9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

R U M I T

R U M I T

                “Teet..teet..teet” bel tanda masuk berbunyi. Siswa-siswi SMP Nusa Bakti masuk ke kelas masing-masing. Tak beberapa lama guru masuk dan 5 menit pelajaran sudah berlalu.
            Dari kejauhan sudah terdengar suara seseorang berlari. Kemudian seluruh siswa kelas 7B dikagetkan dengan suara ketukan pintu.
            “Assalamu’alaikum…. Maaf Bu saya telat.” Ucap seorang anak perempuan dengan bercucuran keringat dan nafas terengah-engah.
            Itulah secuil kisah hidupku di sekolah. Namaku Renita Cahya Ayuningtyas. Teman-temanku sering memanggilku Renita. Sekarang aku sudah kelas 9. SMP Nusa Bakti adalah sekolahku saat ini. Walaupun aku sudah kelas 9, aku masih tak menyangka bisa masuk dan bersekolah di sini.
----------*-*----------
            Masa-masa ceria dengan penuh dunia bermain dan imajinasi perlahan-lahan aku tinggalkan. UNAS SD sudah ada di depan mata. Setiap hari aku nikmati masa-masa akhir bersama teman-teman. Bermain, bercanda, bercerita dan berusaha untuk selalu tersenyum bahagia bersama mereka.
            Materi demi materi aku pelajari dengan sungguh-sungguh. Seluruh pikiran dan perasaan aku gunakan untuk memahami lembar-lembaran kertas berisi soal-soal Try Out.
            Tiba saatnya hari yang aku tunggu-tunggu. Aku berangkat sekolah meminta doa restu pada kedua orang tuaku. sampai di sekolah aku berusaha menikmati setiap butir-butir soal itu. Angan-anganku terbang tinggi, ingin rasanya mendapat nilai sempurna dan masuk sekolah yang terbaik.
            Pengumuman nilai UNAS pun tiba. Perasaanku campur aduk. Cemas, takut, dan jantungku yang berdetak semakin kencang ketika guruku mulai berbicara membuat pikiranku tidak stabil. Akan tetapi semua itu terasa menghilang begitu cepat.
            “Anak-anak, SD kita lulus 100%.” Ucap seorang guru sembari membawa tumpukan surat-surat yang berisi nilai kami. Ia berpesan agar membuka surat itu bersama orang tua di rumah. Satu persatu  teman-temanku dipanggil dan diberi 1 pucuk surat.
            “Renita Cahya Ayuningtyas” giliranku pun tiba. Aku terbangun dari lamunan yang sedari tadi terbang di atas kepalaku ini. Aku berjalan pelan sambil terus berharap dan berdoa semoga nilaiku tidak terlalu buruk. Sampai di depan meja guru aku berdiri sambil menatap guruku.
            “Renita, selamat ya. Kamu dapat nilai tertinggi di kelas ini. Prestasi kamu sangat membanggakan sekolah ini.” Suara seorang guru dengan suara agak serak dan menjabat lembut tanganku. Suasana kelas yang semula penuh hiruk pikuk dalam sekejab menjadi tenang dan hening. Dapat aku rasakan seluruh mata di kelas menatapku semua. Usapan dan dekapan hangat dari guruku sangat terasa. Perasaanku yang sangat bahagia dan bayangan kerja keras yang aku lakukan terbesit di kepala. Linangan air mata yang menumpuk di sudut-sudut mata akhirnya tumpah dan butiran-butiran air mata menetes membasahi wajahku ini.
            “Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah.”
            Aku kayuh sepedaku secepat kilat. Hembusan angin yang begitu kencang menerpa wajah dan mengibaskan rabutku yang terurai panjang. Beberapa lubang-lubang di jalan takku hiraukan. Dari kejauhan rumah yang berada di sudut jalan di temani sebuah sungai kecil yang tenang membuat hatiku semakin berdebar kencang.
            Sepeda yang aku kendarai langsung aku taruh di depan rumah. Bangunan kecil dengan taman bunga. Daun-daun yang bergesekan dan suara gemericik air sungai membuat rumahku ini seperti surga bagi keluargaku. Aku masuk rumah dan mencari ibuku. Aku merasakan bau masakan yang begitu sedap. Aku berpikir bahwa ibuku sedang memasak di dapur. Aku langsung berlari tanpa menghiraukan 1 pasang sepatu yang masih menempel di kedua kakiku ini.
            Ketika aku melihat ibuku baru saja selesai menggoreng beberapa makanan. Aku meminta ibuku untuk duduk sebentar di ruang tamu dan aku langsung memberikan sepucuk surat itu.
“Surat apa ini Ren?” Ibuku terlihat kebingungan ketika aku memberikan surat itu.
“Buka saja Bu, nanti Ibu akan tahu.” Suaraku yang masih terengah-engah karena mengayuh sepeda membuat aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar tentang surat itu.
Ketika surat itu mulai terbuka. Kata demi kata mulai aku baca bersama ibuku. Sampai pada jumlah nilaiku yaitu 27.25 dan tulisan bercetak tebal dengan jelas terpampang dengan ukuran huruf yang berbeda membuat mata ini tidak sulit untuk membacanya. LULUS.
“Oh, Renita kamu ternyata bisa mencapai target nilai yang kamu harapkan, terus berusahalah.” Suara batin menemaniku dalam kebahagiaan yang semakin membuat dunia ini semakin indah.
Sasaran pertama dan utama adalah SMP Nusa Bangsa. Sebuah sekolah yang aku idam-idamkan sejak dulu. Tembok-tembok yang menjulang tinggi. Berdiri diantara keramaian kota. Ingin rasanya mempunyai sebuah kenangan di sana.
Akan tetapi seperti badai di siang dengan matahari yang masih terang benderang. Dengan terpaksa dan sedikit rasa penyesalan. Aku urungkan niatku untuk bersekolah di sana. Tidak ada kenangan dan angan-angan pupuslah sudah.
“SIMSALABIM ABRAKADABRAH” Inilah SMPku saat ini yaitu SMP Nusa Bakti.
Akan tetapi ini bukan akhir dari segalanya seperti kata pepatah “Mati satu tumbuh seribu”. Inilah moto hidupku. Menatap hari yang cerah dan berpikir ke depan.
“Mensyukuri itu lebih baik dari pada penyesalan yang berkepanjangan.”
----------*-*---------
3 hari MOS yang  sangat melelahkan telah aku lewati. Para kakak-kakak OSIS yang telah memberikan banyak tugas yang bisa membuat orang yang melihat pun pingsan. Untunglah untuk hari-hari selanjutnya tidak ada. Selanjutnya yaitu progam pembagian kelas dan lain-lain. Hal ini membuat semua anak-anak baru harus bisa beradaptasi dan menyesuaikan dengan situasi yang begitu berbeda dengan SD dulu.  
            Biasanya sepulang sekolah aku mempunyai pekerjaan rutin yaitu membantu Ibu merawat adikku yang paling kecil dan imut serta tidak lupa membantu untuk menjaga warung.
            Waktu itu suasana mendung menyelimuti dan tetes demi tetes air turun dari angkasa secara perlahan-lahan. Dahan-dahan yang berdesah terkena angin semakin menambah dingin suasana waktu itu.
            “Beli pulsa ada?” Ucap seseorang dari kejauhan.
            Mataku dalam beberapa detik tak berkedip. Mulut ini terasa terbungkam. Rasanya mendung waktu itu sudah berganti dengan matahari yang bersinar sangat terang, karna dapat aku lihat matahari itu tepat berada di kedua matanya.
            Sampai dia mengucapkan kata itu dua kali. Baru aku sadar bahwa mungkin dia sudah menunggu untuk beberapa saat karena aku baru saja terbangun dari angan-angan.
            “Oh.. iya, ada..ada..” aku menjawab pertanyaanya dengan terbata-bata. Sedikit malu dan mungkin wajahku juga mulai memerah membuat aku salting(salah tingkah). Nomor HPnya pun selesai aku tulis. Setelah dia pergi meninggalkan halaman rumah. Aku langsung menyimpan nomornya di HPku. Rasanya senang sekali bisa mempunyai nomor HPnya.
            Waktu malam yang dingin bertaburan bintang di atas langit dan berteman dengan sang rembulan yang sedang duduk manis tersenyum kepadaku. Kurasakan kebahagiaan yang begitu indah. Aku mengambil HP dan huruf-huruf mulai terangkai menjadi sebuah kata. Aku memberanikan diri untuk mengirim sebuah pesan untuknya. Dengan jari-jari yang bergemetar. Aku mulai mengirim pesan itu. Tak beberapa lama ia membalas pesanku dan kita saling bercakap-cakap. Betapa terkejutnya aku ketika aku tahu ternyata dia bersekolah di SMP Nusa Bangsa. Nama cowok itu adalah Eza. Dia sekarang kelas 2. Berbeda 1 tahunlah dari aku.
            Aku mulai mencari informasi tentang dirinya. Mulai dari Facebooknya, ulang tahunnya, dan tidak lupa yang terpenting dia itu sudah punya pacar atau belum. Informasi demi informasi mulai aku dapatkan. Dia memang tak punya pacar akan tetapi ada dua cewek yang sepertinya menyukainya. Dua orang itu bersahabat dan berteman baik. Mereka sepertinya bersahabat dengan Eza. Salah satu cewek itu namanya Desy dan satunya lagi namanya Nurmah. Dua cewek itu adalah adik kelasnya Eza.
            Setiap kali aku bertemu Eza. Rasanya aku ingin bercakap-cakap dengan dirinya. Setiap kali ingin menyapanya. Ada sesuatu yang terbesit di kepala.
            “Renita, biarkanlah dirinya dahulu yang menyapamu. Jika dirinya memang punya keinginan untuk dekat dengan dirimu. Pasti dia akan datang sendiri kepadamu.” Suara hati kecilku selalu berkata seperti itu. Sehingga, aku hanya bisa terus menunggu.
            Setiap kali matanya dan mataku saling bertemu, kita berdua seperti sedang berbicara. Berbicara lewat sebuah sorotan mata dan mengirimkan sinyal ke hati. Eza itu perhatian tapi dia bukan tipe cowok yang banyak bicara. Sehingga dia hanya memberikan sebuah perhatian melalui tindakannya. Dia sering sekali jalan di sampingku saat pergi ke masjid. Akan tetapi tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Dia sering menungguku di tangga masjid tepat di depan sandalku. Akan tetapi dia hanya menatapku dan tak bersuara walaupun hanya 1 kata sapaan.
            “Oh… Eza berikanlah kepastian untukku. Aku tak bisa terus-terusan seperti ini. Bicaralah kepadaku.” Hati kecilku mulai tak tahan dengan sikapnya yang begitu lembut kepadaku akan tetapi tak ada kepastian.
            Sesuatu hal pun mengejutkan hatiku ini. Ternyata di sekolahnya kabar yang beredar ternyata Desy dan Nurmah menyukai Eza. Akan tetapi kabar yang beredar juga Eza itu menyukai si Desy. Oh.. betapa malang nasibku ini. Ternyata banyak yang menyukai dirinya.
            “Eza aku menyukaimu karena kamu begitu sederhana, manis, apa adanya, lucu, rajin ibadah, dan walaupun kamu orang kaya kamu tidak begitu sombong kepada orang lain. Apa arti dari semua sikapmu kepadaku selama ini? Apakah kamu tak memahami bahwa diriku ini sangat berharap kepadamu.” Aku berbicara kepada diriku sendiri.
----------*-*---------
            “Yeeeeee….” Sorak soarai teman-temanku berkumandang ke mana-mana. Aku dan teman temanku senang karena setelah selesai kelas 7 aku pun naik kelas 8. Progam di kelas 8 akhir semester 1 setiap tahunnya adalah Study Tour.
             Hari-hari di kelas 8 aku lewati dengan suka cita. Ternyata aku masih memendam perasaan kepada Eza sampai saat ini. Akan tetapi aku sekarang tidak begitu memikirkannya berlarut-larut.
            Pada suatu hari selesai pulang dari olah raga. Teman-teman cowok di kelas ku seperti sedang mengejek aku dengan seorang cowok yang selama ini tak begitu dekat dengan diriku. Namanya Soni.
Hari demi hari banyak teman-temanku yang mengejek aku dengan dirinya. Soni juga sering mengirim pesan kepadaku. Hampir setiap hari aku berkomunikasi dengan dirinya. Hingga pada suatu hari. Dia menyatakan cinta padaku.
“Apa yang harus aku katakana kepadanya? Dia itu memang sangat baik, perhatian, sayang, akan tetapi aku tak mau menyakiti dirinya. Karena jika aku dan dirinya berpacaran. Aku takut, perasaanku kepadanya tidak sepenuhnya. Karena jika aku boleh jujur. Aku masih berharap kepada Eza. Walaupun sekarang mungkin Eza sudah tak memikirkan diriku lagi.”
Walaupun aku dan Soni tidak menjalin hubungan yang spesial. Aku dan dirinya tetap bisa berteman baik. Aku menganggap dirinya sebatas sebagai sahabat. Diantara aku dan Soni terdapat sebuah ikatan yang biasa disebut sayang.
Hari demi hari aku jalani hari-hariku dengan kebahagiaan dan kesedihan. Dibalik semua itu aku mempunyai seorang sahabat yang selalu siap aku tumpahi dengan berbagai macam masalah yang begitu rumit. Dia selalu memberikan aku sebuah solusi. Walaupun dia juga tidak jarang menertawakanku saat kuceritakan masalah-masalah hidupku yang bertumpuk-tumpuk. Nama sahabatku yang satu ini adalah Syafa. Banyak orang mungkin tertipu dengan penampilan luarnya yang terlihat lugu dan lemah lembut. Akan tetapi itu adalah sebuah kesalahan besar. Dia itu tomboy dan galaknya kalau lagi marah. Aku bisa babak belur ditonjok dengan tangannya yang kuat.
----------*-*---------
“Syafa, kamu kemarin habis liburan kemana?” tanyaku kepada Syafa ketika ia baru saja menginjakkan kaki di kelas 9.
“Kenapa tanya-tanya? Mau minta oleh-oleh? Baru aja masuk ke kelas. Tanya keadaan baik-baik aja apa enggak atau menyapa dulu kan lebih enak.” Mukanya terlihat sebal akan tetapi sebenarnya ia enggak marah mungkin cuma sedikit jengkel.
“Iya.. iya maaf. Tapi ada oleh-olehnya enggak?” ucapanku yang satu ini membuat Syafa yang baru saja duduk langsung melotot ke arahku. Aku hanya bisa melempar senyuman manis kepadanya.
Hampir 2 tahun ini aku  bersahabat dengan Soni dan hampir 3 tahun ini aku memendam sebuah harapan kepada Eza. Soni sangat setia menemaniku saat aku membutuhkan seseorang yang bisa aku ajak bercanda dan lain-lain. Dia memberikan sebuah secuil kata penuh cinta dan kasih sayang saat aku bersedih. Sepertinya jika dia sekarang menjadi pacarku. Mungkin aku bisa sangat tersanjung dengan sikapnya yang begitu romantis. Akan tetapi inilah diriku yang tak bisa melupakan Eza begitu saja.
Suatu hari saat aku melihat Twitternya Desy. Betapa terkejutnya aku ketika terpampang dengan jelas sebuah foto. Foto itu berisi 2 orang yang terlihat mengembangkan senyum bahagia dan tangan keduanya sedang bergandengan. Mereka terlihat sangat serasi. Akan tetapi tak beberapa lama air mataku ini menetes secara perlahan. Tetes demi tetes turun dan aku rasakan nafasku terasa sesak. Hatiku seperti hancur berkeping-keping. Rasanya sangat sakit sekali.
Harapan yang selalu aku berikan kepadanya. Kepercayaan kepadanya yang selalu aku tumbuhkan di hatiku. Rasanya matahari sedang enggan menyinari lubuk hatiku. Rasanya hati ini hampa. Rasanya mulut ini tak bisa bergerak seperti saat pertama aku mulai menyukaimu.
“Kau menghancurkan kepercayaanku kepadamu. Apakah semua perhatianmu hanya sebuah kebohongan? Kenapa kau lakukan ini kepadaku? Kau mempermainkan perasaanku yang begitu rapuh? Aku Sangat Kecewa Padamu.”
Foto itu adalah foto Eza dan Desy.


                                                            Nama   : Nindita Nurmalita Dewi
                                                            Kelas   : IXF / 14 
                                                             
                                                           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar