R U M I T
“Teet..teet..teet” bel tanda masuk
berbunyi. Siswa-siswi SMP Nusa Bakti masuk ke kelas masing-masing. Tak beberapa
lama guru masuk dan 5 menit pelajaran sudah berlalu.
Dari kejauhan sudah terdengar suara
seseorang berlari. Kemudian seluruh siswa kelas 7B dikagetkan dengan suara
ketukan pintu.
“Assalamu’alaikum…. Maaf Bu saya
telat.” Ucap seorang anak perempuan dengan bercucuran keringat dan nafas
terengah-engah.
Itulah secuil kisah hidupku di
sekolah. Namaku Renita Cahya Ayuningtyas. Teman-temanku sering memanggilku
Renita. Sekarang aku sudah kelas 9. SMP Nusa Bakti adalah sekolahku saat ini.
Walaupun aku sudah kelas 9, aku masih tak menyangka bisa masuk dan bersekolah
di sini.
----------*-*----------
Masa-masa ceria dengan penuh dunia
bermain dan imajinasi perlahan-lahan aku tinggalkan. UNAS SD sudah ada di depan
mata. Setiap hari aku nikmati masa-masa akhir bersama teman-teman. Bermain,
bercanda, bercerita dan berusaha untuk selalu tersenyum bahagia bersama mereka.
Materi demi materi aku pelajari
dengan sungguh-sungguh. Seluruh pikiran dan perasaan aku gunakan untuk memahami
lembar-lembaran kertas berisi soal-soal Try Out.
Tiba saatnya hari yang aku
tunggu-tunggu. Aku berangkat sekolah meminta doa restu pada kedua orang tuaku.
sampai di sekolah aku berusaha menikmati setiap butir-butir soal itu.
Angan-anganku terbang tinggi, ingin rasanya mendapat nilai sempurna dan masuk
sekolah yang terbaik.
Pengumuman nilai UNAS pun tiba.
Perasaanku campur aduk. Cemas, takut, dan jantungku yang berdetak semakin
kencang ketika guruku mulai berbicara membuat pikiranku tidak stabil. Akan
tetapi semua itu terasa menghilang begitu cepat.
“Anak-anak, SD kita lulus 100%.”
Ucap seorang guru sembari membawa tumpukan surat-surat yang berisi nilai kami.
Ia berpesan agar membuka surat itu bersama orang tua di rumah. Satu
persatu teman-temanku dipanggil dan
diberi 1 pucuk surat.
“Renita Cahya Ayuningtyas” giliranku
pun tiba. Aku terbangun dari lamunan yang sedari tadi terbang di atas kepalaku
ini. Aku berjalan pelan sambil terus berharap dan berdoa semoga nilaiku tidak
terlalu buruk. Sampai di depan meja guru aku berdiri sambil menatap guruku.
“Renita, selamat ya. Kamu dapat
nilai tertinggi di kelas ini. Prestasi kamu sangat membanggakan sekolah ini.”
Suara seorang guru dengan suara agak serak dan menjabat lembut tanganku.
Suasana kelas yang semula penuh hiruk pikuk dalam sekejab menjadi tenang dan
hening. Dapat aku rasakan seluruh mata di kelas menatapku semua. Usapan dan
dekapan hangat dari guruku sangat terasa. Perasaanku yang sangat bahagia dan
bayangan kerja keras yang aku lakukan terbesit di kepala. Linangan air mata
yang menumpuk di sudut-sudut mata akhirnya tumpah dan butiran-butiran air mata
menetes membasahi wajahku ini.
“Alhamdulillah. Terima kasih Ya
Allah.”
Aku kayuh sepedaku secepat kilat.
Hembusan angin yang begitu kencang menerpa wajah dan mengibaskan rabutku yang
terurai panjang. Beberapa lubang-lubang di jalan takku hiraukan. Dari kejauhan
rumah yang berada di sudut jalan di temani sebuah sungai kecil yang tenang
membuat hatiku semakin berdebar kencang.
Sepeda yang aku kendarai langsung aku
taruh di depan rumah. Bangunan kecil dengan taman bunga. Daun-daun yang
bergesekan dan suara gemericik air sungai membuat rumahku ini seperti surga
bagi keluargaku. Aku masuk rumah dan mencari ibuku. Aku merasakan bau masakan
yang begitu sedap. Aku berpikir bahwa ibuku sedang memasak di dapur. Aku
langsung berlari tanpa menghiraukan 1 pasang sepatu yang masih menempel di
kedua kakiku ini.
Ketika aku melihat ibuku baru saja
selesai menggoreng beberapa makanan. Aku meminta ibuku untuk duduk sebentar di
ruang tamu dan aku langsung memberikan sepucuk surat itu.
“Surat apa ini
Ren?” Ibuku terlihat kebingungan ketika aku memberikan surat itu.
“Buka saja Bu,
nanti Ibu akan tahu.” Suaraku yang masih terengah-engah karena mengayuh sepeda
membuat aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar tentang surat itu.
Ketika surat itu
mulai terbuka. Kata demi kata mulai aku baca bersama ibuku. Sampai pada jumlah
nilaiku yaitu 27.25 dan tulisan bercetak tebal dengan jelas terpampang dengan
ukuran huruf yang berbeda membuat mata ini tidak sulit untuk membacanya. LULUS.
“Oh, Renita kamu
ternyata bisa mencapai target nilai yang kamu harapkan, terus berusahalah.”
Suara batin menemaniku dalam kebahagiaan yang semakin membuat dunia ini semakin
indah.
Sasaran pertama dan
utama adalah SMP Nusa Bangsa. Sebuah sekolah yang aku idam-idamkan sejak dulu.
Tembok-tembok yang menjulang tinggi. Berdiri diantara keramaian kota. Ingin
rasanya mempunyai sebuah kenangan di sana.
Akan tetapi
seperti badai di siang dengan matahari yang masih terang benderang. Dengan
terpaksa dan sedikit rasa penyesalan. Aku urungkan niatku untuk bersekolah di
sana. Tidak ada kenangan dan angan-angan pupuslah sudah.
“SIMSALABIM
ABRAKADABRAH” Inilah SMPku saat ini yaitu SMP Nusa Bakti.
Akan tetapi ini
bukan akhir dari segalanya seperti kata pepatah “Mati satu tumbuh seribu”.
Inilah moto hidupku. Menatap hari yang cerah dan berpikir ke depan.
“Mensyukuri itu
lebih baik dari pada penyesalan yang berkepanjangan.”
----------*-*---------
3 hari MOS
yang sangat melelahkan telah aku lewati.
Para kakak-kakak OSIS yang telah memberikan banyak tugas yang bisa membuat
orang yang melihat pun pingsan. Untunglah untuk hari-hari selanjutnya tidak
ada. Selanjutnya yaitu progam pembagian kelas dan lain-lain. Hal ini membuat
semua anak-anak baru harus bisa beradaptasi dan menyesuaikan dengan situasi
yang begitu berbeda dengan SD dulu.
Biasanya sepulang sekolah aku
mempunyai pekerjaan rutin yaitu membantu Ibu merawat adikku yang paling kecil
dan imut serta tidak lupa membantu untuk menjaga warung.
Waktu itu suasana mendung
menyelimuti dan tetes demi tetes air turun dari angkasa secara perlahan-lahan.
Dahan-dahan yang berdesah terkena angin semakin menambah dingin suasana waktu
itu.
“Beli pulsa ada?” Ucap seseorang
dari kejauhan.
Mataku dalam beberapa detik tak
berkedip. Mulut ini terasa terbungkam. Rasanya mendung waktu itu sudah berganti
dengan matahari yang bersinar sangat terang, karna dapat aku lihat matahari itu
tepat berada di kedua matanya.
Sampai dia mengucapkan kata itu dua
kali. Baru aku sadar bahwa mungkin dia sudah menunggu untuk beberapa saat
karena aku baru saja terbangun dari angan-angan.
“Oh.. iya, ada..ada..” aku menjawab
pertanyaanya dengan terbata-bata. Sedikit malu dan mungkin wajahku juga mulai
memerah membuat aku salting(salah tingkah). Nomor HPnya pun selesai aku tulis.
Setelah dia pergi meninggalkan halaman rumah. Aku langsung menyimpan nomornya
di HPku. Rasanya senang sekali bisa mempunyai nomor HPnya.
Waktu malam yang dingin bertaburan
bintang di atas langit dan berteman dengan sang rembulan yang sedang duduk
manis tersenyum kepadaku. Kurasakan kebahagiaan yang begitu indah. Aku
mengambil HP dan huruf-huruf mulai terangkai menjadi sebuah kata. Aku
memberanikan diri untuk mengirim sebuah pesan untuknya. Dengan jari-jari yang
bergemetar. Aku mulai mengirim pesan itu. Tak beberapa lama ia membalas pesanku
dan kita saling bercakap-cakap. Betapa terkejutnya aku ketika aku tahu ternyata
dia bersekolah di SMP Nusa Bangsa. Nama cowok itu adalah Eza. Dia sekarang
kelas 2. Berbeda 1 tahunlah dari aku.
Aku mulai mencari informasi tentang
dirinya. Mulai dari Facebooknya, ulang tahunnya, dan tidak lupa yang terpenting
dia itu sudah punya pacar atau belum. Informasi demi informasi mulai aku
dapatkan. Dia memang tak punya pacar akan tetapi ada dua cewek yang sepertinya
menyukainya. Dua orang itu bersahabat dan berteman baik. Mereka sepertinya
bersahabat dengan Eza. Salah satu cewek itu namanya Desy dan satunya lagi
namanya Nurmah. Dua cewek itu adalah adik kelasnya Eza.
Setiap kali aku bertemu Eza. Rasanya
aku ingin bercakap-cakap dengan dirinya. Setiap kali ingin menyapanya. Ada
sesuatu yang terbesit di kepala.
“Renita, biarkanlah dirinya dahulu
yang menyapamu. Jika dirinya memang punya keinginan untuk dekat dengan dirimu.
Pasti dia akan datang sendiri kepadamu.” Suara hati kecilku selalu berkata
seperti itu. Sehingga, aku hanya bisa terus menunggu.
Setiap kali matanya dan mataku
saling bertemu, kita berdua seperti sedang berbicara. Berbicara lewat sebuah
sorotan mata dan mengirimkan sinyal ke hati. Eza itu perhatian tapi dia bukan
tipe cowok yang banyak bicara. Sehingga dia hanya memberikan sebuah perhatian
melalui tindakannya. Dia sering sekali jalan di sampingku saat pergi ke masjid.
Akan tetapi tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dia sering menungguku
di tangga masjid tepat di depan sandalku. Akan tetapi dia hanya menatapku dan
tak bersuara walaupun hanya 1 kata sapaan.
“Oh… Eza berikanlah kepastian
untukku. Aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Bicaralah kepadaku.” Hati
kecilku mulai tak tahan dengan sikapnya yang begitu lembut kepadaku akan tetapi
tak ada kepastian.
Sesuatu hal pun mengejutkan hatiku
ini. Ternyata di sekolahnya kabar yang beredar ternyata Desy dan Nurmah menyukai
Eza. Akan tetapi kabar yang beredar juga Eza itu menyukai si Desy. Oh.. betapa
malang nasibku ini. Ternyata banyak yang menyukai dirinya.
“Eza aku menyukaimu karena kamu
begitu sederhana, manis, apa adanya, lucu, rajin ibadah, dan walaupun kamu orang
kaya kamu tidak begitu sombong kepada orang lain. Apa arti dari semua sikapmu
kepadaku selama ini? Apakah kamu tak memahami bahwa diriku ini sangat berharap
kepadamu.” Aku berbicara kepada diriku sendiri.
----------*-*---------
“Yeeeeee….” Sorak soarai
teman-temanku berkumandang ke mana-mana. Aku dan teman temanku senang karena
setelah selesai kelas 7 aku pun naik kelas 8. Progam di kelas 8 akhir semester
1 setiap tahunnya adalah Study Tour.
Hari-hari di kelas 8 aku lewati dengan suka
cita. Ternyata aku masih memendam perasaan kepada Eza sampai saat ini. Akan
tetapi aku sekarang tidak begitu memikirkannya berlarut-larut.
Pada suatu hari selesai pulang dari
olah raga. Teman-teman cowok di kelas ku seperti sedang mengejek aku dengan
seorang cowok yang selama ini tak begitu dekat dengan diriku. Namanya Soni.
Hari demi hari
banyak teman-temanku yang mengejek aku dengan dirinya. Soni juga sering
mengirim pesan kepadaku. Hampir setiap hari aku berkomunikasi dengan dirinya.
Hingga pada suatu hari. Dia menyatakan cinta padaku.
“Apa yang harus
aku katakana kepadanya? Dia itu memang sangat baik, perhatian, sayang, akan
tetapi aku tak mau menyakiti dirinya. Karena jika aku dan dirinya berpacaran. Aku
takut, perasaanku kepadanya tidak sepenuhnya. Karena jika aku boleh jujur. Aku
masih berharap kepada Eza. Walaupun sekarang mungkin Eza sudah tak memikirkan
diriku lagi.”
Walaupun aku dan
Soni tidak menjalin hubungan yang spesial. Aku dan dirinya tetap bisa berteman
baik. Aku menganggap dirinya sebatas sebagai sahabat. Diantara aku dan Soni
terdapat sebuah ikatan yang biasa disebut sayang.
Hari demi hari
aku jalani hari-hariku dengan kebahagiaan dan kesedihan. Dibalik semua itu aku
mempunyai seorang sahabat yang selalu siap aku tumpahi dengan berbagai macam
masalah yang begitu rumit. Dia selalu memberikan aku sebuah solusi. Walaupun
dia juga tidak jarang menertawakanku saat kuceritakan masalah-masalah hidupku
yang bertumpuk-tumpuk. Nama sahabatku yang satu ini adalah Syafa. Banyak orang
mungkin tertipu dengan penampilan luarnya yang terlihat lugu dan lemah lembut.
Akan tetapi itu adalah sebuah kesalahan besar. Dia itu tomboy dan galaknya
kalau lagi marah. Aku bisa babak belur ditonjok dengan tangannya yang kuat.
----------*-*---------
“Syafa, kamu
kemarin habis liburan kemana?” tanyaku kepada Syafa ketika ia baru saja
menginjakkan kaki di kelas 9.
“Kenapa
tanya-tanya? Mau minta oleh-oleh? Baru aja masuk ke kelas. Tanya keadaan
baik-baik aja apa enggak atau menyapa dulu kan lebih enak.” Mukanya terlihat
sebal akan tetapi sebenarnya ia enggak marah mungkin cuma sedikit jengkel.
“Iya.. iya maaf.
Tapi ada oleh-olehnya enggak?” ucapanku yang satu ini membuat Syafa yang baru
saja duduk langsung melotot ke arahku. Aku hanya bisa melempar senyuman manis
kepadanya.
Hampir 2 tahun
ini aku bersahabat dengan Soni dan
hampir 3 tahun ini aku memendam sebuah harapan kepada Eza. Soni sangat setia
menemaniku saat aku membutuhkan seseorang yang bisa aku ajak bercanda dan
lain-lain. Dia memberikan sebuah secuil kata penuh cinta dan kasih sayang saat
aku bersedih. Sepertinya jika dia sekarang menjadi pacarku. Mungkin aku bisa
sangat tersanjung dengan sikapnya yang begitu romantis. Akan tetapi inilah
diriku yang tak bisa melupakan Eza begitu saja.
Suatu hari saat
aku melihat Twitternya Desy. Betapa terkejutnya aku ketika terpampang dengan
jelas sebuah foto. Foto itu berisi 2 orang yang terlihat mengembangkan senyum
bahagia dan tangan keduanya sedang bergandengan. Mereka terlihat sangat serasi.
Akan tetapi tak beberapa lama air mataku ini menetes secara perlahan. Tetes
demi tetes turun dan aku rasakan nafasku terasa sesak. Hatiku seperti hancur
berkeping-keping. Rasanya sangat sakit sekali.
Harapan yang
selalu aku berikan kepadanya. Kepercayaan kepadanya yang selalu aku tumbuhkan
di hatiku. Rasanya matahari sedang enggan menyinari lubuk hatiku. Rasanya hati
ini hampa. Rasanya mulut ini tak bisa bergerak seperti saat pertama aku mulai
menyukaimu.
“Kau
menghancurkan kepercayaanku kepadamu. Apakah semua perhatianmu hanya sebuah
kebohongan? Kenapa kau lakukan ini kepadaku? Kau mempermainkan perasaanku yang
begitu rapuh? Aku Sangat Kecewa Padamu.”
Foto itu adalah
foto Eza dan Desy.
Nama : Nindita
Nurmalita Dewi
Kelas : IXF / 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar