidak malu berkunjung kerumahku yang hanya
gubug reyot dan hanya berdindingkan anyaman bambu saja?” kata Yanti terisak
karena tak kuasa menahan air matanya. Ratri mengerti dengan keadaan Yanti maka
ia pun menjawab dengan perasaan bersalah karena tlah membuat sahabatnya
menangis. “Yanti maafkan kami telah membuatmu bersedih bahkan menangis. Tak
usah kau fikirkan keadaanmu, kita ini tak ada yang berbeda,meskipun kondisimu
begitu bukan berarti kau berbeda dengan kami kan? kami paham dengan apa yang
kau rasakan. Tak mungkin kami akan mengejek bahkan mencercamu saat mengetahui
keadaanmu.” kata ratri dengan berusaha menenangkan Yanti. Akhirnya setelah
dibujuk oleh kedua sahabatnya Yanti pun mengijinkan sahabatnya berkunjung dan
belajar bersama dirumahnya. Setiba dirumah Yanti, Ratri dan Yuni pun terperangah
melihat kondisi rumah Yanti yang masih berdindingkan anyaman bambu yang telah
usang itu. Mereka berdua paham mengapa Yanti takut kalau mereka akan mengejek
kondisinya. Mereka juga maklum bahwa Yanti mungkin merasa tertekan apabila
temannya tak menerima dirinya sebagai teman karena dirinya tak berada. Namun
melihat kondisi Yanti, bukan membuat kedua sahabatnya mengejeknya akan tetapi
seperti membuat kedua sahabatnya lebih bersyukur atas apa yang mereka miliki
selama ini. Mereka memandang persahabatan bukan dari status sosial akan tetapi
memandang persahabatan dari ketulusan hati. Bukan bersahabat karena ada maunya
saja.
Bulan berganti
bulan,tahun pun telah tergantikan oleh tahun-tahun selanjutnya. Seperti kala
dirinya masih SMP, tak terasa tiga tahun cepat sekali berlalu. Yanti kini telah
lulus dari SPG. Ia kini berpisah dengan Yuni dan Ratri. Namun perpisahan tak
memutuskan persahabatan yang tlah mereka jalin dengan indah. Mereka masih
sering bertemu dan bermain ke rumah Yanti. Setelah lulus sebenarnya Yanti ingin
melanjutkan sekolah ke bangku kuliah seperti Ratri agar masa depannya menjadi
cerah. Namun apa daya, simboknya tak mungkin untuk membiayai Yanti masuk ke
Universitas. Uang untuk kuliah tak cukup hanya dengan menggadai sepetak kecil
sawahnya seperti saat Yanti duduk di SD, SMP, maupun SPG dulu dan kemudian
menebus sawahnya itu ketika uang hasil jualannya terkumpul agak banyak. Dengan
berat hati Yanti pun mengubur harapannya untuk kuliah. Sudah bisa sekolah
sampai setingkat SMA saja sudah bersyukur. Ada saudara jauhnya yang kondisinya
satu tingkat lebih tinggi diatasnya saja lebih memilih untuk tak bersekolah
sejak kelas 5 sd. Dirinya beralaskan bahwa ayahnya tak bisa lagi menyekolahkan.
Padahal untuk masalah ekonomi, saudaranya itu lebih baik daripada dirinya. Simbok
Yanti memang sangat sadar akan pendidikan kedua anaknya. Maka Yanti sangat
bersyukur dikaruniai seorang simbok yang sangat mensuportnya bagaimanapun
kondisinya.
Pada suatu pagi ditengah
derasnya guyuran hujan yang dari semalam tak kunjung reda, Yanti mendengar
bahwa siang itu akan dibuka pendaftaran calon guru. Dengan penuh semangat dan
diantar oleh kakak tercintanya Yanti pun menembus lebatnya hujan pagi itu
menuju tempat pendaftaran tersebut. Dengan ijazah yang ia wadahkan di kantung
plastik dan ia masukkan dalam jaket tipis yang ia kenakan, Yanti pun membonceng
sepeda tua milik kakaknya itu. Murni, kakak Yanti memang begitu sayang terhadap
adiknya. Kemanapun Yanti pergi dengan penuh kasih sayang ia mengantarkannya. Seperti
waktu itu, meskipun hujan Murni tetap mengantar adiknya ketempat pendaftaran
tersebut. Setelah agak siang dan hujan pun berhenti mengguyur, sampailah Yanti
dan kakaknya di tempat tujuannya. Yanti pun menunggu di tempat pendaftaran
dengan hati berdebar. Namun setelah agak lama Yanti mengantre, barulah ia
mengetahui bahwa pendaftaran itu hanya ditujukan untuk para jebolan universitas
saja. Sontak pupuslah harap Yanti dan lemaslah sekujur tubuh Yanti. Secara
otomatis dirinya tak akan diterima dalam pendaftaran itu. Maka dengan perasaan
pilu Yanti dan kakaknya pulang kerumah mereka. Sesampainya di rumah Yanti
terus-memerus dinasehati oleh kakaknya. “Janganlah kau sesali apa yang tlah
terjadi, jangan pula kau terpuruk atas apa yang kau alami hari ini. Jangan kau
berfikir bahwa kesempatanmu telah tertutup.Yakinlah bahwa duri hari ini kan
jadi bunga esok Yanti. Songsonglah kesempatan dihari-hari selanjutnya.J angan
kau putus asa dan berjuanglah tuk menggapai impianmu. Yakinlah kesempatan itu
masih terus dan selalu ada.” kata Murni menasehati adiknya agar tak terpuruk
lagi. Mendengarkata-kata sang kakak, Yanti bangkit dari tangisnya, ia buang
jauh semua sesalnya karena tak bisa kuliah sehingga membuatnya gagal mengikuti
pendaftaran tadi.Yanti pun memantabkan langkahnya untuk berjuang lagi di
pendaftaran-pendaftaran berikutnya. Ia tak kan menyerah hanya satu kali
dijatuhkan oleh kerikil yang menyandungnya. Dirinya anggap kegagalan ini
sebagai motivasi untuk hari-hari selanjutnya.
Dua bulan setelah
kejadian itu pun berlalu. Kini wajah Yanti sudah agak cerah seperti cerahnya
senyum mentari pagi. Sembari menunggu hadirnya pendaftaran menjadi seorang
guru, Yanti pun bekerja disalah satu pabrik di pinggiran kota. Memang dipabrik
itu suasana tak seperti saat ia menganyam “kreneng” didesanya dulu. Hiruk pikuk
kendaraan bermotor mulai ada di sepanjang jalan depan pabrik, tak seperti jalan
besar di daerah sekitar desanya yang hanya dipenuhi oleh sepeda ontel. Sebagai
karyawan pabrik Yanti harus bersusah payah untuk mendapatkan honor yang tak
seberapa itu. Bahkan Yanti pun dirumah juga membuat tas dari benang yang entah
apa namanya. Yang pasti benang itu besar dan bagus untuk dibuat tas. Pekerjaan
sampingannya itu dibantu oleh kakaknya dan hasil dari penjualan tas-tasnya itu
bisa dibilang lumayan untuk membantu simboknya. Bahkan untuk ke pabrik Yanti
pun membawa tas buatannya sendiri. Dirinya harus mencari uang walaupun tak
seberapa besarnya demi membantu simboknya. Apalagi kini Mbok Sudi sudah tak
lagi bekerja di emperan Pasar Beringharjo untuk jualan kelapa tiap malamnya. Sejak
5 bulan yang lalu trotoar pasar sudah tak boleh untuk jualan. Para aparat telah
mengusir para penjual di trotoar pasar itu. Entah apa alasanya, padahal
kegiatan jual beli di emperan tersebut dilakukan sejak pukul 2 dinihari sampai
subuh sehingga tak akan mengganggu perjalanan orang yang melintas disana. Hal
inilah yang memaksa Mbok Sudi hanya bekerja dirumah menganyam “kreneng” atau
“kepang” saja yang pnghasilannya seminggu tak sampai 7 ribu. Untung saja kedua
anak gadisnya kini telah bekerja walau hanya sebagai buruh pabrik dan punya
usaha sampingan yang hasilnya tak seberapa. Namun cukuplah untuk memenuhi hidup
mereka bertiga.
Siulan burung perkutut
milik Mbah Projo, tetangga samping barat rumah Yanti pun telah bernyanyi dengan
merdu. Kokok ayam jago milik Mbah Joyo yang semalam juga tak pulang pun tlah
terdengar. Memang jago bernama Jono ini jarang pulang seperti Bang Toyib dalam
lagu dangdut itu. Si Jono tak pulang semalam karena menunggu sang betina yang
bertelur di atas kandang sapi milik Yu Tinem belakang rumah Mbah Joyo. Berpanggulkan
cangkul para pekerja di tebon tebu samping jurang barat rumah Mbah Projo pun
mulai beriringan menembus lebatnya kebun pekarangan milik Mbah Projo yang
dikenal angker oleh anak-anak kampung itu. Pagi inilah pagi yang
ditunggu-tunggu oleh Yanti. Dengan langkah pasti dan semangat yang membara
serta tentunya ditemani oleh kakaknya, Yanti mengikuti pendaftaran calon guru
yang kali ini berdasarkan ijazah SPG bukan untuk jebolan universitas saja
seperti kala itu. Tak seperti pendaftaran sebulumnya, Yanti juga berangkat
bersama Ratri dan Yuni yang juga ingin mencoba peruntungannya. Meskipun
sebenarnya saat itu Ratri masih terdaftar sebagai mahasiswa disalahsatu
perguruan tinggi swasta. Nasib Ratri memang lebih beruntung dibanding kedua
sahabatnya. Dengan dilandasi restu simboknya, Yanti pun mengerjakan ujian
tertulis yang merupakan syarat diterima atau tidaknya seseorang yang
mendaftarkan itu menjadi guru. Karena optimisme yang ada di benaknya serta juga
memang karena kecerdasannya Yanti pun dapat melewati ujian tertulis dengan
lancar. Dan ternyata ujian itu tak sesukar apa yang ia kira selama ini. Setelah
beberapa minggu kemudian di umumkan siapa saja yang diterima menjadi guru dalam
ujian kala itu. Dan betapa bahagianya Yanti ketika namanya termasuk dalam
orang-orang yang lolos dari ujian itu. Saat melihat pengumuman tersebut Yanti
pun juga berangkat bersama Yuni dan Ratri sahabatnya kala SPG dulu. Dan tak
disangka Yanti bahwa dari ketiganya hanya dirinya seorang lah yang lolos dalam
ujian tersebut. Namun perjuangan Yanti tak sebatas hanya sampai dirinya
dinyatakan lolos ujian tertulis dan diterima menjadi guru. Dirinya harus
menunggu Surat Keputusan dirinya menjadi guru turun. Itulah salah satu syarat
dirinya bisa mulai untuk mengajar. Belum ada kepastian kapan SK miliknya itu
akan turun dan berada ditangannya. Namun hal itu tak menyurutkan semangat
Yanti. Sembari menunggu SK itu Yanti pun melanjutkan pekerjaannya di pabrik
tekstil tempatnya bekerja dulu sebelum mendaftarkan menjadi guru.
Kini Yanti tambah
bersemangat menjalani harinya untuk bekerja.Sampai terjadi suatu insiden yang
menimpanya saat Yanti bekerja.Ketika sedang asyik-asyiknya menggulung benang
dengan mesin, tanpa disadari oleh Yanti tiba-tiba tanggan Yanti telah masuk
kedalam mesin penggulung tersebut entah apa penyebabnya. Sontak Yanti menangis
dan berteriak meminta tolong pada teman-temannya sesama buruh pabrik itu.Semua
panik melihat tangan kiri sebelah pinggir Yanti telah masuk kedalam mesin
itu.Yanti pun merasa kesakitan atas apa yang dialaminya.Untunglah tak berselang
lama salah seorang teman Yanti dapat mengeluarkan tangan Yanti yang kala itu
telah berlumuran darah. Beruntungnya ketika tangan Yanti masuk ke mesin itu
seketika itu juga mesin penggulung benang itu pun berhenti,sehingga tak membuat
tangan Yanti tertarik lebih dalam.Namun meski begitu tangan kiri bagian tepi
Yanti sobek cukup panjang dan darah pun terus mengucur dari tangan Yanti.Tak
menunggu waktu lama Yanti pun segera dibawa ke Rumah Sakit dan mendapatkan
perawatan yang intensif.Tak sampai satu hari Yanti di Rumah Sakit itu,ia pun
diperbolehkan pulang dengan tangan kiri yang dijahit.Karena luka sobek tangan
Yanti yang agak dalam mengharuskan dokter untuk menjahitnya.Saat pulang
kerumahnya Yanti diantarkan oleh karyawan pabrik yang lain.Ketika sampai
dirumah Mbok Sudi histeris melihat tangan anaknya yang terluka itu.Setelah di
jelaskan oleh Yanti,simboknya pun mengerti dan ia berpesan pada Yanti agar berhati-hati
dalam bekerja.Ia tak mau anaknya terluka sampai parah seperti itu.Biaya Rumah
Sakit Yanti pun telah ditanggung sepenuhnya oleh pabrik tekstil tempat Yanti
bekerja. Mereka bahkan mengijinkan Yanti untuk bercuti selama beberapa hari
selagi tanggannya masih sakit dan belum pulih.Yanti bersyukur pabrik tempatnya
bekerja dapat mentolerir keadaannya saat ini.Dan jadilah selama 3 hari Yanti
tak masuk kerja karena tanggannya masih sangat sakit untuk digerakkan.Namun
sesegera mungkin Yanti kembali untuk bekerja lagi.Yanti tak ingin menghabiskan
waktunya dirumah hanya karena luka ditangannya.
Sinar sang surya kian
meredup.Suara adzan Asar mulai berkumandang di penjuru kota,tak ketinggalan
surau depan pabrik tempat Yanti bekerja pun juga turut mengumandangkan gema
adzan.Gemuruh suara sepeda motor pun kini mulai terdengar tak seriuh siang
tadi,bahkan asap kenalpot mobil pun tak lagi tercium karena memang mobil masih
sangat jarang digunakan sebagai transportasi pribadi seperti sekarang ini.Senja
itu seluruh karyawan pabrik tidak diperkenankan pulang terlebih dahulu karena
ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan pemilik pabrik.Ternyata sebuah
pernyataan yang sangat mengejutkan diberikan kepada karyawan pabrik,
bahwasannya pemilik pabrik itu kini dalam keadaan bangkrut dan terpaksa harus
menutup pabrik itu.Sungguh seperti petir yang menyambar tatkala mendengar
pernyataan itu,apalagi untuk Yanti.Dirinya bingung harus kemana ia akan bekerja
kini setelah pabrik ini di tutup.Sementara itu Surat Keputusan dirinya menjadi
guru yang ia nanti-nantikan belum juga berada ditangannya.Lantas bagaimana ia
akan membantu simboknya bekerja untuk menghasilkan uang? Sedangkan pada saat
yang sama kakak yanti sudah tak bekerja lagi dan hanya dirumah menganyam banmu
dan membantu tetangga membuat kerajinan rumahan dari kulit telur bebek yang
tentunya penghasilannya tak seberapa.Dan kini dirinya pun harus berhenti
bekerja karena pabriknya ditutup.Akhirnya dengan gontai ia pulang
kerumah.Kemudian diceritakannya apa yang kini menimpa dirinya kepada
simboknya.Simbok Sudi pun hanya bisa menasehati Yanti untuk bertawakal atas apa
yang kini menimpa dirinya.Tak henti-hentinya Simbok Sudi menguatkan hati Yanti
bahwapasti akan ada jalan lagi untuk bertahan hidup.Ia yakin bahwa Tuhan tak
pernah menguji umatnya diluar batas kemampuannya.Dan Yanti pun sedikit-demi
sedikit berusaha ikhlas atas apa yang kini terjadi dengan dirinya.Yanti
membenarkan keyakinan simboknya bahwa “bersamaan dengan kesulitan pasti ada
kemudahan”.Itulah salah satu arti dari surat dalam Al-Qur’an yang selalu ia
baca setiap malam.Meskipun keluarga Yanti tak mampu namun keluarganya sangat
taat dengan tuntunan agama.Jadi meskipun ia miskin tak pernah dirinya melakukan
pekerjaan yang tidak halal.Maka dengan hati yang lapang Yanti pun mulai lagi
untuk mencari pekerjaan sebelum SK nya turun dan dia bisa menjadi guru.Tak lupa
untuk menambah penghasilan Yanti masih tetap membuat tas yang hasilnya lumayan
rapi untuk dijual.Dan hasilnya pun bisa dikiatakan lumayan daripada hanya
menganyam bambu saja.
Angin malam
mengibas-ibaskan dahan pohon kelapa didekat sungai.Hujan dengan derasnya turun
mengguyur desa tempat Yanti tinggal.Tak ada bulan malam itu,bahkan kerlipan
satu bintang pun tak nampak dilangit malam.Seperti badai, angin menari-nari
kasar bersamaan derasnya hujan dan diiringi oleh sambaran petir yang mengintai
pucuk pohon kelapa paling tinggi untuk ia sambar.Sungguh mencekam keadaan malam
itu.Dimalam itu pula telah hampir setengah tahun semenjak Yanti dinyatakan
lolos menjadi guru namun SK nya tak kunjung turun.Hal ini membuat
omongan-omongan yang tak sedap merebak di tetangga Yanti.Entah darimana dan
dari siapa suara-suara sumbang itu datang dan menyebar seperti tertiup
angin,menyebar ke rumah-rumah warga sekitar tempat tinggal Yanti.Mereka
mengabarkan bahwa SK Yanti tak kunjung datang karena Yanti hanyalah orang
miskin sehingga SK miliknya tersebut sudah dibeli oleh orang kaya tanpa
sepengetahuan Yanti.Kabar itu berkembang semakin santer dan sampai terdengar
ketelinga Yanti dan keluarganya.Sontak hal itu menjadikan Yanti menjadi
terpuruk dan membuat Mbok Sudi khawatir serta cemas.Seperti sakit nya pohon
kelapa yang tumbang akibat tersambar ganasnya petir malam itu,hati Yanti
benar-benar koyak.Sepertinya usahanya selama ini dianggap hanya angan-angan
semu oleh sebagian tetangganya.Seperti hanya berkhayal jika seorang anak janda
tukang penjual kelapa miskin bisa sukses diterima menjadi guru.Namun dengan
tabah yanti selalu berdoa agar hal itu hanya kabar burung yang tak benar
adanya.Yanti sangat takut akan kabar itu,tiap malam nya selalu dihabiskan
dengan berdoa kepada Tuhan.
Ditengah keterpurukan
Yanti,pada suatu pagi di sambut oleh siulan burung perkutut Mbah Projo,Yanti
mendapat surat panggilan untuk mengambil Surat Keputusan bahwa ia telah resmi
menjadi guru ketempat pendaftarannya dahulu.Sontak dengan air mata bahagia
Yanti pun bersujud penuh rasa syukur atas jawaban Tuhan dalam doanya tiap
malam.Bahagia yang tak terkira membuat Yanti sesegera mungin mengajak kakaknya
meminjam sepeda motor milik putri dari kakak simboknya untuk dibawa mengambil SK nya itu.Dengan girang setelah
sampai ditempat pengambilan SK tersebut Yanti pun langsung memasuki ruangan
untuk mendapatkan apa yang ia dambakan selama ini.Setelah mendapatkan Surat
Keputusan itu alangkah terkejutnya dirinya bahwa ternyata ia harus ditempatkan
bekerja didaerah Wonosari,Gunung Kidul.Daerah yang tak pernah terjamah olehnya
sebelumnya.Tapi dengan tekat yang membara ia akan jalani apa yang telah menjadi
takdirnya.Dan ia pun kini telah resmi menjadi guru walau harus meninggalkan
kampungnya.Namun dengan itu ia telah menepiskan anggapan bahwa SK nya telah
dibeli oleh orang lain karena ia hanya seorang anak miskin.Dan Yanti pun telah
membuktikan kepada orang yang telah menyangsikan perjuangannya dapat mewujudkan
impiannya menjadi guru.Dengan perjuangan serta kerja keras Yanti kini ia pun
telah sukses dalam berkarier.Tak ada halangan untuk orang menggapai mimpinya
walaupun sesulit apapun keadaannya jika tetap berjuang dan berdoa.Keberhasilan
Yanti telah merobohkan dinding penilaian bahwa keberhasilan seseorang tidak
hanya dikarenakan kekayaan yang telah dimiliki oleh orang tua,namun kesuksesan
akan terjadi jika kita terus berusaha dan tak kenal kata menyerah.Seperti
pepatah “Dimana ada kemauan pasti ada
jalan”.
Nama : Ranny Nursiam Jati
Kelas : IX F/18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar