Bisakah
Kau Kembali?
Jalanan sepi. Langit gelap. Angin musim hujan
bertiup kencang.
Aku merapatkan jaket yang ku kenakan, namun tubuhku
tetap saja menggigil. Bukan karena angin, karena saat ini aku sama sekali tidak
bisa merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafku sudah tidak berfungsi. Aku
tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara, dan tidak bisa
merasakan apa-apa.
Kecuali rasa sakit di hatiku. Aku bisa merasakan
yang satu itu. Sakit sekali....
Bulan depan
istana ku akan pindah. Iya, pindah ke kota yang orang-orang bilang “Kota
Pelajar”. Aku bingung. Aku gundah. Bukan masalah istana ku nanti, atau suasana
nya nanti. Tapi pujaan hatiku. Chika. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan,
aku juga tidak bisa meninggalkan Chika, sendirian di kota metropolitan ini. Aku
sayang Chika. Bahkan cinta. Tapi ini semua karena ayahku, dia mendapat tugas di
kota itu untuk beberapa tahun. Dan terpaksa aku sebagai “rakyat sipil” harus
mengikuti kehendak nya dan menetap disana. Entah kenapa aku lebih memilih
membenci Ayah dan tetap disini bersama Chika.
Butuh tenaga besar untuk menyeret kaki dan maju
selangkah. Sebelah tanganku terangkat ke dada, mencengkeram bagian depan jaket.
Tangan yang lain terjulur ke depan dan mencengkeram pagar besi jembatan. Pagar
besi itu seharusnya terasa dingin di tanganku yang telanjang, tapi nyatanya aku
tidak merasakan apa pun walaupun aku mencengkeram pagar besi itu sampai
buku-buku jariku memutih.
Mataku menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai
terlihat tenang seperti kaca besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari
lampu-lampu di tepi jalan. Mengantarkan ku ke kafe dimana aku dan Chika akan
bertemu. Seperti biasa.
Entah berapa lama aku berdiri di depan
pintu Kafe itu, aku sendiri tidak tahu. Aku hanya berdiri di sana sambil
berusaha menemukan kembali sisa-sisa kendali diriku. Setelah merasa cukup
tenang, aku melangkah masuk, dan melihat seorang gadis.
Gadis
itu duduk di salah satu kafe yang berderet di sepanjang jalan. Ia menempati meja
untuk berdua tepat di sudut dan di samping jendela kaca besar. Gadis itu menunduk
ke arah buku yang terbuka di meja sambil bertopang dagu dengan sebelah tangan.
Kelihatannya ia sedang membaca, tapi aku memerhatikan mata gadis itu tidak
bergerak. Pandangan gadis itu memang terarah ke buku, tapi perhatiannya tidak
tercurah ke sana. Sepertinya ia sedang melamun. Rambut panjangnya dijepit
keatas dengan rapi. Tanpa sadar seulas senyum tersungging di wajahku. Tidak
salah lagi, gadis itu Chika, Pujaan hatiku. Dan tidak salah lagi, Chika sedang melamun.
Ia pasti sedang melamun karena aku datang tidak tepat waktu. Aku memandangi
wajahnya yang sedang melamun. Dan mengahampirinya.
“Hai,
maaf terlambat” kataku.
“Hai sayang, enggak apa-apa kok!” seru
Chika seperti biasanya. Aku suka keceriaan itu.
“Sayang, aku mau ngomong sesuatu
penting.”
“Mau ngomong apa?” tanyanya panik.
“Bulan depan Ayah akan pindah tugas ke
Yogyakarta”
“Yogyakarta? Lalu?”
“Ayah mengatakan kalau kami sekeluarga
akan pindah kesana. Sekolahku juga akan ikut pindah,”
“Lalu bagaimana dengan kita? Hubungan
cinta kita?” tanyanya dengan suara isak disertai kristal bening yang mulai
menaganak dipelupuk mata bulatnya
Chika bangkit dari tempat duduknya, lalu
berdiri di jendela besar menatap luar dari kaca yang kabur.
“Aku sudah berusaha meminta Ayah untuk
tetap tinggal. Tapi Ayah menolaknya. Aku bingung harus gimana lagi.” Ucapku
terisak.
Aku turut bangkit dari dudukku, lalu
berdiri disamping Chika. Jemariku meraih jemarinya. Menggenggam tangan itu
dengan erat.
“Aku kan tetap mencintaimu disini”
tambahku. Berusaha untuk menenangkannya. Chika menoleh ke arahku. Menatap ke
dalam mataku dengan raut tidak mengerti.
“Maksud kamu?” tanya Chika.
“Jarak tak akan membunuh cinta kita.
Selama kita saling percaya dan menjaga cinta ini, cinta diantara kita akan
tetap utuh. Aku akan menunggumu disini, selalu. Jika ada waktu aku yang akan mengunjungimu
disini” jawabku mantap. Aku menatap mata coklat Chika yang berdiri di depanku
dan tersenyum. Mata coklat yang bersinar ramah, hangat, dan ekspresif. Mata
yang dengan mudah mencerminkan apa yang sedang dirasakan pemiliknya. Mata yang
bisa dipercaya.
“Jadi kita LDR (Long Distance Relationship)?” Chika mencari kepastian. Ada rasa
haru terdengar dari suaranya.
“Yah, tidak ada jalan lain. Aku percaya
kamu akan selalu menjaga hati dan cintaku”
“Aku pasti menjaganya, karena aku
mencintaimu” ucap Chika tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Kurasakan
genggaman Chika menguat. Genggaman itu hangat. Kami kembali menatap hujan yang
baru saja turun dari balik jendela kaca besar.
Sebuah keputusan hubungan cinta ini
telah kita ambil.
Sebulan kemudian....
Kardus-kardus berselimutkan lakban
itu satu mulai memenuhi kamarku. Aku sama sekali tidak bisa tidur sepanjang
malam. Aku hanya duduk diam di pinggir jendela kamarku dan memandangi langit.
Jam sudah menunjukkan pukul 02.24 dini hari dan Aku tidak mengantuk sedikit
pun. Begitu selesai membereskan barang-barang, aku berusaha tidur. Tetapi
setelah setengah jam berjuang untuk terlelap dan sia-sia, aku menyerah lalu
bangkit dari tempat tidur. Aku tahu aku harus berpikir, tapi aku tidak ingin
berpikir. Kepalaku sakit, pusing, dan berat. Terlalu banyak yang berlalu-lalang
di benakku sampai aku tidak tahu lagi harus berpikir apa. Semakin dipikir, aku
semakin tertekan. Aku belum rela meninggalkan Chika. Apa yang harus kulakukan
sekarang? aku tetap duduk diam di pinggir jendela, sepanjang malam, tanpa
bergerak, dan nyaris tanpa bernapas, sampai langit berubah warna dari hitam
menjadi biru, lalu biru muda. Saat itulah aku baru menyadari hari sudah terang
dan aku tidak tidur semalaman.
Semakin lama jam menunjukan pukul 09.00. Tiga ribu
enam ratus detik lagi pesawat ku akan berangkat. Aku mulai memasukan beberapa
benda yang penting untuk dibawa nanti ke alat transportasi premium ini dan
sebagian lain nya akan masuk ke truk pengangkut. Rasanya masih berat untuk meninggalkan kota metropolitan ini. Juga
Chika.
Dan sampai. Diterpampang besar dan nyata
tulisan Soekarno-Hatta. Gumpalan manusia berlalu lalang di ruangan ini. Dengan
kesibukan sendiri-sendiri. Suara ban roda koper pun meriuhkan ruangan ini.
Memerlukan volume ekstra untuk bisa mengobrol.
“Huuuuuffff.............”. Aku menarik
napas berat, lalu mengembuskannya dengan pelan. Dadaku terasa sakit. Bernapas
ternyata bisa juga menyakitkan.
“Farhan! Farhan!!”
Aku sedang duduk melamun di bangku panjang di bandara ketika aku
mendengar namaku dipanggil. Aku menoleh dan melihat Chika berlari ke arahku.
Benar-benar berlari. Aku tak pernah melihat Chika berlari sebelumnya.
“Astaga, capek sekali,” kata Chika dengan napas terengah-engah
begitu ia tiba di samping ku.
“Sini, duduk dulu,” kataku sambil bergeser memberi tempat
untuknya.
Tanpa berkata apa-apa, aku melihat Chika menempelkan
telapak tangannya di dada. Bibirnya bergetar. Matanya menatapku dengan tatapan kosong,
namun disisi lain aku juga melihat matanya berkaca-kaca. Gadis itu sedang
berusaha keras menahan tangis.
“Ada
apa?” sahutku.
“Aku
sayang kamu. Hati-hati disana ya!” ucap Chika tersenyum.
Perpisahan
ini semakin terasa berat ketika petugas bandara mulai mengumumkan bahwa pesawat
ku sudah datan dan akan segera terbang. Dan tiba waktunya aku pergi
meninggalkan Chika.
“Aku
pergi dulu ya, Sayang. Kamu jangan nakal, sudah nggak ada aku lagi yang
merhatiin kamu dua puluh empat jam. Jangan sering sakit lagi, ya. Jangan lupa
ibadah sama makan. Ini aku kasih jam biar kamu inget waktu terus. Dipakai ya,
aku pasti pulang kok” pamitku.
Chika
pun menerima jam pemberianku lalu tersenyum. Dan akhirnya aku pergi. Menjauh. Dan
masuk ke alat transportasi terbang itu.
Tiga
puluh menit sudah, aku duduk dikursi pesawat ini. Dan akhirnya dipersilahkan
keluar oleh pramugari itu. Berakhir sudah penerbangan Jakarta-Yogyakarta.
Sambil menyeret koper, aku keluar melewati pintu utama pesawat itu. Mengikuti
ayah berjalan seperti mengikuti maling yang sebentar lagi akan dihajar oleh
massa. Cepat sekali. Saat sampai diluar bandara kami disambut oleh benda yang
ukurannya mungkin lebih dari sepuluh kali lipat ukuran badanku. Ada empat roda,
2 disamping kanan dan 2 disamping kiri. Berwarna biru. Juga bertuliskan
“SADEWA” disetiap bagian samping. Aku dan keluarga ku masuk ke benda itu dan
mengantarkan ku ke sebuah gubuk sederhana. Dan aku disambut oleh sebuah
perpaduan bunyi dan suara manusia dari radio benda itu.
“......Di persimpangan langkahku
terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu.....”
Tak
terasa sampai di tujuan. Iya. Istana ku yang baru. Yang kelak nanti akan
menjadi tempat bersejarah dalam kehidupan ku selama disini. Aku masuk ke tempat
itu dan mulai mencari dimana ruangan ku. Tempat yang akan menjadi
peristirahatan ku setiap malam. Dan sudah kutemukan. Aku sudah didepan pintu
jati ini. Masuk dan melihat sekeliling ruangan. Biru. Secara kebetulan warna
tembok ini bisa sama dengan warna kesukaan ku. Dan setelah lama memutar-mutar
bola mata. Bola mataku tertuju di dua jendela yang menghadap taman belakang.
Detak
jam kamar bersahutan. Menit mulai berlalu. Aku memutuskan untuk mengisi ruangan
ini, juga truk pengangkut tadi sudah datang. Tempat tidur. Lemari. Meja
belajar. Buku. “akhirnya selesai juga” kataku sambil membanting tubur ke kasur.
“OH IYA!!!!!!!!!!!” aku lupa! Aku harus memberi kabar ke Chika, bahwa aku sudah
sampai disini dengan selamat. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlambat lama
sekali. Delapan jam. Ada delapan pesan dan lima misscall . Rasanya aku ingin
tertawa sekencang kencang nya, koprol lalu lompat-lompat diatas kasur ini.
Namun karena aku tak tega dengan nya dan keburu Chika semakin ‘ngambek’
aku langsung membalas pesannya. Dan terjadilah saling balas-berbalas pesan.
Hujan
rintik-rintik datang dan ditemani sepercik sinar matahari. Datanglah pelagi dari
ufuk utara saat pagi itu menyambutku di hari kedua ku di Yogyakarta. Aku membuka mataku yang terasa berat,
lalu mengangkat tangan menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang
menembus jendela kamar tidur menyilaukan mata. Aku menguap lebar sambil
merenggangkan lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat
tidur. Lalu memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan
langkah diseretseret ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja
yang masih menyala dan memandang ke luar jendela. Tidak biasanya langit kota Yogya
terlihat kelabu. Sepertinya musim hujan yang ditunggu-tunggu benar-benar tiba. Aku
membuka jendela dan menarik napas dalam dalam, mengisi paru-paru.
“huffff...
andaikan Chika ada disini” gumamku. Jujur saja, aku sangat merindukannya
meskipun kami masih saling mengirim pesan singkat yang manis. Dan hanya bisa disambut
oleh suara keceriaan dibalik telepon.
Pekan-pekan
bahagia berlalu. Sampai suatu hari aku tahu, ada teman sekelas Chika yang
menyukai nya. Ali. Ali setiap hari
selalu mengusik kehidupan nya. Ali selalu betah mengganggunya. Meminta perhatiannya. Rasa-rasanya aku ingin
menggigit dia hidup-hidup lalu mengehempaskan nya jauh-jauh dari planet ini.
Namun pepatah jawa ada yang berkicau “Witing
tresno jalaran soko kulino" (Cinta bisa datang karena
terbiasa) itu yang semakin membuat ku gundah. Aku bingung. Dan akhirnya yang hanya bisa aku lakukan sekarang
adalah percaya dan yakin. Bahwa Chika akan tetap menjaga hatinya hanya untukku.
Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.
Hari
demi hari telah terlewati sendiri di kota yang ramai ini. Genap tiga puluh lima
minggu kita menjalani Long Distance
Relationship. Jujur, rasa rindu itu semakin lama semakin menggunung. Dan
betapa sakitnya menahan rasa rindu ini. Awalnya hubungan kita masih baik-baik
saja. Manis. Masih sering SMS, telfon, chat,
mention, YM, Skype dan lain-lain.
Namun, tak disangka. Kamu menghilang. Tak ada sapaan setiap pagi lagi. Seperti
ditelan bumi.
Cahaya
matahari yang silau membuat mataku menyipit. Sepagi ini, aku masih terjaga.
Mataku sama sekali tak mau terpejam. Pikiranku berlari liar. Menelusuri setiap
imajinasi yang tak pernah tersentuh, dan kemudian berhenti pada satu titik. Chika.
Aku
memandangi foto wallpaper samsung ku.
Sosok yang sudah beberapa hari ini menghilang dari perjalanan hariku.
Sampai
suatu hari aku diajak teman baruku untuk bermain ke titik nol kilometer
Yogyakarta yang menjadi tempat pariwisata di Yogya yang ‘katanya’ wajib didatangi. Juga menyalurkan hobi ku yang telah lama
tertunda karena urusan penting yang selalu menghantuiku. Lalu melakukan apa
yang biasa orang bilang “hunting foto”. Iya sudah lama juga aku tidak bermain
dengan Canon EOS III D ku.
Saat
sampai dirumah aku mengirim semua hasil karya ku ke Facebook, sekedar untuk
meminta komentar dari teman teman sosial media ku. Juga sekedar membuka
Facebook karena sudah mulai menjamur tidak pernah dibuka oleh sang pemilik.
Dan
tiba-tiba aku dikejutkan dengan isi beranda akun Facebook ku. Aku melihat sosok gadis yang sudah beberapa lama
menghilang berfoto ria dengan sosok laki-laki yang tidak aku kenal sama sekali.
Juga didalam foto tersebut ada komentar-komentar mesra diantara mereka. Seakan
membuat orang-orang akan mengira bahwa mereka bukanlah sekedar hubungan
pertemana biasa. Sudah lebih.
Kendalikan dirimu, kataku pada bayangan di cermin.
Aku menundukkan kepala dengan kedua tangan bertumpu pada pinggiran wastafel.
Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Kendalikan dirimu.
Setelah
debar jantungku kembali normal, aku mengangkat wajah dan menatap bayanganku
sekali lagi. Aku mengangguk samar, lalu meraih serbet untuk mengeringkan wajah.
Tuhan
akhirnya menguji ketulusanku, melewati sosial media itu. Setelah hampir dua
puluh empat bulan menjalani cinta ini bersama mu, aku pun tahu bahwa dihatimu
terselipkan laki-laki lain. Laki-laki yang awalnya kamu mengaku hanya seorang
teman. Laki-laki yang dengan cintanya mampu membuatmu berpaling dan
mengesampingkan perasaanku, melupakan keberadaanku. Kucoba untuk berpikir
sebaik yang aku bisa. Menyalahkan keadaan diri sendiri, kurangkah perhatianku
untukmu? Terlalu lelahkah kamu untuk meneruskan perjuangan kita? Begitu
burukkah sikap-sikapku sehingga menyakitimu? Tapi sampai detik ini tak satupun
kutemui jawaban atas itu semua. Kamu hanya menjawab pertanyaanku dengan diam.
Betapa semua ini membuatku hancur dan berantakan. Asa yang telah kugantungkan
setinggi langit itu tiba-tiba lenyap dalam sekejap mata. Waktu seakan
menghentikanku duniaku. Betapa kejamnya dirimu. Ingin rasanya aku menatap jauh
ke dalam matamu dan bertanya, ada apa dengan semua ini?
Namun
sekarang yang kurasakan tak lebih dari sebuah kehampaan. Ada ruang kosong yang
menganga dihatiku. Aku jatuh dan terpuruk. Aku telah kehilangan sesuatu yang
terlalu berarti untukku. Aku kehilangan kamu.
Apa
aku harus kembali ke kota metropolitan itu agar kamu mau menjawab semua
pertayaanku? Agar kamu mau kembali ke pelukan ku lagi? Kembalilah...
Nama : Ihdina Sabila Rosyada
Kelas : IX F / 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar