9F 9F 9F
.
.
.
" Walau hidup tak semudah membalikkan telapak tangan, tapi yakinlah semua akan berjalan dengan indah "
.
.
.

Minggu, 15 Desember 2013

Bisakah Kau Kembali?

Bisakah Kau Kembali?

Jalanan sepi. Langit gelap. Angin musim hujan bertiup kencang.
Aku merapatkan jaket yang ku kenakan, namun tubuhku tetap saja menggigil. Bukan karena angin, karena saat ini aku sama sekali tidak bisa merasakan apa pun. Sepertinya saraf-sarafku sudah tidak berfungsi. Aku tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak bisa bersuara, dan tidak bisa merasakan apa-apa.

Kecuali rasa sakit di hatiku. Aku bisa merasakan yang satu itu. Sakit sekali....
 Bulan depan istana ku akan pindah. Iya, pindah ke kota yang orang-orang bilang “Kota Pelajar”. Aku bingung. Aku gundah. Bukan masalah istana ku nanti, atau suasana nya nanti. Tapi pujaan hatiku. Chika. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan, aku juga tidak bisa meninggalkan Chika, sendirian di kota metropolitan ini. Aku sayang Chika. Bahkan cinta. Tapi ini semua karena ayahku, dia mendapat tugas di kota itu untuk beberapa tahun. Dan terpaksa aku sebagai “rakyat sipil” harus mengikuti kehendak nya dan menetap disana. Entah kenapa aku lebih memilih membenci Ayah dan tetap disini bersama Chika.
Butuh tenaga besar untuk menyeret kaki dan maju selangkah. Sebelah tanganku terangkat ke dada, mencengkeram bagian depan jaket. Tangan yang lain terjulur ke depan dan mencengkeram pagar besi jembatan. Pagar besi itu seharusnya terasa dingin di tanganku yang telanjang, tapi nyatanya aku tidak merasakan apa pun walaupun aku mencengkeram pagar besi itu sampai buku-buku jariku memutih.
Mataku menatap kosong ke bawah. Permukaan sungai terlihat tenang seperti kaca besar berwarna hitam yang memantulkan cahaya dari lampu-lampu di tepi jalan. Mengantarkan ku ke kafe dimana aku dan Chika akan bertemu. Seperti biasa.
Entah berapa lama aku berdiri di depan pintu Kafe itu, aku sendiri tidak tahu. Aku hanya berdiri di sana sambil berusaha menemukan kembali sisa-sisa kendali diriku. Setelah merasa cukup tenang, aku melangkah masuk, dan melihat seorang gadis.
Gadis itu duduk di salah satu kafe yang berderet di sepanjang jalan. Ia menempati meja untuk berdua tepat di sudut dan di samping jendela kaca besar. Gadis itu menunduk ke arah buku yang terbuka di meja sambil bertopang dagu dengan sebelah tangan. Kelihatannya ia sedang membaca, tapi aku memerhatikan mata gadis itu tidak bergerak. Pandangan gadis itu memang terarah ke buku, tapi perhatiannya tidak tercurah ke sana. Sepertinya ia sedang melamun. Rambut panjangnya dijepit keatas dengan rapi. Tanpa sadar seulas senyum tersungging di wajahku. Tidak salah lagi, gadis itu Chika, Pujaan hatiku. Dan tidak salah lagi, Chika sedang melamun. Ia pasti sedang melamun karena aku datang tidak tepat waktu. Aku memandangi wajahnya yang sedang melamun. Dan mengahampirinya.
“Hai, maaf terlambat” kataku.
“Hai sayang, enggak apa-apa kok!” seru Chika seperti biasanya. Aku suka keceriaan itu.
“Sayang, aku mau ngomong sesuatu penting.”
“Mau ngomong apa?” tanyanya panik.
“Bulan depan Ayah akan pindah tugas ke Yogyakarta”
“Yogyakarta? Lalu?”
“Ayah mengatakan kalau kami sekeluarga akan pindah kesana. Sekolahku juga akan ikut pindah,”
“Lalu bagaimana dengan kita? Hubungan cinta kita?” tanyanya dengan suara isak disertai kristal bening yang mulai menaganak dipelupuk mata bulatnya
Chika bangkit dari tempat duduknya, lalu berdiri di jendela besar menatap luar dari kaca yang kabur.
“Aku sudah berusaha meminta Ayah untuk tetap tinggal. Tapi Ayah menolaknya. Aku bingung harus gimana lagi.” Ucapku terisak.
Aku turut bangkit dari dudukku, lalu berdiri disamping Chika. Jemariku meraih jemarinya. Menggenggam tangan itu dengan erat.
“Aku kan tetap mencintaimu disini” tambahku. Berusaha untuk menenangkannya. Chika menoleh ke arahku. Menatap ke dalam mataku dengan raut tidak mengerti.
“Maksud kamu?” tanya Chika.
“Jarak tak akan membunuh cinta kita. Selama kita saling percaya dan menjaga cinta ini, cinta diantara kita akan tetap utuh. Aku akan menunggumu disini, selalu. Jika ada waktu aku yang akan mengunjungimu disini” jawabku mantap. Aku menatap mata coklat Chika yang berdiri di depanku dan tersenyum. Mata coklat yang bersinar ramah, hangat, dan ekspresif. Mata yang dengan mudah mencerminkan apa yang sedang dirasakan pemiliknya. Mata yang bisa dipercaya.
“Jadi kita LDR (Long Distance Relationship)?” Chika mencari kepastian. Ada rasa haru terdengar dari suaranya.
“Yah, tidak ada jalan lain. Aku percaya kamu akan selalu menjaga hati dan cintaku”
“Aku pasti menjaganya, karena aku mencintaimu” ucap Chika tersenyum.
Aku membalas senyumnya. Kurasakan genggaman Chika menguat. Genggaman itu hangat. Kami kembali menatap hujan yang baru saja turun dari balik jendela kaca besar.
Sebuah keputusan hubungan cinta ini telah kita ambil.

Sebulan kemudian....

            Kardus-kardus berselimutkan lakban itu satu mulai memenuhi kamarku. Aku sama sekali tidak bisa tidur sepanjang malam. Aku hanya duduk diam di pinggir jendela kamarku dan memandangi langit. Jam sudah menunjukkan pukul 02.24 dini hari dan Aku tidak mengantuk sedikit pun. Begitu selesai membereskan barang-barang, aku berusaha tidur. Tetapi setelah setengah jam berjuang untuk terlelap dan sia-sia, aku menyerah lalu bangkit dari tempat tidur. Aku tahu aku harus berpikir, tapi aku tidak ingin berpikir. Kepalaku sakit, pusing, dan berat. Terlalu banyak yang berlalu-lalang di benakku sampai aku tidak tahu lagi harus berpikir apa. Semakin dipikir, aku semakin tertekan. Aku belum rela meninggalkan Chika. Apa yang harus kulakukan sekarang? aku tetap duduk diam di pinggir jendela, sepanjang malam, tanpa bergerak, dan nyaris tanpa bernapas, sampai langit berubah warna dari hitam menjadi biru, lalu biru muda. Saat itulah aku baru menyadari hari sudah terang dan aku tidak tidur semalaman.
            Semakin lama jam menunjukan pukul 09.00. Tiga ribu enam ratus detik lagi pesawat ku akan berangkat. Aku mulai memasukan beberapa benda yang penting untuk dibawa nanti ke alat transportasi premium ini dan sebagian lain nya akan masuk ke truk pengangkut. Rasanya masih berat untuk meninggalkan kota metropolitan ini. Juga Chika.
Dan sampai. Diterpampang besar dan nyata tulisan Soekarno-Hatta. Gumpalan manusia berlalu lalang di ruangan ini. Dengan kesibukan sendiri-sendiri. Suara ban roda koper pun meriuhkan ruangan ini. Memerlukan volume ekstra untuk bisa mengobrol.
“Huuuuuffff.............”. Aku menarik napas berat, lalu mengembuskannya dengan pelan. Dadaku terasa sakit. Bernapas ternyata bisa juga menyakitkan.
            “Farhan! Farhan!!”
Aku sedang duduk melamun di bangku panjang di bandara ketika aku mendengar namaku dipanggil. Aku menoleh dan melihat Chika berlari ke arahku. Benar-benar berlari. Aku tak pernah melihat Chika berlari sebelumnya.
“Astaga, capek sekali,” kata Chika dengan napas terengah-engah begitu ia tiba di samping ku.
“Sini, duduk dulu,” kataku sambil bergeser memberi tempat untuknya.
Tanpa berkata apa-apa, aku melihat Chika menempelkan telapak tangannya di dada. Bibirnya bergetar. Matanya menatapku dengan tatapan kosong, namun disisi lain aku juga melihat matanya berkaca-kaca. Gadis itu sedang berusaha keras menahan tangis.
“Ada apa?” sahutku.
“Aku sayang kamu. Hati-hati disana ya!” ucap Chika tersenyum.
Perpisahan ini semakin terasa berat ketika petugas bandara mulai mengumumkan bahwa pesawat ku sudah datan dan akan segera terbang. Dan tiba waktunya aku pergi meninggalkan Chika.
“Aku pergi dulu ya, Sayang. Kamu jangan nakal, sudah nggak ada aku lagi yang merhatiin kamu dua puluh empat jam. Jangan sering sakit lagi, ya. Jangan lupa ibadah sama makan. Ini aku kasih jam biar kamu inget waktu terus. Dipakai ya, aku pasti pulang kok” pamitku.
Chika pun menerima jam pemberianku lalu tersenyum. Dan akhirnya aku pergi. Menjauh. Dan masuk ke alat transportasi terbang itu.
Tiga puluh menit sudah, aku duduk dikursi pesawat ini. Dan akhirnya dipersilahkan keluar oleh pramugari itu. Berakhir sudah penerbangan Jakarta-Yogyakarta. Sambil menyeret koper, aku keluar melewati pintu utama pesawat itu. Mengikuti ayah berjalan seperti mengikuti maling yang sebentar lagi akan dihajar oleh massa. Cepat sekali. Saat sampai diluar bandara kami disambut oleh benda yang ukurannya mungkin lebih dari sepuluh kali lipat ukuran badanku. Ada empat roda, 2 disamping kanan dan 2 disamping kiri. Berwarna biru. Juga bertuliskan “SADEWA” disetiap bagian samping. Aku dan keluarga ku masuk ke benda itu dan mengantarkan ku ke sebuah gubuk sederhana. Dan aku disambut oleh sebuah perpaduan bunyi dan suara manusia dari radio benda itu.

“......Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi
Seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri
Ditelan deru kotamu.....”

Tak terasa sampai di tujuan. Iya. Istana ku yang baru. Yang kelak nanti akan menjadi tempat bersejarah dalam kehidupan ku selama disini. Aku masuk ke tempat itu dan mulai mencari dimana ruangan ku. Tempat yang akan menjadi peristirahatan ku setiap malam. Dan sudah kutemukan. Aku sudah didepan pintu jati ini. Masuk dan melihat sekeliling ruangan. Biru. Secara kebetulan warna tembok ini bisa sama dengan warna kesukaan ku. Dan setelah lama memutar-mutar bola mata. Bola mataku tertuju di dua jendela yang menghadap taman belakang.
Detak jam kamar bersahutan. Menit mulai berlalu. Aku memutuskan untuk mengisi ruangan ini, juga truk pengangkut tadi sudah datang. Tempat tidur. Lemari. Meja belajar. Buku. “akhirnya selesai juga” kataku sambil membanting tubur ke kasur. “OH IYA!!!!!!!!!!!” aku lupa! Aku harus memberi kabar ke Chika, bahwa aku sudah sampai disini dengan selamat. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlambat lama sekali. Delapan jam. Ada delapan pesan dan lima misscall . Rasanya  aku ingin tertawa sekencang kencang nya, koprol lalu lompat-lompat diatas kasur ini. Namun karena aku tak tega dengan nya dan keburu Chika  semakin ‘ngambek’ aku langsung membalas pesannya. Dan terjadilah saling balas-berbalas pesan.
Hujan rintik-rintik datang dan ditemani sepercik sinar matahari. Datanglah pelagi dari ufuk utara saat pagi itu menyambutku di hari kedua ku di Yogyakarta. Aku membuka mataku yang terasa berat, lalu mengangkat tangan menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus jendela kamar tidur menyilaukan mata. Aku menguap lebar sambil merenggangkan lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat tidur. Lalu memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan langkah diseretseret ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang masih menyala dan memandang ke luar jendela. Tidak biasanya langit kota Yogya terlihat kelabu. Sepertinya musim hujan yang ditunggu-tunggu benar-benar tiba. Aku membuka jendela dan menarik napas dalam dalam, mengisi paru-paru.
“huffff... andaikan Chika ada disini” gumamku. Jujur saja, aku sangat merindukannya meskipun kami masih saling mengirim pesan singkat yang manis. Dan hanya bisa disambut oleh suara keceriaan dibalik telepon.
Pekan-pekan bahagia berlalu. Sampai suatu hari aku tahu, ada teman sekelas Chika yang menyukai nya. Ali. Ali setiap hari selalu mengusik kehidupan nya. Ali selalu betah mengganggunya. Meminta perhatiannya. Rasa-rasanya aku ingin menggigit dia hidup-hidup lalu mengehempaskan nya jauh-jauh dari planet ini.
Namun pepatah jawa ada yang berkicau “Witing tresno jalaran soko kulino" (Cinta bisa datang karena terbiasa) itu yang semakin membuat ku gundah. Aku bingung. Dan akhirnya yang hanya bisa aku lakukan sekarang adalah percaya dan yakin. Bahwa Chika akan tetap menjaga hatinya hanya untukku. Jangan pergi dariku. Tetaplah di sisiku.
Hari demi hari telah terlewati sendiri di kota yang ramai ini. Genap tiga puluh lima minggu kita menjalani Long Distance Relationship. Jujur, rasa rindu itu semakin lama semakin menggunung. Dan betapa sakitnya menahan rasa rindu ini. Awalnya hubungan kita masih baik-baik saja. Manis. Masih sering SMS, telfon, chat, mention, YM, Skype dan lain-lain. Namun, tak disangka. Kamu menghilang. Tak ada sapaan setiap pagi lagi. Seperti ditelan bumi.
Cahaya matahari yang silau membuat mataku menyipit. Sepagi ini, aku masih terjaga. Mataku sama sekali tak mau terpejam. Pikiranku berlari liar. Menelusuri setiap imajinasi yang tak pernah tersentuh, dan kemudian berhenti pada satu titik. Chika.
Aku memandangi foto wallpaper samsung ku. Sosok yang sudah beberapa hari ini menghilang dari perjalanan hariku.
Sampai suatu hari aku diajak teman baruku untuk bermain ke titik nol kilometer Yogyakarta yang menjadi tempat pariwisata di Yogya yang ‘katanya’ wajib didatangi. Juga menyalurkan hobi ku yang telah lama tertunda karena urusan penting yang selalu menghantuiku. Lalu melakukan apa yang biasa orang bilang “hunting foto”. Iya sudah lama juga aku tidak bermain dengan Canon EOS III D ku.
Saat sampai dirumah aku mengirim semua hasil karya ku ke Facebook, sekedar untuk meminta komentar dari teman teman sosial media ku. Juga sekedar membuka Facebook karena sudah mulai menjamur tidak pernah dibuka oleh sang pemilik.
Dan tiba-tiba aku dikejutkan dengan isi beranda akun Facebook ku. Aku melihat sosok gadis yang sudah beberapa lama menghilang berfoto ria dengan sosok laki-laki yang tidak aku kenal sama sekali. Juga didalam foto tersebut ada komentar-komentar mesra diantara mereka. Seakan membuat orang-orang akan mengira bahwa mereka bukanlah sekedar hubungan pertemana biasa. Sudah lebih.
Kendalikan dirimu, kataku pada bayangan di cermin. Aku menundukkan kepala dengan kedua tangan bertumpu pada pinggiran wastafel. Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Kendalikan dirimu.
Setelah debar jantungku kembali normal, aku mengangkat wajah dan menatap bayanganku sekali lagi. Aku mengangguk samar, lalu meraih serbet untuk mengeringkan wajah.
Tuhan akhirnya menguji ketulusanku, melewati sosial media itu. Setelah hampir dua puluh empat bulan menjalani cinta ini bersama mu, aku pun tahu bahwa dihatimu terselipkan laki-laki lain. Laki-laki yang awalnya kamu mengaku hanya seorang teman. Laki-laki yang dengan cintanya mampu membuatmu berpaling dan mengesampingkan perasaanku, melupakan keberadaanku. Kucoba untuk berpikir sebaik yang aku bisa. Menyalahkan keadaan diri sendiri, kurangkah perhatianku untukmu? Terlalu lelahkah kamu untuk meneruskan perjuangan kita? Begitu burukkah sikap-sikapku sehingga menyakitimu? Tapi sampai detik ini tak satupun kutemui jawaban atas itu semua. Kamu hanya menjawab pertanyaanku dengan diam. Betapa semua ini membuatku hancur dan berantakan. Asa yang telah kugantungkan setinggi langit itu tiba-tiba lenyap dalam sekejap mata. Waktu seakan menghentikanku duniaku. Betapa kejamnya dirimu. Ingin rasanya aku menatap jauh ke dalam matamu dan bertanya, ada apa dengan semua ini?
Namun sekarang yang kurasakan tak lebih dari sebuah kehampaan. Ada ruang kosong yang menganga dihatiku. Aku jatuh dan terpuruk. Aku telah kehilangan sesuatu yang terlalu berarti untukku. Aku kehilangan kamu.
Apa aku harus kembali ke kota metropolitan itu agar kamu mau menjawab semua pertayaanku? Agar kamu mau kembali ke pelukan ku lagi? Kembalilah...





Nama   : Ihdina Sabila Rosyada

Kelas   : IX F / 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar